TERLEPAS dari kehebatan para biliuner di bawah usia 30 tahun, yang menemukan beragam produk yang sebelumnya benar-benar tidak terpikirkan seperti Snapchat, Stripe, Paytm dan masih banyak lagi, kita juga banyak menemukan fakta banyaknya generasi muda sekarang yang mengalami kesulitan untuk menjaga kemapanan karier di organisasi yang relatif besar. Bahkan, dalam organisasi yang dianggap sebagai best employer, pilihan nomor satu saja, terjadi turnover yang jauh lebih besar dibandingkan dengan situasi beberapa tahun yang lalu.
Banyak strategis organisasi berusaha menanggulangi masalah ini. Banyak juga yang langsung membuat hipotesis bahwa masalah terletak pada generasinya. Generasi milenial oleh setiap bangsa mendapatkan julukan macam-macam. Di Swedia mereka dijuluki Generation Curling, di China dijuluki ken lao zu, yaitu generasi yang menelan generasi yang lebih tua, sementara di Jepang disebut sebagai nagara-zoku: si BM (generasi Banyak Mau).
Kita bisa saja lepas tangan dan menyalahkan generasi dengan usia yang relatif muda ini, tetapi apakah hal ini tidak berbahaya? Pada 2020, sekitar 70 persen dari tenaga kerja yang akan terdiri atas generasi yang lahir pada 1995 ke atas. Bisakah kita terus-menerus mengeluhkan kesenjangan yang ada dan tidak berbuat sesuatu ? Bahkan, tidak sedikit generasi yang lebih senior seolah-olah tidak memberi tempat kepada si new comers ini karena dianggap tidak sejalan dan sama seriusnya dengan orang-orang lama organisasi. Adakah yang bisa kita lakukan secara bersama-sama sehingga kita bisa hidup bersama dengan harmonis dalam organisasi yang mapan dan produktif? Hal yang benar-benar harus kita ingat adalah bila kita tidak berkooperasi dengan golongan usia muda ini, organisasi akan kosong. Selain itu, kita akan sulit mendapatkan kreativitas dan pembaruan yang merupakan kekuatan mereka.
Membenahi prasangka
Cara kita memandang anak muda sebetulnya sama nyinyirnya dengan cara anak muda memandang generasi yang lebih tua. Penuh prasangka dan kecurigaan. Gen Y atau milenial tanpa pikir panjang sudah dianggap tidak sopan, malas, dan gila teknologi. Sementara itu, generasi di atasnya dianggap generasi stagnan yang kurang inovatif. Benarkah kenyataan ini? Apakah pernyataan ini bisa dibuktikan secara ilmiah?
Tampaknya tidak ada inisiatif serius untuk mematahkan prasangka satu sama lain. Banyak kebiasaan yang memang tidak dilakukan oleh generasi muda, seperti halnya generasi sebelumnya. Generasi sekarang tidak membawa kertas dan pensil kemana-mana. Sebagai penggantinya, mereka menggunakan ponsel pintar untuk berbagai keperluan. Apakah hal ini akan mengganggu bila sedang rapat? Apakah kita yakin bahwa anak muda tertentu mencatat dan bukan ber-Snapchat dengan temannya? Namun, sebaliknya, apakah kertas dan pensil menunjukkan bahwa kita memang sedang mencatat dan bukan sekedar coret-coret.
Jadi, sebenarnya bukan medianya yang perlu kita permasalahkan, melainkan hasil produktivitaslah yang sebenarnya menentukan. Bila kita lebih banyak berfokus kepada target yang ingin dicapai, dengan mudah kita bisa berkomunikasi satu sama lain tanpa harus nyinyir membahas “caranya”. Tidak ada gunanya juga untuk memiliki sekumpulan karyawan yang duduk manis di kantor bahkan sampai lembur, bilamana tidak menunjukkan hasil yang nyata, bukan? Marilah kita sama-sama sepakat dan jelas mengenai tujuan yang akan diraih dan biarkan tiap generasi bekerja dengan caranya sendiri.
Jangan salahkan teknologi
Kemudahan dan murahnya teknologi sering membuat kita tanpa sadar membiarkan akses komunikasi masuk tanpa henti selama 24 jam. Jangankan chatting yang notifikasinya setiap saat bordering, inbox e-mail kita pun tak pernah kita istirahatkan. Kita berkomunikasi terus-menerus, dengan orang di luar ruangan, dengan orang lain yang secara fisik berada jauh dari kita. Tidak hanya itu, sering kali pikiran kita berada jauh dari tugas yang sebenarnya sedang berada di depan mata kita, dan akhirnya berpengaruh pada mutu kerja kita. Sering kali kita dengar bahwa ini adalah gejala kemajuan teknologi. Benarkah begitu?
Teknologi seharusnya menjadi alat bantu bagi kita untuk mencapai tujuan, bukan malah memengaruhi fokus dan produktivitas kita. Keahlian kita perlu kita kendalikan kembali. Kita harus tahu bahwa karier memang akan mati bila mutu kerja kita hanya separuh-separuh dan tidak tuntas, tanpa kita bisa menyalahkan teknologi.
Terlalui banyak bicara, tak cukup mendengar
Dengan kemampuan anak sekarang menguasai berbagai Bahasa, lisan dan tulisan, seyogianya komunikasi menjadi semakin lancar. Namun kenyataannya, sekarang, cara komunikasi malah semakin mungkin menjadi career killer. Banyaknya komunikasi lewat teks, dengan segala macam bantuan emoticon, membuat kita malah menjadi semakin tidak sabar untuk lebih banyak mendengar, untuk tahu dengan jelas apa yang dimaksud oleh lawan bicara. Kita juga jadi tidak terbiasa lagi untuk menelaah suatu masalah secara mendalam karena mesin pencari dapat melakukannya dengan lebih cepat dan mudah. Kita pun bisa dengan cepat memilih informasi mana yang ingin kita baca, mana yang rasanya terlalu sulit untuk membaca textbook, jurnal-jurnal ilmiah, pun semakin lama semakin berkurang.
Dalam organisasi, kompetensi teknis sering kali lebih dihargai ketimbang kompetensi nonteknis. Seberapa sering kita menolak calon karyawan yang kurang pintar, memiliki kemampuan analisis yang rendah, ketimbang dengan yang kurang mampu mendengar? Sering kali kita mempromosikan karyawan yang tampil brilian dengan ide-idenya tanpa mempertimbangkan apakah ia mampu membimbing timnya untuk mengeluarkan segenap potensi terbaik yang mereka miliki. Sudah saatnya bagi generasi mana pun untuk meninjau kembali cara mereka belajar dan berkembang. Setiap generasi memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Hal inilah yang perlu kita yakini dan manfaatkan seoptimal mungkin. “Personal growth centers on two types of people, the ones we like and the ones that drive us crazy” Auliq Ice
Dimuat dalam KOMPAS, 1 Juli 2017