BELAKANGAN ini kita menyaksikan banyak sekali tontonan perbuatan orang yang tak jarang membuat kita mengernyitkan dahi atau geleng-geleng kepala melihat tingkah laku manusia yang tidak pantas. Tidak hanya orang-orang di sekeliling kita, bahkan presiden negara adidaya pun tak kunjung berhenti memberi kejutan. Beliau mungkin lupa bahwa sebagai seorang pemimpin, dirinya akan terus menjadi sorotan, mulai dari body language-nya menghadapi mitra-mitranya, sampai kepada tutur kata dan kebijakan yang diambilnya.
Kecanggihan teknologi juga tindak terkecil sekalipun dapat terekam dan diputar ulang serta disebarluaskan. Di negara sendiri pun kita terperangah mendengar ungkapan-ungkapan dari individu yang kita anggap perlu dipanut, tetapi kemudian mengungkapkan hal-hal yang tidak pantas, yang hanya bisa diekspresikan oleh orang yang belum mengenal pelajaran etik, sopan santun, ataupun budi pekerti.
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga tak jarang melihat orang yang begitu merasa “mendapat angin” langsung menunjukkan kepongahannya, tidak sadar bahwa perilakunya bisa membuat orang menderita, merasa kalah dan tertekan. Di dalam organisasi kita juga mulai merasa sulit menemukan orang yang matang, bisa menahan emosi, bisa berhubungan dan menghadapi orang lain dengan dewasa dan bertanggung jawab. Ungkapan lama tentang fenomena “a little boy inside the man” bila diamati memang terjadi pada tiap individu. “Tua memang belum tentu dewasa”. Orang yang kadar anak kecilnya tinggi sering kali kesulitan menunjukkan disiplin, tanggung jawab, kepedulian, dan stabilitas emosi yang konsisten. Bahkan, seorang psikolog di Afrika Selatan mengungkapkan bahwa dalam asesmen di negaranya, sudah lazim dibedakan antara usia fisik dan usia emosi.
Orang yang usia emosinya tidak sesuai, biasanya akan menunjukkan gejala-gejala anak kecil, terutama pada saat tertekan. Sebagaimana kita ketahui, anak usia taman kanak-kanak biasanya tidak bisa menahan kemarahannya dan menunjukkan tingkah laku tidak terkontrol ketika kemauannya tidak dituruti. Orang dewasa tentunya mampu menimbang dulu bagaimana ia harus beraksi, apakah situasinya tepat untuk beraksi dan bagaimana tanggapan orang lain terhadap reaksinya tersebut; tidak impulsif seperti anak-anak TK yang memang belum mencapai tingkatan dimana mereka bisa membedakan tindakan yang beradab dan yang belum. Dalam istilah Freudian, reaksi anak-anak biasanya lebih dikuasai oleh dorongan id mereka, di mana peranan superego yang ditularkan oleh orang tua belum terlalu kuat. Kebiasaan-kebiasaan mem-bully, mempersalahkan orang lain, tidak mengakui kesalahan, ataupun tidak sabar dan tidak mampu menunjukkan komitmen memang perlu dilatih dan dikembangkan oleh orang usia dewasa.
Gagal dewasa
Belajar menjadi dewasa itu seperti layaknya orang yang jatuh bangun dalam belajar naik sepeda. Dia perlu mengalami jatuh bangun sebelum akhirnya bisa menemukan keseimbangan dan menikmati setiap kayuhannya. Bisa saja jatuh bangun ini disebabkan karena kurangnya bimbingan atau individu memang banyak memelihara mekanisme pertahanan yang sebenarnya perlu didobrak dirinya sendiri. Mekanisme pertahanan diri yang muncul ini sering kali dilatarbelakangi oleh kecemasan yang tidak mudah diraba oleh individu untuk melakukan penelaahan yang mendalam dan wawas diri. Individu justru perlu menghadapi sendiri situasi-situasi social yang menantang untuk menumbukan kedewasaan itu; tidak bisa belajar hanya dengan mengamati dari kejauhan. Kita pun tidak bisa jago naik sepeda dengan hanya membacanya dari buku, bukan? Orang yang berniat untuk jadi lebih dewasa perlu menantang rasa rendah diri dan kepasifannya dan mengerem kerja mekanisme pertahanannya sedikit demi sedikit.
Aktifkan “observing ego”
Di dunia psikologi, istilah observing ego merujuk pada kemampuan orang untuk melihat kesalahan dirinya dan belajar kesalahannya. Kita juga sering menggunakan istilah kemampuan untuk keluar dari diri kita sendiri, dan melihat diri kita dari diri kita sendiri, dan melihat diri kita dari sisi yang berbeda. Marah dan lepas kontrol adalah hal yang manusiawi. Yang membuatnya berbeda adalah apakah setelah suatu kejadian kita berusaha menelaah, mempelajarinya dan berusaha meminimalisir reaksi negatif dan menggantinya dengan reaksi yang lebih positif? Sebagai orang berusia dewasa, meningkatkan diri untuk menjadi lebih matang membutuhkan pergulatan batin tanpa rasa lelah. Namun, hal ini sangat kita perlukan, apalagi menghadapi generasi yang jauh lebih muda dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kuasai hidup Anda
Dalam keseharian, kita sering merasa bahwa tugas utama kita adalah memperbaiki orang lain, misalnya anak, anggota tim, bahkan stakeholder lainnya. Sementara itu, agenda yang paling sering terlupakan adalah niat untuk mengasah kematangan pribadi kita. Bahkan, sikap negatif pun sering kita carikan pembenaran sehingga kita tidak merasa memerlukan perbaikan. Padahal, kita semua tahu bahwa dengan bersikap positif, kita bisa lebih bahagia dan mempunyai energi lebih utuk melakukan sesuatu. Seperti yang dikatakan Michael Jackson dalam lagunya juga mengatakan “if you want to make the world a better place, taje a look at yourself and make a change.”
Banyak kebiasaan baik menuju kematangan dan kedewasaan emosional. Latihan mengucapkan syukur dan terima kasih untuk setiap kejadian dalam keseharian akan membuat kita lebih bahagia. Kita juga perlu meyakini bahwa dalam hidup ini tak ada jalan buntu. Kita bisa menata ulang sasaran kita. “sometimes you win and sometimes you learn”, kata Robert Kiyosaki. Kita pun bisa mengimajinasikan situasi-situasi tidak enak, seperti ditinggalkan orang yang kita andalkan, dicaci-maki orang sehingga kita menjadi lebih siap dan kuat ketika benar-benar menghadapi situasi seperti itu.
Jalan menuju kematangan ini akan jauh lebih ringan bila kita mampu mendeskripsikan hidup kita dengan kata-kata positif. Kata-kata seperti : lemas, bosan, kacau, marah sungguh memberi pesan kepada jiwa kita bahwa hidup memang sulit. Kebiasaan berespons dengan sarkasme membuat muka kita kian pesimistis. Kita akan sukses melewati anak tangga kematangan kita bila kita mampu melihat permasalahan dan langsung berpikir mengenai solusinya. Kematangan jiwa ini tidak bisa digantikan oleh mesin secanggih apa pun dan hanya bisa diperoleh dengan latihan oleh diri sendiri.
Dimuat dalam KOMPAS, 10 Juni 2017