BANYAK dari kita pasti sering sekali menerima telepon dengan berbagai penawaran, baik dari asuransi, perbankan maupun perusahaan penyedia jasa lainnya. Kita pun sering mempertanyakan, bagaimana mereka bisa tahu nama dan nomor telepon kita padahal kita tidak pernah berhubungan dengan perusahaan tersebut.
Hal ini bisa terjadi karena akses terhadap data bisa diraih dari banyak pintu. Perusahaan perusahaan mulai sadar bahwa data pelanggan, data pemasok dan data lainnya, sangatlah penting. Tidak sedikit perusahaan yang tiba-tiba merasa bahwa mereka memiliki data yang besar sekali volumenya, namun tidak tahu apa yang bisa mereka manfaatkan dari data tersebut. Tidak sedikit pula perusahaan yang dengan ceroboh menghapus data pentingnya karena tempat penyimpanan yang terlalu penuh dan baru menyesal di kemudian hari karena data itu ternyata sangat penting bagi divisi litbang perusahaan.
Semua orang tahu bahwa perusahaan seperti Google, Facebook, Linked In, dan Gojek adalah pengepul data terbesar dan menjadi incaran para investor. Ini yang membuat mereka bisa memberikan servisnya secara gratis kepada kita, bahkan terus menerus meningkatkan servisnya agar kita semakin sering menggunakan aplikasi mereka, tanpa kita harus membayar. Latar belakangnya adalah tidak lain tidak bukan karena mereka justru membutuhkan data perilaku kita yang mereka peroleh dari setiap kali kita berinteraksi dengan aplikasi mereka.
Ini adalah era big data: data besar, terstruktur maupun tidak. Namun, kita semua perlu mengingat bahwa besarnya data bukanlah poin utama, melainkan apakah organisasi mampu mengolah dan memanfaatkan data yang mereka miliki demi perkembangan organisasi. Big data ini baru berguna bilamana dapat dimanfaatkan untuk menajamkan pengambilan keputusan, menambah wawasan, meningkatkan pelayanan, sampai kepada menunjang atau mengoptimalisasi proses.
Perusahaan telekomunikasi terkemuka yang memiliki big data yang super kaya, ternyata bahkan perlu mengupahkan analisa datanya ke perusahaan konsultan kelas dunia untuk sampai pada keputusan-keputusan strategis bagi usahanya pula. Mengapa tidak dikerjakan sendiri? Tidak ada cukup analis data di perusahaan tersebut. Di sinilah kita melihat tumbuhnya kompetensi baru, yang sebelum era ini tidak terpikirkan oleh masyarakat. Pengumpulan data yang memang menjadi booming ini ternyata tidak dibarengi dengan pengembangan manusia yang mampu menganalisisnya. Profesor Brian Caffo dari John Hopkins mengatakan: banyak perusahaan sudah sadar bahwa pengumpulan data memang sangat bermanfaat bagi keputusan bisnis perusahaan, tetapi adakah manusia di organisasi yang bisa memahami makna data tersebut? Kita sekarang kekurangan talenta data science. Dan, kekurangan ini cukup serius. Banyak perusahaan yang sudah berinvestasi untuk mengumpulkan data, tanpa memikirkan bagaimana menguatkah otot organisasi dengan mengembangkan talenta-talenta yang peka data.
“Data science”, sebuah ilmu baru
Bila pada era sebelumnya para programmer menjadi incaran perusahaan-perusahaan online seperti misalnya Traveloka, saat sekarang justru dibutuhkan kapasitas yang lebih holistik, campuran antara statistik, komputer, matematika, dan perilaku manusia yang oleh para ahli disebut sebagai disiplin baru yaitu data science. “Data science combines a set of skills that don’t fit neatly into traditional disciplines,” demikian komentar para ahli. “Data science includes elements of statistics, computer science, domain knowledge and practical hacking skills”.
Bila pada masa yang lalu dalam dunia teknologi informasi kita mengenal istilah system analyst, yang berperan sebagai penerjemah antara pemakai sistem informasi dengan penyusunnya, pada masa sekarang, kebutuhan bisnis perlu mendasari seorang data scientist dalam mengarahkan pencarian datanya. Big data bisa memberikan informasi yang banyak dan kompleks dan seorang data scientist ibarat masuk ke hutan belantara, ia perlu tahu apa yang ia cari, bagaimana memilah-milah antara data yang penting dengan tidak penting untuk kemudian dapat membuat sebuah teori yang sesuai dengan kebutuhan bisnisnya.
Menjadi manusia peka data
Kita sendiri sebagai pekerja modern tidak bisa lagi melepaskan kehidupan kita dari kapasitas pemahaman data. Kita tidak bisa bicara tanpa data, apalagi membuat keputusan bisnis. Kita masih ingat betapa Ahok, tidak bisa dipertanyakan dalam mempertanggung jawabkan keputusannya dalam proyek proyek karena ia selalu menggunakan dan mengolah data dengan jelas sebelum membuat sebuah kebijakan. Begitu banyak pasukan anak-anak muda idealis yang bekerja tanpa kenal lelah di belakangnya dan menyajikan analisa data yang tidak terbantahkan. Bahkan ada yang mengatakan: “understanding = data”. Artinya tanpa data, suatu gejala tidak dapat dipahami. Perilaku googling, yang seolah sudah cukup di mata banyak orang, sungguh sangat superfisial saja. “Torture the data, and it will confess to anything.” – Ronald Coase, pemenang hadiah Nobel Economics.
Apapun profesi kita, untuk menjadi individu yang peka data, kita perlu melakukan beberapa hal seperti berikut ini.
-
Belajar berbicara bahasa pengukuran dan analisis. Kita perlu bisa berpartisipasi dalam dengan penyajian data dalam diskusi-diskusi. Kita perlu terbuka, tetapi tetap perlu cukup kritis dalam membaca data karena data juga dapat diputar sedemikian rupa sehingga memberikan impresi yang berbeda 180 derajat.
-
Paham statistik dasar. Kita tidak bisa menganggap bahwa data bisa kita baca secara intuitif. Paling tidak kita mesti bisa membedakan apa yang dimaksud dengan mea, median, mode, standar deviasi, p-value. Ini perlu masuk dalam perbendaharaan kata-kata kita dalam pembicaraan sehari hari.
-
Gunakan beberapa software praktis untuk analisa data. Ini akan membantu kita memperbaiki sikap agar lebih familier pada kegiatan utak-atik data ini.
“The goal is to turn data into information, and information into insight.” – Carly Fiorina, Hewlett-Packard Co.
Dimuat dalam Kompas, 11 November 2017.