DALAM kondisi ekonomi yang ketat dan efisien, banyak perusahaan memiliki masalah untuk mempertahankan bisnis perusahaan. Beragam upaya sudah dilakukan, namun tampaknya kondisi eksternal saat ini yang demikian unik juga seperti membuat solusi masa lalu yang sepertinya ampuh, menjadi tidak efektif lagi untuk diterapkan.
Ada perusahaan yang sesegera mungkin memangkas biaya. Hal ini memang hal yang paling cepat bisa dilakukan. Hal-hal yang tidak diperlukan secara esensial, kemewahan-kemewahan sebagai fasilitas perusahaan bisa langsung dipotong. Banyak juga perusahaan melakukan perampingan sehingga hanya karyawan yang berkontribusi optimal terhadap perusahaan yang masih dipertahankan. Namun, apakah semua ini akan membuat perusahaan sukses, keluar dari situasi ini, dan bahkan bertumbuh?
Kita sudah banyak mendengar istilah thinking outside the box, membuat terobosan, menciptakan peluang baru, berbelok drastis. Kita tahu bahwa Amazon, perusahaan paling inovatif di dunia, sudah bisa mengalihkan bisnisnya, dari sekedar toko buku online, sampai menjadi pemilik toko makanan sehat terbesar dan terkreatif di dunia.
Namun, sejauh mana kita sendiri sudah melakukannya? Apakah kita masih terus berkutat pada praktik lama sambil terkagum-kagum melihat perusahaan karya anak bangsa seperti GoJek yang terus menerus meluncurkan produk baru?
Perangkap intelektual
Banyak di antara kita adalah orang yang ahli di bidangnya. Kita sudah banyak makan asam garam dalam menjalankan profesi di bisnis atau organisasi kita. Namun, mengapa kita seolah buntu ketika mendapat tuntutan untuk melakukan terobosan baru? Apakah pikiran kita begitu terpatri pada pengalaman masa lalu, atau justru ekspertis kita yang membuat kita sulit melihat dari sisi yang lain?
Sebenarnya, kita tahu bahwa bila ingin berinovasi, kita tidak boleh terpaku pada apa yang sudah kita lakukan, seperti kata pepatah: insanity is doing the same thing over and over again and expecting different result. Sebenarnya dalam mengkreasi gebrakan baru tidak dibutuhkan pelayanan khusus, keterampilan ataupun kecerdasan yang spesial.
Yang jelas perlu ada keyakinan yang kuat bahwa keadaan “status quo” yang sekarang terjadi perlu diubah agar lebih adaptif menghadapi masa depan VUCA (volatilly, uncertainty, complexity, and ambiguity) ini. Inovasi juga tidak berarti harus menemukan produk yang super-unik, tetapi bisa dilakukan dengan aliansi strategik, bersinergi, dan berkolaborasi dengan para rekan bisnis dengan koordinasi yang lebih erat.
Jeff Bezos, pemilik Amazon dengan karyawan 250.000 orang, berusaha menjaga suasana inovasi ini pada tingkat yang paling tinggi. Menurut Bezos, ada dua tingkat inovasi yang dikembangkan di perusahaan. Yang pertama, karyawan dipaksa untuk senantiasa melakukan perbaikan tentang apa yang sekarang sudah berlangsung, seperti menemukan proses, alat, metode yang lebih baru dan lebih efektif dari sebelumnya. Bezos menginginkan suasana “tidak pernah puas” ini bertumbuh subur di dalam organisasinya.
Yang kedua, Bezos memasangkan para ahli dan jagoan di bidangnya, dengan individu muda untuk mendapatkan beginners mind. Dengan demikian, si ahli, memperoleh kesempatan untuk memulai melihat masalah dari perspektif pemula yang mungkin saja menemukan hal baru yang selama ini lepas dari pengamatannya. Di Amazon, ia menumbuhkan budaya menerima kegagalan sebagai tantangan positif : Fail, try again, and repeat that loop.
Brain mining
Jakob Hohwy, penulis The Predictive Mind menemukan bahwa otak manusia tidak pernah bisa berhenti untuk diisi. Otak yang terlatih, setelah menemukan sesuatu, tidak menyimpan materi pemikiran itu secara pasif, tetapi bisa meramalkan lebih lanjut apa yang akan terjadi di masa depan. Jadi , otak yang “kuno” pun , bila diasah bisa tajam untuk menghadapi masalah baru.
Yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana kita melihat masalah dan me-redefinisikannya. Inilah yang perlu kita perbaiki. Ini juga bukan hal yang baru. Kuda Trojan pun ditemukan setelah orang Yunani mengalami kebuntuan pemikiran selama 10 tahun sebelum akhirnya mereka menemukan cara merebut kembali kota Troy setelah bisa melihat masalahnya dari sisi yang berbeda.
Brain mining adalah cara untuk menemukan solusi baru dengan menggali, mengintegrasikan, dan menggunakan solusi-solusi yang sudah ada. Dengan demikian, cara berfikir kreatif sangat bisa kita terapkan dan bukan dominasi manusia-manusia unik, berbakat “tingkat dewa”.
Solusi kreatif pasti merupakan situasi “win-win” buat siapa saja. Karenanya suasana ini memang perlu ditumbuhkan di seputar organisasi. Kita akan dimudahkan mengembangkan mindset ini dengan menghidupkan 3 kebiasaan.
Pertama, adalah kebiasaan Quit Quitting, jangan cepat merasa puas dengan apa yang sudah kita miliki dan capai sekarang. Kita perlu meyakini, the sky is the limit, jadi carilah terus cara-cara baru dalam segala aspek permasalahan kita.
Kedua, berani berimajinasi. Banyak hal yang ada dalam masa kehidupan kita sekarang ini juga merupakan hasil imajinasi di masa lampau. Dahulu orang berharap bisa berkomunikasi lintas samudra, lintas benua. Sekarang dapat dilakukan dalam sekejap hanya melalui ujung jari saja.
Yang ketiga adalah tingkatkan intuisi, uji asumsi. Imajinasi perlu diwujudkan sampai ia benar-benar menjadi sesuatu yang memberi nilai tambah dan bisa dirasakan manfaatnya. Lakukan riset untuk mendapatkan bukti yang kuat dan meyakinkan sehingga hasil dari kreativitas itu juga bisa dijual kepada orang lain.
Bila kebiasaan ini kita praktikkan, maka kita akan lebih terbuka lagi untuk menemukan solusi, dari yang sederhana seperti memanfaatkan ruang yang tadinya tidak produktif menjadi ruang yang bisa menghasilkan uang, atau menemukan ceruk baru dalam memasarkan produk. Kitapun tiba-tiba melihat kemungkinan untuk bernegosiasi, ber-“barter” dan bermitra dengan lebih banyak pihak.
Jadi, mencari solusi kreatif sangat tergantung pada diri kita sebagai individu, melihat permasalahan dari sisi yang berbeda, menyinergikan beragam solusi masa lampau dan mentransformasikan ke dalam situasi terbaru. Bezos bilang “Our customers are loyal to us right up until the second somebody offers them a better service”.
Kompas, 2 September 2017