PERNAHKAH kita melihat adanya olahragawan yang setelah menang, langsung berhenti berlatih, beristirahat, berleha-leha, dan tetap menang pada pertandingan berikutnya? Bagaimana dengan kinerja kita? Terkadang, sesudah menyelesaikan bangku kuliah, di mana kita tanpa lelah mengerjakan tugas demi tugas, ujian demi ujian, berkompetisi dengan ribuan pencari kerja untuk bisa diterima di perusahaan favorit, bisa jadi kemudian kita merasa lega karena ternyata kehidupan bekerja tidak se-hectic seperti semasa kuliah. Bahkan, dengan memasuki dunia birokrasi, kita mempunyai kebiasaan baru: menjaga prosedur standar yang kita patuhi.
Dalam konteks lain, kita juga merasa bahwa semakin kita berumur, tubuh kita semakin tidak fleksibel. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kalau kita jujur pada diri sendiri, jawabannya adalah bahwa memang kita tidak melakukan latihan kelenturan otot yang cukup. Kakak saya ketika berusia 50-an tahun, tiba-tiba menyadari bahwa tubuhnya kaku. Sejak itu, beliau berlatih pilates, dan sekarang di usia 75 tahun, beliau bukan saja menjadi instruktur pilates, tetapi sudah berhasil mendaki beberapa gunung. Ini sebenarnya adalah situasi perang dengan diri sendiri. Komentarnya, “Perjuangan ini bagaikan mengalahkan jarak tertentu sambil menanjak. Di mana kita memang membutuhkan usaha dua kali lebih keras mengingat lawannya adalah diri sendiri.”
Kita lihat perubahan ada dimana-mana, bahkan bersifat disruptif, kejam, dan tidak kenal etika ketika menggilas kita yang tanpa sadar hanya berdiri diam menutupi jalannya. Betapa aplikasi transportasi online, misalnya, yang sudah menggilas perusahaan-perusahaan transportasi baik besar maupun kecil secara sadis. Selain memberikan harga yang lebih murah, kemudahan dalam bertransaksi, mereka juga masih terus memberikan promo-promo yang begitu memanjakan penggunanya. Tidak pernah puas dan berhenti berupaya. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita cukup siap bila kita dimutasi ke daerah terpencil di Papua? Apakah kita bisa menyesuaikan diri dalam program merger perusahaan?
Para ahli berpendapat bahwa kualitas yang membedakan perusahaan yang bisa menahan badai dalam keadaan yang tidak menentu ini adalah agility, alias kelincahan, kelenturan, di mana seorang individu bahkan perusahaan, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan waktu, momentum bahkan pusaran yang terjadi. Tetapi, mengapa kelenturan itu menjadi sulit? Yang jelas ini bukan berhubungan apakah IQ seseorang jongkok atau tidak. Orang yang ber-IQ tinggi pun bisa tidak gesit cara berpikirnya. Bukankah kita sering mendengar kata-kata “itu bukan cara yang biasa kita lakukan” dan berakhir dengan melakukan hal yang itu-itu lagi. Padahal, keberhasilannya pun belum tentu terbukti. Bukankah kita sering tidak menyambut terlalu positif usulan untuk mencoba cara baru? Padahal kita juga tahu bahwa mencoba hal baru akan memberi kita informasi, pengalaman, dan latihan untuk pemecahan masalah yang lebih kaya di kemudian hari?
“Sense of quickness and flexibility”
Tampaknya kekuatan kita untuk tetap menjaga kelenturan dan kelincahan adalah kompetensi yang paling mutakhir. Bukan otot, tubuh saja yang perlu dilatih, tetapi mental kita juga perlu latihan intensif. Saat ini kita memerlukan mentalitas yang liat dengan proses berpikir yang variatif, dapat memformulasikan masalah dengan baik serta cepat mencari berbagai solusi, tahu kapan beristirahat, bernapas dalam, dan berelaksasi. Problem solving yang optimal dan terkini datang dari orang yang berotak gesit, nimble-minded. Dia bisa bicara teori, tetapi tak lepas dari penggunaan fakta-fakta konkret, dia bisa melakukan pendekatan paling detail, tanpa kehilangan gambaran keseluruhan, dan ia pun kuat mengontrol pikiran dan intuisinya.
Perlu “learning pit”: jurang pembelajaran
Kita sudah mengenal kurva belajar yang biasanya berbentuk huruf S yang landai. Kita tahu, pada awal ada fase yang lambat karena berkenalan, kemudian tanjakan dan akhirnya penguasaan sambil menikmati hasil pengajaran. Kita juga tahu bahwa proses belajar ini untuk orang normal cukup bisa diterima. Katakanlah pembelajaran keterampilan tertentu, seperti mempelajari bahasa baru sementara kita sudah menguasai 2-3 bahasa lain. Namun, pernahkah kita membayangkan bagaimana seorang akuntan harus belajar melakukan desain grafis dengan komputer? Bagaimana bila seorang pelukis tiba-tiba harus membuat business plan? Hanya dalam keadaan clueless inilah seseorang bisa berpikiran kosong dan mulai menata cara baru untuk belajar.
Inilah yang sering disebut sebagai learning pit, keadaan putus asa karena tidak tahu ingin belajar dari mana, seperti orang tersesat. Nah, inilah momen pangkal tolak individu untuk memecut dirinya dan menggenjot mentalnya untuk belajar lebih kuat, loncat lebih tinggi dan mengembangkan growth mindset. Joy of struggle ini akan menjadi default bila kita terus-menerus melakukan upaya belajar dengan intensitas ini sehingga akhirnya kita bisa mencapai cognitive fitness yang sudah siap menerkam semua masalah baru dan kompleks.
Memelihara agilitas mental
Kita tahu bahwa badan memang berpengaruh besar terhadap mental. Jadi kebiasaan berlatih fisik dan melakukan stretching akan membawa mental kita menjadi manusia yang tetap gesit dan waspada. Kita pun perlu bersikap rendah hati. Namun, jangan lupa bergaul dan masuk ke komunitas orang-orang yang bermental agile juga. Dari sini kita juga bisa mendapatkan banyak benchmark, strategi-strategi untuk menyesuaikan diri dengan kesulitan yang dihadapi.
Upaya menyuburkan adrenalin juga bisa kita manfaatkan dari setiap kita mempelajari hal yang sangat berbeda dari keahlian kita. Hasil riset juga mengatakan bahwa kegiatan belajar ini bisa menghindarkan kita dari dementia. Rutinitas yang kita lakukan bisa kita variasikan. Tidak selalu mengambil rute yang sama setiap berangkat kantor, membuat otak kita lebih berpikir aktif. “Get your mental muscles moving every day.”
Dimuat dalam KOMPAS, 25 Maret 2017