DENGAN tidak ada habis-habisnya, kita mengagumi fenomena keterhubungan kita dengan kawan, dan sanak saudara melalui media sosial. Tiba-tiba semua orang melakukan selfie, wefie, dan disibukkan dengan segala macam kegiatan bersama. Di lain pihak, tiba-tiba kita juga ter-update dengan berita-berita personal yang tadinya harus diceriterakan dan dicerna secara lebih hati-hati. Si ini sudah bercerai dengan si anu, keluarga ini sudah bertambah anggota keluarga, dan semua keterkinian yang ada, seperti ulang tahun, wisuda dan peristiwa-peristiwa penting lainnya.
Bukan hanya fakta-fakta ini. Bila dulu kita perlu mencari seseorang yang bisa dipercaya untuk menumpahkan perasaan kesal, jatuh cinta atau kecewa, banyak individu sekarang sudah menemukan cara lain untuk melepas burnout-nya dengan sekedar menulis status, mencantumkan foto ekspresif, atau juga menggambarkan harapan-harapannya. Banyak orang, kemudian, merasa lega dan menganggap bahwa ponsel pintar adalah teman curhatnya. Terkadang, kita menyesal bahwa posting kita terlalu terbuka atau membawa aib bagi kita sendiri, tetapi tampaknya kita sering tidak jera dan masih tetap berkomunikasi dengan cara itu. Betapa tidak, kita tak perlu amplop, perangko, ataupun kotak pos yang justru bisa mengambil waktu sehingga menunda niat kita. Sekarang, pengiriman rasa dari berita tersebut hanya dilakukan gratis dalam 1 klik. Inilah saktinya sosial media dan penyimpanan serta penyebaran informasi secara digital.
Bagaimana dengan rahasia perusahaan dan pemerintahan? Masih ingat komunikasi pribadi calon presiden yang terbaca oleh banyak orang? Perusahaan sekelas Sony juga mengalami hal yang sama dalam bocornya komunikasi bisnis. Kita juga merasakan bahwa komunikasi lewat ponsel bisa disadap sehingga operasi tangkap tangan berjalan lebih lancar. Begitu pun upaya yang disebut sebagai makar, bisa lebih mudah terdeteksi secara dini. Dulu, ketika terjadi skandal Enron, kita masih berpikir bahwa kecanggihan teknologilah yang memudahkan bocornya fakta dan informasi. Benarkah begitu? Realitas yang baru ini sebetulnya tidak semata semata bersifat teknis, tetapi juga ekonomis. Bayangkan betapa murah dan mudahnya orang membobol informasi yang sudah diamankan, dan alangkah semakin mahalnya untuk melakukan proteksi terhadap data serta informasi yang sudah kita punyai. Apakah akan ada perubahan terhadap kecanggihan proteksi ini? Rasa-rasanya tidak mungkin. Sementara mindset dan strategi pemerintah atau perusahaan, semakin lama sudah terbaca dengan cepat oleh orang luar.
Faktor penting yang sering tidak diperhitungkan orang adalah faktor manusia. Sesungguhnya, siapa yang lebih banyak membocorkan rahasia? Hacker komputer ataukah mulut bocor? Secanggih-canggihnya orang mempunyai data, bila ia tidak membagikannya pada orang lain, tentunya informasi tidak bocor. Social engineering inilah yang sekarang semakin sulit dibendung. Di generasi yang lalu kita masih bisa merasakan etika kerahasiaan yang tertanam dan dibudayakan, namun hal ini tidak bisa dipertahankan lagi di masa kini. Rekayasa informasi bukan dosa lagi.
Hanya bisa dicemooh dan dicaci maki, tanpa ada hukum yang jelas berlaku. Semakin banyak pula orang yang menerima nilai dan perilaku ini, bahkan menikmatinya.
Pernahkah kita membayangkan terkupasnya kehidupan rumah tangga dari seorang motivator terkenal hingga ke detail-detailnya, sampai ia tidak mampu berkutik dan sulit bangkit dalam kariernya? Dan berapa persen orang yang kritis tentang fenomena ini? Jadi, kalau rahasia sudah tidak bisa ditutupi, bisakah kita hidup tenteram, dan apakah situasi ini mengarah kepada kebaikan atau keburukan? Mengapa kita tidak mencaci maki Wikileaks? Bahkan Julian Assange, dielu-elukan dengan dibongkarnya semua manipulasi sistem pemerintah Amerika yang bersifat top secret. Seorang ahli mengatakan ”The governance of the most powerful countries were actually transparent at every level”. Ketertutupan sudah tidak trendi lagi rupanya. Namun, siapkah kita? Siapkah kita menghadapi kenyataan, bila setiap email kepada dan dari pemerintah bisa dibaca semua orang?
Bersiap dengan "no secret formula”
Bila resep dan rahasia dapur produksi beberapa perusahaan sering tidak dibuka ke masyarakat, Toyota, sejak dulu membuka kesempatan melakukan tur keliling pabriknya yang terkenal dengan Toyota Production System, tanpa takut direplikasi. Menurut manajemen Toyota, manusia yang melaksanakan sistem tersebut harus mempunyai mutu tertentu. Dan ini tidak gampang dibentuk. Transparansi pun penting dalam membangun kepercayaan stakeholders, termasuk pelanggan. Mereka ingin tahu tentang bagaimana proses yang dijalankan perusahaan dalam memberikan produk maupun layanan.
Tidak ada jalan bagi kita yang sudah menjadi digital natives ini untuk bersiap-siap dengan transparansi, atau terbongkarnya rumus maupun rahasia, lalu segera memperbaiki kerusakan dan bangkit kembali. Kita tidak bisa menahan karyawan untuk tidak buka mulut. Kesemuanya itu hanya mengandalkan etika yang sudah sangat pudar. Seperti Toyota, kita lebih baik membangun mental tim daripada sekedar merahasiakan formula yang pada suatu saat toh akan basi. Organisasi yang riil, transparan, unik dan autentik akan lebih bertahan dan tidak perlu dihantui pembocoran informasi. Sebenarnya, bila kita percaya bahwa informasi tentang pribadi kita, perusahaan kita, negara kita akan terkuak juga, kita sebaiknya memilih untuk hidup transparan, sesuai aturan dan berupaya menghadapi post – fact information.
Dimuat dalam KOMPAS, 10 Desember 2016