BELAKANGAN ini, kita semakin sering mendengar ungkapan-ungkapan mengenai golongan etnis, atau religi tertentu, yang bukan saja menyengat dan menyinggung perasaan, tetapi juga membuat kita berdecak heran, karena melihatnya sebagai buah jalan pikir yang terlalu sederhana dan bukan hasil pengolaan yang mendalam.
Dalam keadaan yang menjunjung tinggi keberagaman, kita seolah tetap berjalan di tempat, seperti halnya perjuangan masyarakat Amerika yang berusaha tidak membeda-bedakan mereka yang jago basket, mereka yang mahir matematika, ke dalam kelompok-kelompok, tetapi kemudian pemimpinnya sendiri dengan terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada kelompok tertentu. Hal-hal yang berkenaan dengan persepsi dan pengambilan kesimpulan ini memang tidak mudah dihindari karena pada dasarnya manusia terus berpikir, melakukan analisis, dan mengambil kesimpulan. Namun, bila kita tidak berhati-hati, akan terjadi banyak kekeliruan persepsi, kesalahan perhitungan, dan buruknya strategi dalam mengambil keputusan, terutama bila berkenaan dengan faktor-faktor demografis dan urusan manusia lainnya.
Mengapa kita yang sudah berpendidikan ini sering salah memersepsi orang? Mengapa kita dengan mudah menggeneralisasi suatu golongan etnis sebagai orang-orang yang memiliki sikap tertentu, sementara faktanya tidak semua individu dari golongan tersebut mempunyai sikap maupun nilai yang demikian? Kebiasaan melakukan penyamarataan terhadap sekolompok orang ini dalam ilmu psikologi disebut sebagai gejala stereotip. Para ahli mendefinisikannya sebagai cara pikir yang terlalu menyimplikasi dan terlalu cepat menggeneralisasi suatu gejala. Sebagai contoh, bila kita sudah beberapa kali mendengar cerita tentang negatifnya suku bangsa tertentu, kita langsung mengambil jarak bila bertemu dengan orang-orang dari suku tersebut. Atau sebaliknya, banyak dari kita yang justru sering menunjukkan rasa hormat berlebihan terhadap orang asing, terutama yang berkulit putih. Ini pun sebuah bentuk stereotip.
Di media sosial dan berbagai media komunikasi yang ada sekarang, kita banyak menemui kritik atau protes keras terhadap orang-orang yang secara ekstrem menunjukkan gejala stereotip ini. Banyak yang menyebut mereka sebagai orang-orang bodoh. Tetapi, betulkah mereka yang berpikir dan bertindak stereotip ini bodoh?
Kecenderungan berpikir cepat dan sederhana
Di dunia informasi dimana kita selamanya akan dibombardir oleh fakta-fakta yang tidak ada batasnya, kita cenderung memproses berbagai informasi seefisien mungkin. Bagi orang-orang tertentu yang kurang jeli, yang mereka lakukan adalah mengurangi informasi yang kompleks menjadi lebih sederhana, linier, bahkan kemudian di generalisasi. Berbagai informasi baru kemudian diproses menjadi kesimpulan atau dalil yang mudah dicerna, tetapi sayangnya tidak akurat.
Hal yang kerap melatarbelakangi terbentuknya cara berpikir stereotipik ini adalah kebiasaan. Kalau kita berada di lingkungan yang sering mengelompokkan orang berdasarkan latar belakang etnik atau agamanya, kita bisa terbawa untuk secara instan mengotak–kotakkan siapa saja. Kita menjadi sangat selektif dalam menganalisis lingkungan sosial kita dengan hanya melihat apa yang ingin kita lihat. Jadi, kitalah yang mendistorsi pikiran kita sendiri. Sayangnya, jika kita berada dalam lingkungan yang juga melakukan hal yang sama, kita tidak lagi merasakan adanya distorsi dalam pemikiran kita. Masyarakat pun mengakomodasi cara pandang yang sangat tergeneralisasi ini dengan menggunakan suku bangsa sebagai acuan utama dalam menilai karakteristik seseorang, baik dari sisi buruk maupun tumbuh dengan prasangka yang disahkan oleh masyarakat.
Memanusiakan manusia
Dengan kecanggihan informasi, teknologi dan berbagai perangkat pendukungnya, kita sebenarnya tengah berjalan mundur bila membiarkan penilaian kita bekerja dengan amat tergesa-gesa, sederhana, tanpa usaha untuk menelitinya lebih lanjut. Apalagi hal ini berkenaan dengan analisis perilaku manusia yang kompleks.
Dengan kemajuan zaman, sebenarnya hidup dan karakteristik manusia sudah semakin bertambah rumit, tidak menjadi semakin simple . Dengan mengglobalnya kehidupan, setiap manusia, termasuk kita sendiri, sudah menjadi individu yang multifungsi, dan multidimensional. Melihat seseorang dari satu sudut saja bisa jadi merupakan pandangan yang masih mentah. Kita pun kehilangan kesempatan untuk menemukan kekuatan dari seorang individu kalau kita hanya berfokus pada salah satu sisinya saja. Jadi, berpikir stereotipik ini sesungguhnya bukan terjadi pada orang yang malas berpikir dan tidak terlatih untuk berpikir obyektif.
“Seek to understand”
Pernahkah kita menemui seseorang yang dalam percakapan selalu mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan berusaha terus menggali, sebelum membuat kesimpulan? Kebiasaan seperti ini adalah modal untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya guna memahami orang lain lebih mendalam, dari berbagai sisi. Dengan latihan dan kebiasaan seperti ini kita bisa lebih memahami kekayaan pribadi setiap individu.
Bila kita tetap menghalalkan cara berpikir yang menggeneralisasi dan menyederhanakan segala sesuatu, termasuk dalam upaya memahami sifat-sifat manusia, kita sulit untuk melangkah maju menjadi orang-orang yang lebih fleksibel dan toleran. Diperlukan upaya sadar untuk keluar dari batas-batas yang kita ciptakan sendiri sehingga lebih banyak jembatan hubungan yang bisa dibangun dalam masyarakat yang sangat beragam ini.
Dimuat dalam KOMPAS, 24 Juni 2017