KALAU kita melihat berita-berita yang bertebaran di media massa, mungkin kita bisa merasa frustrasi. Begitu banyak permasalahan yang dihadapi oleh negara ini yang rasanya tidak ada habis-habisnya.
Ada beras subsidi, kelangkaan garam, narkoba, bullying, bahkan sampai urusan agama yang sebenarnya merupakan ranah hubungan antara pribadi dengan pencipta-Nya pun bisa dibawa menjadi urusan negara. Belum lagi urusan ekonomi yang banyak dikeluhkan oleh para pengusaha masih belum menunjukkan titik terang. Semuanya ini bisa membuat kita merasa seolah kehilangan tenaga. Pertanyaannya, kalau para pemimpinnya juga tidak bersemangat, bagaimana dengan anak buahnya, para follower-nya ini?
Kita tahu bahwa salah satu kunci sukses orang-orang seperti Steve Jobs, Marc Zuckerberg, Jack Ma, Bob Sadino, adalah sikap pantang menyerah. Mereka tahan menghadapi sukses dan gagal yang datang silih berganti. Mereka berkeyakinan bahwa sukses dalam bisnis hanyalah produk sampingan dari proses percintaan kita terhadap apa yang kita geluti, di mana kita menjaga komitmen dalam keadaan susah maupun senang.
Pertanyaannya adalah bagaimana menularkan semangat pantang menyerah ini pada bawahan? Bagaimana kita meningkatkan motivasi bawahan? Masihkah kita menganut sistem reward punishment agar mendapat motivasi bawahan? Apakah sesi-sesi motivasi yang sering diadakan di hotel-hotel mewah bisa sukses mendongkrak motivasi seseorang? Sering sekali kita melihat dalam pertemuan-pertemuan di organisasi di mana pemimpinnya memberikan pidato dengan penuh antusiasme membangkitkan semangat sementara pendengarnya malah sibuk berinteraksi dengan ponselnya masing-masing.
Tampaknya, kita sering kurang menyadari bahwa ada bara yang tidak tersentuh pada individu di sekitar kita, bisa pada atasan, pemimpin, tetapi bisa juga pada murid, bawahan bahkan anak sendiri. Kita cenderung bertanya-tanya, “sudah saya beri contoh, kebiasaan-kebiasaan baik saya, tetapi mengapa tetap sulit menularkannya?” Sepertinya di dalam setiap individu, ada titik, semacam busi mesin mobil, yang bila terkena percikan energi akan menyala dan membuat individu itu berbinar-binar dan bersemangat. Kita bisa melihat hal ini secara jelas pada individu yang sedang jatuh cinta. Tiba-tiba ia sibuk menata diri, sangat positif, seolah setiap pagi melompat dengan penuh semangat dari tempat tidurnya menyambut hari. Seperti inilah tampaknya seseorang yang antusias mengerjakan apa yang dia suka. Tidak ada rasa lemas, bosan apalagi tak bersemangat.
Motivasi internal ini ada di setiap individu. Namun, pemimpin yang baik haruslah mampu menemukan posisi “busi” dalam setiap individu agar api menyala pada percikan yang tepat. Idealnya kita berharap anak buah bisa datang ke kita dengan usulan-usulan cemerlang di mana kita hanya tinggal merestui usulannya dan kemudian mendukungnya dengan apa yang mereka butuhkan. Namun, impian tersebut jarang terlaksana. Tetap saja motivasi bawahan menjadi masalah besar di lingkungan kerja. Sebenarnya, apakah pemimpin memang memperhatikan motivasi bawahannya?
Para pemimpin bisa mengecek bagaimana kebiasaannya sekarang: apa yang kita katakan bila bawahan datang dengan ide atau tantangan yang belum pernah anda dengar? Apakah kita memberi respons dengan segera terhadap permintaan mereka? Apakah kita biasa membantu mereka mengeksplorasi solusi-solusi baru yang menurut mereka menarik? Apakah kita selalu memberi ruang dan waktu agar bawahan kita bisa bereksperimen?
Di sinilah seringkali letak problem kepemimpinan. Pertama, apakah kita sendiri memang bermotivasi tidak ada habisnya? Pemimpin yang malas dan tidak perfeksionis tidak mungkin berharap anak buah yang antusias, rajin dan teliti. Yang kedua, apakah kita bisa memercikkan api ke busi individu ini sehingga motivasi intrinsiknya menyala? Apakah kita berusaha memahami kondisi anak buah dan menemukan passion-nya?
“Fire-in-the-belly”
Dalam dunia bisnis sekarang ini, kita melihat bagaimana pengusaha-pengusaha muda dengan bisnis start up-nya yang demikian gigih. Mereka sepertinya memiliki motivasi intrinsik yang sangat kuat, terus menerus memikirkan “what next”, bagaimana menciptakan kreasi-kreasi baru karena dengan media informasi yang begitu cepat, kesuksesan juga dengan mudah ditiru oleh orang lain. Kesuksesan bisnis tersebut sepenuhnya tergantung pada semangat juang mereka.
Dalam kehidupan kerja, kitapun sebenarnya menghadapi hal yang sama, tetapi urgensinya sering tidak terlihat di balik organisasi besar yang sudah memiliki prosedur dan produksi yang tetap. Kita jadi sering memberi kesempatan pada diri sendiri untuk slow down tanpa menyadari bahwa yang lain dengan gesit terus berusaha mencari celah untuk merebut kesempatan. Bagaimana menjaga agar api terus menyala di perut kita maupun para individu followers kita?
Tugas pemimpinlah menjaga api dan tetap mewaspadai api di dalam individunya. Mulai dari menjaga “the why”-nya. Pemimpin DKI Jakarta perlu kuat-kuat memberi logika kenapa perlu melakukan pembangunan secara serentak dan bukannya satu persatu sehingga berakibat jalanan menjadi super macet. Hasil yang mulai nyata terlihat seperti Simpang Susun Semanggi memang menambah keyakinan para follower menguat. Kekuatan pemimpin dalam keterlibatan dengan segala macam proses perbaikan juga menjaga semangat. Pemimpin yang hanya tahu teori dari proses pekerjaan sekarang sudah tidak di-“buy in” para pengikutnya lagi. Tanya jawab dan diskusi serta pemecahan masalah bersama adalah ajang pengikat dan penyemangat tim dalam menghadapi kesulitan.
Kebiasaan-kebiasaan inilah yang harus dibudayakan sehingga nyala api semangat dapat dijaga dalam jangka waktu yang lama. Dalam kondisi yang serba berubah dan canggih ini, kita perlu melakukan konsentrasi super ketat, membuktikan bahwa kerja keras kita memang terfokus sambil tetap menjaga kepuasan batin anak buah kita.
So do what it takes to keep that fire lit and fueled. Share the warmth and light from it with those around you. You’ll find that success that is born of true passion is the most fulfilling kind of success.
Dimuat dalam KOMPAS, 5 Agustus 2017