BANYAK ahli yang meneliti mengenai bagaimana meningkatkan semangat kerja dan produktivitas karyawan, mengkaitkannya dengan happiness di tempat kerja. Apakah kedua hal ini memang berhubungan? Logikanya memang kalau seseorang senang dengan pekerjaannya maka ia akan menjadi lebih produktif.
Seorang teman sangat senang bekerja. Semenjak di bangku kuliah ia dikenal sebagai seorang yang gesit, aktif dan selalu tuntas dalam pekerjaannya. Sekarang ia menjadi profesional di bidang restoran. Namun saat bekerja ia nampak sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada saja alasan yang dia ajukan untuk berhenti bekerja. Bila kita tanyakan pada yang bersangkutan apakah dia senang dengan pekerjaannya, dia akan mengatakan bahwa ia sangat senang. Namun, ada saja alasan yang membuat dia tidak betah. Sampai pada suatu saat ia mendapatkan pekerjaan di sebuah restoran di Bali, yang memiliki beberapa kebiasaan yang sangat dia banggakan. Semua makanan yang dihidangkan ditanam secara organik, air putih diberikan cuma-cuma, semua makanan dihitung kalori dan kandungannya. Ia berkomentar bahwa walaupun upah yang diterimanya jauh lebih kecil daripada pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, ia merasa bahwa pekerjaannya di sini memberi makna, sehingga ia ingin mengembangkan banyak hal di sini.
Jadi, apakah ada perbedaan antara happiness dan meaningfulness di tempat kerja? Bukankah keduanya sama-sama membuat hati berbunga-bunga?
Meaningfulness mungkin bisa dilihat dari mereka yang ingin menjadi anggota tim SAR dengan jam kerja yang tidak menentu, belum lagi resiko tinggi dengan kompensasi yang belum tentu memadai. Bagaimana mungkin seorang anggota penyelamat mau menyabung nyawa bila mereka tidak merasa memiliki makna dari pekerjaannya? Ini adalah gambaran yang jelas perbedaan antara happiness dan meaningfulness di tempat kerja. Beberapa pakar manajemen menekankan pentingnya meaningfulness ini di era digital ini, karena semua situasi kerja yang dahulu menentukan kepuasan kerja sekarang dengan mudah bisa didapatkan karyawan. Tinggal apa yang sebenarnya menjadikan daya tarik karyawan untuk tetap bekerja inilah menjadi tantangan yang berat.
Bagaimana kita menemukan “makna” dalam pekerjaan?
Victor Frankl dalam bukunya, Man's Search for Meaning menyatakan : “A man who becomes conscious of the responsibility he bears toward a human being who affectionately waits for him, or to an unfinished work, will never be able to throw away his life. He knows the "why" for his existence, and will be able to bear almost any ‘how".” Di sini kita melihat bahwa unsur pengorbanan yang ada pada pencarian makna dalam kerja dan tidak ada dalam pengejaran happiness.
Menurut para ahli, dalam jangka panjang pun hasilnya akan berbeda. Bahagia dalam bekerja berarti kita mendapatkan kesenangan, menghindari ketidak nyamanan sekuat mungkin. Sementara kerja yang meaningful bisa jadi menuntut sejumput ketegangan yang membuat kita tergelitik untuk berinovasi. Belum lagi tuntutan kenmampuan bekerja dengan para stakeholder serta kesamaan pandangan dan kontribusi dalam bentuk apapun pada situasi kerja yang lebih luas daripada sekedar untuk kepentingan sendiri.
Kontribusi yang ditujukan bisa untuk keluarga, kemanusiaan, lingkungan maupun dukungan pada misi perusahaan. Riset pun menunjukkan bahwa bekerja demi meaningfulness ini akan menimbulkan perasaan positif dan pencapaian sasaran jangka panjang yang lebih baik. Banyak dari para milenial sekarang yang meninggalkan kenyamanan korporasi dan berjuang dengan perusahaan start up demi pemenuhan makna ini. Bisakan kita menciptakan suasana seperti ini di tempat kita?
Seorang “taker” atau seorang “giver” ?
Secara intuitif, kita berfikir bahwa mereka yang sukses dalam berorganisasi dan bisa mencapai pucuk pimpinan adalah orang yang kuat dalam memikirkan dirinya sendiri. Dalam bukunya Give and Take, Adam Grant, menggolongkan 3 jenis manusia di organisasi menjadi : takers, matchers, dan givers. Hasil penelitian longitudinalnya membuktikan bahwa individu yang sukses dalam organisasi justeru adalah para The Givers. Artinya orang-orang ini bisa mengurangi kecenderungan taking nya dan justru menggiatkan aksi giving nya. Ini dimungkinkan bila kita selalu mengarahkan organisasi untuk menjadi organisasi yang berbakti pada “greater good”, masa depan yang lebih baik bagi semua umat manusia. Kita tidak bisa mempunyai visi, menjadi perusahaan yang paling top tanpa misi untuk berkontribusi pada kesejahteraan umat manusia.
Bagaimana kita membentuk organisasi yang berisi talenta-talenta yang handal dan menghayati meaningfulness dalam bekerja?
Kita sebaiknya tidak lagi hanya berfokus pada talenta saja. Di dunia yang sangat mengandalkan konten dan kreativitas ini, kita perlu melakukan job crafting di mana kita perlu menata tugas kembali secara berkala, mereformasi ulang cara berinteraksi, dan juga mengkonstruksi ulang makna dan tujuan bekerja kita. Ini adalah kesempatan bagi tiap individu untuk menata kembali kerjanya sesuai dengan passion mereka masing-masing. Strategi ini juga memberi kesempatan pada individu untuk menemukan makna kehidupan kerjanya sendiri.
Kita juga perlu lebih banyak menekankan the why dari suatu tindakan dibandingkan dengan membuat job description yang semakin sulit untuk dibakukan mengingat fleksibilitas pun sangat penting pada masa VUCA ini. Makna kerja hanya bisa ditemukan bila kita menyadari dampak dari pekerjaan kita. Ini yang bisa menerangkan mengapa pekerja di rumah sakit bisa tahan membersihkan darah dan kotoran lainnya tanpa mengeluh “Work itself is but what you deem of it.”- Marcus Aurelius
Satu hal lagi yang juga menghidupkan makna kerja adalah paham bahwa orang lain itu penting. Elizabeth Dunn dan Michael Norton dalam bukunya Happy Money juga menekankan bahwa uang memang penting, tetapi makna jauh lebih berharga. Dan untuk menemukan “makna” ini, kita perlu memperbanyak hubungan dengan orang lain. Relationships are the ocean in which we find meaning.
Dimuat dalam harian Kompas, 7 April 2018