ISTILAH like and dislike yang kita kenal biasanya diarahkan pada pemimpin yang pilih kasih dan sangat tergantung selera dalam memimpin anak buah. Kita sering menganggap bahwa perasaan seharusnya tidak layak dibawa-bawa dalam situasi yang menuntut obyektivitas.
Namun mau tidak mau, kita sering kali berhadapan dengan orang, bahkan tokoh-tokoh intelektual yang dalam mengemukakan pendapat dan sikap sangat jelas arah perasaannya. Bahkan, kadang ada yang mengabaikan data yang berlawanan dengan pendapatnya itu. Kadang-kadang positif, tetapi banyak juga yang negatif. Tiba-tiba, di sosial media kita bersentuhan dengan makhluk baru: para haters.
Haters ada di mana-mana, di acara televisi, di beragam media sosial, bersahut-sahutan mulai dari yang halus sampi kata-kata yang kasar, sangat anti-diversifikasi. Padahal, di sisi lain kita juga terus meneriakkan Bhinneka Tunggal Ika, paham bahwa kita tidak bisa menghindari diversifikasi, globalisasi, sehingga seharusnya kita perlu mengenal, mempelajari, kebiasaan, adat istiadat, dan cara berpikir orang lain. Namun, mengapa rasa benci kita tetap berada dan mewarnai cara pikir kita?
Di Amerika, pasca zaman perbudakan kita melihat bahwa pemerintah serius memerangi diskriminasi terhadap orang berkulit hitam. Dibuatlah hukum yang memproteksi masyarakat Afrika-Amerika. Namun sampai hari ini, kita melihat bahwa diskriminasi terhadap orang hitam kerap masih terjadi, di lembaga-lembaga hukum sekalipun, yang seharusnya melindungi mereka.
Mengapa haters ini tidak berubah? Mengapa orang membenci sampai mendarah daging? Dan, mengapa ada yang begitu benci pada keberbedaan? Apakah kita sengaja membenci segolongan orang tanpa pandang bulu; golongan, bangsa, atau agama tertentu? Apakah hal ini memang adalah insting yang hidup dalam pribadi manusia?
“Hater” adalah pembenci dirinya
Sigmund Freud, ahli psikoanalisis, menyebutkan adanya dua insting manusia yang paling mendasar, yaitu insting mati dan hidup. Insting untuk hidup yang sering kali ter-manifestasi dalam tindakan cinta dan kreativitas mendorong manusia dalam proses-proses penciptaan. Sementara itu, insting untuk mati ada karena menurut Freud, manusia memiliki keinginan tidak sadar untuk mati, the goal of life is death.
Namun, biasanya insting hidup akan lebih kuat daripada insting mati itu, terkecuali bagi manusia-manusia yang mengalami masalah atau peristiwa traumatis dalam hidupnya. Itulah sebabnya, manusia yang depresi sering kali memiliki kecenderungan untuk bunuh diri.
Namun, ekspresi dari insting mati ini tidaklah mudah untuk ditampilkan karena sangat berlawanan dengan norma yang dapat diterima masyarakat. Oleh karena itu, manusia bisa memproyeksikan insting mati ini kepada orang lain atau obyek lain. Inilah yang dikenal oleh kaum Freudian sebagai mekanisme pertahanan diri. Ketidakmampuan individu untuk mengolah perasaan tidak puas, tidak pasti dalam dirinya melalui rasionalitas, refleksi, ataupun dengan pencarian informasi yang relevan, membuatnya menumbuhkan berbagai mekanisme pertahanan diri seperti proyeksi yaitu alih-alih mengakui bahwa kita memiliki emosi atau pikiran negatif, kita menuduh orang lainlah yang memiliki hal tersebut.
Bentuk lain adalah displacement di mana orang yang tidak berani mengekspresikan emosi negatifnya kepada orang tertentu, mengalihkan ekspresi tersebut pada pihak lain yang biasanya memiliki posisi yang lebih lemah darinya.
Individu yang melancarkan kebencian ini cenderung mencari kebenaran eksternal, bukan internal. Ia menolak untuk bermawas diri. Ia lebih berusaha mencari pembenaran pada orang-orang yang berpikiran sejenis dan menolak data atau informasi yang menyatakan hal sebaliknya, karena mengakui kebenaran dari data tersebut bisa jadi terlalu menyakitkan bagi dia.
Di sinilah penguatan rasa bencinya tumbuh, dan sulit berubah. Orang yang tidak hanyut dalam sikap ini adalah orang yang lebih berani bermawas diri dan mengakui kegalauan dan sisi-sisi gelap dalam hidupnya. Sebaliknya para haters ini seolah terus memberi makan monster di dalam kepribadiannya dengan pikiran-pikiran negatif yang dipeliharanya.
Pendalaman keyakinan dan korelasi yang ilusioner
Sekali kita meyakini sesuatu, apalagi yang dibumbui perasaan marah dan benci, kita akan sulit melihat fakta secara obyektif. Terkadang, kita bahkan menambahkan atau mengedit fakta secara sepotong-sepotong untuk tetap memperkuat keyakinan kita. Kalau perlu, fakta-fakta yang tidak ada relevansinya, kita paksakan tersambung selogis mungkin.
Pada akhirnya, kita memang memersepsi hal-hal yang mendukung keyakinan kita. Beginilah tumbuhnya stereotype terhadap suku, ras, agama, golongan tertentu, terutama dalam diri orang-orang yang penuh dengan emosi marah, benci, dan tidak memiliki rasa humor lagi. Skema mental kita sudah terbentuk, terus diperkuat sendiri dengan hal-hal yang mendukung volume kebencian kita.
Dalam iklim politik seperti yang kita alami ini, kita juga melihat kecenderungan untuk mengotak-ngotakkan afiliasi politik tertentu dan melihat seluruh kelompok secara seragam: semua baik atau semua buruk. Hal ini tentunya berpengaruh pada keseimbangan mental kita. Terutama bila dalam pertemanan media sosial pun kita tidak seimbang. Kita malah meng-unfriend atau mengeblok semua orang yang tidak sependapat dengan kita. Sentimen kita semakin kuat. Dan, kita kehilangan obyektifitas dan kewarasan berpikir.
Apakah tidak ada kesempatan untuk melunturkan sikap ini? Mulailah bersahabat dengan diri kita sendiri, menerima diri kita lengkap dengan kelebihan maupun sisi-sisi gelapnya sehingga kita juga bisa menerima orang lain lengkap antara sisi baik dan buruknya. Lanjutkan dengan terus memperluas insting hidup kita melalui penyerapan hal-hal positif dari orang lain. Walaupun sulit, kita perlu menegur diri sendiri untuk selalu berpikiran obyektif dan positif.
Kita boleh tidak sealiran, tetapi rasa benci hanya akan mengotori pikiran dan mental kita. So, all you haters out there: Wake up. This is really all about YOU.
Dimuat dalam KOMPAS, 25 Februari 2017