PIKIRAN kita seolah tak henti-hentinya dikejutkan dengan perubahan yang demikian cepat di dunia ini. Baru-baru saja kita merasa mahalnya berkomunikasi dengan kerabat di luar negeri. Sekarang kita bisa mengobrol tanpa batas, bukan saja lewat suara, tetapi juga melalui video, secara gratis.
Artificial Intelligence, mobil tanpa pengemudi, transportasi kilat, drone, robot di tempat kerja dan di restoran tengah menjadi pembicaraan hangat saat ini. Nampaknya kita sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan baru yang tak terduga-duga. Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity (VUCA) sudah menjadi norma. Sampai-sampai ada seorang teman yang berkomentar, “Bersiaplah menjadi dinosaurus bila kita tidak mengikuti kemajuan zaman”.
Berselancar dalam perubahan memang mudah dikatakan, tetapi sulit dipraktikkan. CEO dari salah satu klien EXPERD, seorang yang cukup senior namun berpikiran maju, sangatlah sadar bahwa perusahaannya yang tahun lalu sudah mencapai target lebih dari 40 persen harus melakukan pembaharuan terus-menerus. CEO ini sangat menyadari, walaupun keadaan finansial perusahaan baik, perusahaan masih tertinggal dalam hal inovasi. Meski sudah merekrut banyak milenial untuk menciptakan suasana inovatif, perusahaan tetap berjalan seperti semula. Business as usual. Ia khawatir keadaan ini akan berbuntut pada penurunan semangat kerja karyawan, hilangnya rasa saling percaya, dan perebutan pelanggan antar cabang mereka sendiri, kelak. Seruan dan persuasinya tentang inovasi tidak membuat karyawan bergerak untuk menciptakan produk maupun proses bisnis baru. Para karyawan terlalu nyaman menikmati kemenangan. Tentunya hal ini menimbulan pertanyaan: hal apakah yang membuat karyawan enggan menghentikan praktik-praktik lama, yang sesungguhnya harus diubah?
Ada penelitian pada abad ke 19, yang menguji reaksi katak terhadap panas. Ada kaktak yang langsung disiram air mendidih, lalu ada pula yang ditempatkan pada air yang perlahan dipanaskan hingga mendidih. Katak yang terakhir, akan tenang-tenang saja menikmati kehangatan, sampai ketika ia merasakan betapa mendidihnya air, ia berusaha menyelamatkan diri, tetapi sudah terlambat .
Bagaimana dengan manusia? Seorang dokter menyatakan, bahwa nasihat-nasihat untuk menguruskan badan, berolahraga, rata-rata hanya langsung dipraktikkan oleh 5 persen pasiennya. Sebuah penelitian juga menemukan bahwa keengganan berubah datang dari masing-masing individu dan berpusat pada dirinya yang paling dalam. Masing-masing individu merasa tidak kompeten untuk berubah, apalagi menciptakan perubahan. Ada yang merasa berubah itu bukan bagian dari jabatannya. Jadi, ia memilih atau menunggu perubahan yang datang dari pihak lain. Namun, sekarang, mindset bahwa kestabilan dan keseimbangan itu positif, harus berubah. Ketidakstabilanlah yang harus dipercaya, betapa pun sulitnya perubahan itu sendiri.
Mentalitas inovator
Seorang manajer perusahaan besar mengeluh karena ketika perusahaan melakukan efisiensi, maka kesejahteraan karyawanlah yang terkena dampaknya. Contohnya, peniadaan fasilitas snacks menurut sang manajer menyebabkan semangat kerja karyawan menurun. Terlepas dari tepat tidaknya tindakan manajemen, sikap manajer ini sebetulnya tidak sinkron dengan semangat inovatif. Bukankah sudah saatnya setiap orang di perusahaan mengadaptasi mental para startups yang kritis, berusaha menemukan jalan keluar yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, dan berani mengambil risiko?
Orang sering takut mendengar kata inovasi, seolah-olah menjadi inovator itu sesulit menemukan roda bulat semasa semua orang berjuang mencari cara praktis memindahkan benda berat. Inovasi tidaklah harus seinventif itu. Inovasi pada dasarnya adalah menemukan cara-cara baru dari hal-hal yang sudah menjadi rutinitas, dan tanpa disadar, ternyata sudah usang. Inovasi juga bukan sekedar menggunakan ponsel tercanggih ataupun tahun terbaru. Inovasi berarti CEO sampai karyawan paling bawah harus mencemplungkan diri, mengulik dan mengotorkan tangan dalam proses bisnis dan berfikir tentang apa yang bisa diperbaharui, dan peluang apa yang bisa diambil, dengan bermodalkan pengalaman, pengetahuan serta network yang ada. Teknologi bukan sekedar dibicarakan layaknya kisah misteri tanpa solusi. Budaya perusahaan harus menjadi budaya yang ramah teknologi baru sehingga semua orang antusias mencoba dan belajar menikmatinya.
Inovasi yang kita lihat belakangan ini, seperti penemuan mobil Tesla, adalah inovasi yang sangat disruptif karena melakukan lompatan beberapa tahun ke depan. Ada juga adjacent inovation yang perubahan dilakukan selangkah ke depan. Ini yang lebih mudah dilakukan. Sementara itu, upaya memperbaiki apa yang sudah kita lakukan dengan menciptakan cara baru bisa kita sebut dengan sustaining inovation. Kita mempunyai pilihan akan melakukan kinovasi apa, sesuai dengan kemampuan kita, asalkan tetap berniat untuk berinovasi, setiap saat.
Terdepan dalam permainan
Satu-satunya jalan untuk bertahan di situasi waspada ini adalah dengan menempatkan diri di posisi terdepan dalam permainan. Kita perlu menjadi yang pertama dalam menelurkan produk atau cara baru. Menjadi pengikut tidak lagi memberikan posisi yang segar di pasar. Untuk itu, kita tidak bisa mengandalkan hanya segelintir orang dalam organisasi. Semua harus bergerak. Semua harus saling berbagi, dan mengawasi apa yang sedang terjadi di dunia luar sana. Setiap orang, tak perduli orang produksikah, back office-kah, atau garda terdepankah, haruslah awas terhadap perkembangan dunia. Kepekaan menemukan kelambanan, stagnasi dan peluang perbaikan adalah tugas semua orang. Untuk itu, setiap individu perlu saling dukung. Pembicaraan dan diskusi memang berpotensi meningkatkan ketegangan maupun silang pendapat. Namun, bila hal ini dibiasakan, rasa percaya antar-individu akan terbangun ke tingkat yang berbeda. Kesulitan adalah tantangan. Kegagalan adalah pelajaran.
Kompas, 22 Juli 2017