BEGITU banyak tontonan dan drama yang muncul belakangan ini baik di dalam maupun di luar negeri, yang membuat kita menahan napas, berpikir, dan mengevaluasi diri. Seakan ada perasaan harkat manusia sudah turun, tidak dijunjung tinggi lagi. Caci maki begitu bebas dikumandangkan untuk membela favorit masing-masing, bahkan ditujukan juga kepada presiden, mantan presiden dan founding fathers kita. Apakah kualitas manusia sekarang memang sudah terdiskon sejauh itu? Apakah menjadi manusia berkelas itu sudah tidak penting? Mengapa karena berjuang demi jabatan, seseorang bisa melupakan kesantunannya, membuka topengnya dan menjadi garang hingga menurunkan simpati?
Di belahan dunia lain, kita menonton tayangan yang membandingkan 2 ibu negara adidaya. Yang satu dengan pakaian yang sangat menawan dan yang mantan dengan pakaian yang lebih sederhana, tetapi jelas menunjukkan perbedaan kelasnya melalui sikapnya yang simpatik. Di sini kita melihat bahwa kelas ditakar orang dari tingkah laku dan inner strength seseorang, bukan dari pakaian dan ke masa lainnya. Sebetulnya hati kecil kita bisa melihat dan membedakan orang yang berkelas atau tidak. Namun, sering kali kita kesulitan untuk menentukan apa yang harus dilakukan agar kelihatan dan mengesankan kelas. Banyak orang yang mengirimkan putra-putri atau karyawannya ke kelas pengembangan pribadi, mempelajari tata cara makan Barat dan Timur, dengan tujuan agar mereka menjadi orang yang lebih elegan dan terhormat. Sebagai pelajaran dasar hal ini tentunya sangat positif. Tetapi, apakah hal ini yang menentukan kelas seseorang?
Sebagai manusia modern yang mampu berpikir ke depan, kita perlu memilih, apakah kita tetap mau menjaga harkat dan hakikat kita sebagai manusia atau melupakannya saja. Kita tahu bahwa dengan berkembangnya populasi manusia, kita harus lebih keras bersaing dengan menujukkan kualitas kita sebagai manusia. Berkelas-tidaknya seseorang saat sekarang juga tidak bisa dilihat dari mutu pendidikannya. “You can pay for school, but you can’t buy class”, kata orang. Dari sini kita bisa melihat bahwa pribadi berkelas memiliki deskripsi sendiri. Orang yang berkelas adalah orang yang senantiasa bisa menjaga derajat kemanusiaannya, terlepas dari situasi yang dihadapinya dan bagaimana orang menilainya. Ia bisa berbuat salah, bisa menghadapi masalah, kalah, mengalami kesedihan, atau berjuang untuk suatu posisi, tetapi hal yang terpenting adalah cara ia mengatasi dan menangani setiap situasi yang dihadapinya. Orang luar akan mengamati bagaimana seseorang tetap bisa berbicara dengan percaya diri, bahasa yang santun, dan ekspresi yang tetap berorientasi pada orang lain. Orang yang berkelas tidak menggembar-gemborkan perfection sebagai sasaran hidupnya, karena hal itu seharusnya dinilai orang yang berinteraksi dengannya. Mereka tidak akan menggunakan cara negatif, seperti menggurui, menjatuhkan orang, menyindir, dan berfokus pada kesalahan orang yang seolah-olah menunjukkan bahwa ia yang paling benar, sampai lupa pada misi mulia yang diembannya sendiri. Ia pun tidak bermain victim seolah ia korban dari orang yang lebih negatif dari dirinya. Ini tidak dilakukan oleh orang-orang top stuff. Bukankah dalam bahasa iklan kita juga tahu bahwa kita tidak boleh mengungkapkan hal-hal yang negatif dari kompetitor?
Seorang yang ingin dianggap berkelas sesungguhnya perlu berpikir dengan cara ahli seorang marketing. Ia perlu melakukan tebar pesona dengan cermat dan membuat lawan pun angkat topi kepadanya.
Kembangkan dan yakini ritual positif
Dalam situasi yang tidak menguntungkan sama sekali pun, misalnya ketika berbuat salah, bagaimana kita menanggapi kesalahan itulah yang menentukan kelas kita. Orang luar akan memberikan penilaian terhadap sikap kita. Inilah ‘self marketing’ yang kita tebarkan pada dunia luar. Seperti halnya prinsip marketing, upaya ini tidak sekali jadi dan membuahkan hasil. Upaya ini perlu manjadi habituasi sehingga orang bisa mengenali dan memprediksi konsistensi sikap kita dalam menghadapi situasi apapun dan mengenal kekuatan karakter kita. Kita bisa menguatkan emosi dengan mengembangkan ritual-ritual positif. Kita perlu “DO enough, ACCOMPLISH enough, and GIVE enough”, secara rutin, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Kebiasaan menulis dan berinteraksi di media sosial tentang hal-hal yang menjadi passion kita, memiliki prestasi yang membanggakan, berbagi informasi yang dibutuhkan orang lain, memberikan apresiasi, mengucapkan salam dan terima kasih akan menunjukkan emotional fitness kita. Untuk bugar secara emosi, kita perlu mencari cara untuk feel good terhadap diri kita sendiri. Tengok bagaimana Michelle Obama tetap feel good dalam pergantian masa jabatan. Rutinitas yang positiflah yang membuatnya mudah mengatasi emosinya. Kita pun bisa mengetes diri untuk melihat sejauh mana kekuatan karakter kita ketika kita merasakan bahwa orang lain yang dielu-elukan, sementara kita yakin bahwa sebenarnya kitalah yang berhak atas pujian tersebut. Orang yang bermental bugar, akan tetap merasa dan bersikap oke karena sudah terlatih dengan melakukan self talk positif.
Lupakan kepalsuan
Kita sering bicara mengenai identitas kita, sementara orang yang menilai identitas kita dari sikap dan perbuatan yang kita tunjukkan. Kita tidak bisa berfokus pada penilaian diri lagi dan berpura-pura untuk waktu yang lama. Topeng sandiwara sosial itu melelahkan. Authenticity rules over anything. Hal inilah yang perlu kita asah agar bisa menghasilkan diri yang autentik dan tidak terbungkus dengan kepalsuan. Di dalam dunia media sosial, kita pun bisa membedakan akun-akun yang berkelas seperti akun @_TNIAU, yang selalu informatif, hangat, berbahasa ringan dan gaul, tapi selalu sungguh-sungguh dalam menyanggah, memberi informasi dan menunjukkan sikap patriotik serta hakikat kemiliterannya. Presiden ke-3 RI Habibie juga salah satu contoh individu yang direspek oleh kawan dan lawan, tua dan muda. Cintanya kepada cita-cita, istri, dan keilmuannya tetap ditampilkan dengan manis dank has. Kita boleh punya paham, prinsip, bahkan aliran politik tertentu. Tetapi tampil dan bersikap cool di segala keadaan menunjukkan respek kepada diri sendiri, orang lain, dan kelas kita. Dan untuk ini, tak ada tambahan biaya: “It costs 0.00 dollar to be a decent person”.
Dimuat dalam KOMPAS, 04 Februari 2017