KEPEMIMPINAN adalah isu yang tidak ada habisnya. Kita menyadari betapa kualitas seorang pemimpin akan membawa pengaruh yang begitu besar kepada organisasi bahkan negara. Pertengahan tahun ini, kita mendapatkan berita yang membanggakan di mana menurut laporan terbaru Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan Jokowi tahun 2016 sebesar 80 persen, menduduki posisi pertama dan melesat dibanding tahun 2007 yang hanya mencapai 28 persen.
Disebutkan pula, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia kepada Presiden Jokowi melampaui tingkat kepercayaan masyarakat India kepada Perdana Menteri Narendra Modi, yang hanya sebesar 73 persen, Afrika Selatan 48 persen, Brasil 26 persen dan bahkan di atas negara-negara maju lainnya seperti Finlandia dan AS. Bukti dari kepercayaan itu ditunjukkan juga dengan tingkat keberhasilan taxamnesty Indonesia yang dinilai sangat tinggi melampaui negara-negara lain. Masyarakat percaya dan mau membuka kepada negara aset yang selama ini ditutup-tutupinya.
Mengapa tingkat kepercayaan ini menjadi demikian penting? Pemimpin yang efektif adalah mereka yang dapat membuat follower-nya percaya pada visinya dan bergerak menjalankan arahannya dengan baik dan tepat. Banyak upaya dilakukan untuk mengembangkan, melahirkan dan menemukan pemimpin yang bisa membawa perubahan dan mendorong followernya untuk mengeluarkan potensi mereka dan mengoptimalkannya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Mulai dari menjalani assessment center untuk mencari pemimpin terbaik, sampai kepada progam-program pengembangan kepemimpinan banyak ditawarkan demi mencari pemimpin yang efektif.
Ada teori yang membahas tentang pro kontra pemimpin yang kharismatik dengan ego yang kuat, versus yang rendah hati dan tidak memikirkan dirinya sendiri. Ada juga yang mementingkan komando dan dibantah pula oleh teori di mana pemimpin harus berada di tengah timnya. Kita sudah mengelu-elukan Bung Karno, sebagai orator, pemberani dan banyak lagi kualitas positif lainnya, tanpa bisa mendefinisikan dengan tepat faktor apa yang menyebabkan Soekarno bisa bersama mitranya Mohammad Hatta, membawa Indonesia ke kemerdekaan. Apa yang menyebabkan seluruh rakyat Indonesia seolah menurut, setuju, dan mendukung gerakan presidennya? Bagaimana kalau Soekarno hidup pada zaman sekarang dengan segala kebiasaannya yang tidak 100 persen patut dicontoh, dengan sosial media yang gencar begini, apakah beliau dapat tetap memengaruhi pikiran dan motivasi rakyatnya? Yang jelas pada masanya, Soekarno sudah mendapatkan rasa percaya dari pengikutnya. Leadership is about earning and retaining the faith of others. Bagaimana dengan pemimpin sekarang?
Tanpa rasa percaya, kepemimpinan tak mungkin efektif
Bila kita mengamati tingkah laku dan sikap pemimpin, di dalam suatu rapat misalnya, maka banyak pemimpin yang berusaha menjadi yang paling top, paling bersuara, kharismatik dan paling makmur di lingkungan itu. Tetapi apakah posisi posisi tersebut menyebabkan kepemimpinannya efektif? Apakah bisa diyakini bahwa para pengikut patuh, dan mendukung? Semuanya ini hanya akan terjadi bila pemimpin dipercaya anak buahnya.
Namun, tidak semua pemimpin tahu cara menggalang rasa percaya itu. Ada pemimpin yang cukup menyampaikan sesuatu dalam satu kalimat singkat dan sudah mendapat rasa percaya anak buah. Ada juga yang harus memberi keterangan secara berbusa busa. Bahkan ada yang sampai menggunakan kekuasaannya serta menimbulkan rasa takut agar anak buah menurut. Leadership isn't complicated, but it is hard. Kita tak perlu jungkir balik meyakinkan anak buah, asal saja kita tahu bagaimana mekanisme rasa percaya itu diberikan pada pemimpin.
Membangun kualitas hati
Gardiner Morse, seorang ahli manajemen, mengungkapkan bahwa seorang pemimpin hanya bisa membangun rasa percaya bawahannya melalui kompetensi dan keajegan kompetensi tersebut. Para bawahan memerlukan bukti melalui karakter dan kapasitasnya. Talking will not be enough. Vision will not be enough. Masih ingat, bagaimana Jokowi mengawasi penutupan bendungan yang jebol saat baru menjadi gubernur? Saat itu beliau berada di tengah-tengah tim prajurit yang berusaha menutup tanggul yang bocor. Saat itu, apakah tingkat kepercayaan kita padanya sudah tinggi?
Seorang pemimpin akan segera mendapat simpati bawahannya melalui hal yang dikerjakan dan hasilnya. Demikian pula, bagaimana ia mengatasi masalah dan bagaimana ia bangkit dari keterpurukan. Hal inilah yang tidak bisa kita pelajari dari sekolah bisnis manapun. Apalagi menghadapi keadaan dan situasi yang terus bergerak ini.
Pemimpin zaman sekarang perlu mempunyai kedekatan dengan bawahan atau rakyatnya secara riil. Pemimpin sekarang perlu bisa disentuh. Tidak heran bila pemimpin sekarang tidak bisa menghindar dari acara berfoto bersama, dan berdialog santai. Konektivitas dengan bawahan akan memberi kesempatan rasa percaya tumbuh. Selain itu, hanya melalui kedekatanlah bawahan bisa merasakan hawa kepemimpinan atasannya.
Dengan transparansi media sekarang, pemimpin juga tidak bisa menghindar dari sorotan kritis anak buah. Dengan siapa dan bagaimana ia menghabiskan waktunya dalam kehidupan sehari hari akan selalu terbaca dan termonitor. Pertimbangan moralnya, penyertaannya dalam mengambil keputusan juga akan dijadikan dasar memberi kepercayaan kepadanya. Konsistensi antara ucapan dan perbuatan juga sangat penting, mengingat dengan kecanggihan teknologi, rekam jejak perbuatan pemimpin akan dengan mudah ditelusuri kembali.
Saat sekarang, emosionalitas pemimpin juga dilihat. Apakah ia sensitif terhadap lingkungan? Apakah ia sensitif terhadap golongan minoritas? Apakah ia jelas mempertimbangkan kesejahteraan seluruh golongan?
Hal yang juga tidak kalah penting adalah, apakah para pengikut bisa meraba emosi pemimpin. Apakah pengikut, rakyat bisa merasakan hubungan emosionalnya dengan pemimpinnya?
Dari sini kita melihat bahwa seorang pemimpin hanya bisa menguatkan kepemimpinannya bisa ia mengembangkan kekuatan hatinya, tidak mengandalkan kekuatan rasionya saja. Jati diri autentiknyalah yang dinilai bawahan.
They might give you their minds. They might give you their hands. But never their whole hearts. They won’t be fully engaged with what they are doing — they won’t be fully passionate.
KOMPAS, 29 Juli 2017