PERKEMBANGAN perbaikan di DKI Jakarta merupakan fakta nyata yang sulit disangkal oleh setiap orang. Kita pun, tidak bisa tidak, mengakui akan perkembangan ini. Adanya barisan pasukan oranye, biru, dan hijau yang siap siaga, ditanggapi positif oleh setiap warga. Tetapi, mengapa kinerja yang dihasilkan oleh gubernur incumbent sekarang ini tidak serta-merta mengena di hati setiap orang? Apakah betul hal tersebut diakibatkan oleh intrik politik, yang memang terkenal curang dan kotor sehingga tidak semua orang menyukai tokoh ini? Ataukah, hati di dalam setiap individu memang tak gampang dibeli?
Rasa percaya dalam organisasi ataupun pemerintahan memang adalah komoditas yang sangat penting, tetapi juga sangat ringkih. Ada individu yang tidak kunjung dipercaya, padahal ia sudah jelas-jelas berbuat baik. Kita bisa melihat lembaga-lembaga pemerintah yang berupaya keras memperbaiki dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kita juga bisa menelaah proses munculnya rasa percaya ini dalam diri kita sendiri: apakah kita langsung meyakini bahwa perbaikan yang didengung-dengungkan memang betul sesuai kenyataan? Jadi, jelas, ungkapan sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya perlu benar-benar kita perhatikan dalam tutur kata dan tindak tanduk kita.
Kita bisa menyaksikan, seorang motivator terkenal, dalam kurun waktu seminggu, bisa langsung tenggelam namanya hanya karena tidak strategis dalam menangani persoalan keluarga. Di samping itu, membangun kepercayaan tidak mungkin dilakukan dengan gebrakan-gebrakan instan karena dampak dari sebuah tindakan memang membutuhkan waktu yang lama dan evolutif untuk benar-benar menumbuhkan rasa percaya. Di sinilah kita bisa menyimpulkan bahwa rasa percaya ini sulit direkayasa.
Defisit rasa percaya
Dari survei yang dilakukan Hogan terhadap lebih dari 1.000 responden, ditemukan bahwa 81 persen diantaranya mengemukakan alasan kekaguman pada diri seorang pemimpin adalah karena pemimpin tersebut layak dipercaya. Rasa percaya inilah yang menjadi dasar dari engagement, kepuasan dan produktivitas karyawan. Bahkan, rasa percaya inilah yang sering menjadikan pemimpin bisa memanfaatkan pengikutnya untuk melakukan apa saja yang diperintahkan.
Namun, mengapa rasa percaya ini justru nampak semakin lama semakin langka? Kita semua merasakan bahwa dunia semakin materialistis. Kebutuhan material saat sekarang lebih kuat daripada upaya-upaya untuk mendorong peningkatkan kualitas hidup. Sebagai contoh, demo yang seringkali terjadi di berbagai tempat ternyata dilakukan juga oleh orang-orang bayaran, tanpa mereka pernah tahu secara pasti prinsip-prinsip yang hendak dibelanya. Akibatnya, kita sulit mempercayai apa yang sesungguhnya diteriakkan para pendemo itu. Demikian pula orang menempati posisi strategis dalam pemerintahan ataupun parlemen belum tentu didorong motivasi untuk mengabdi dan melayani masyarakat. Hal yang sama juga kita amati dalam beberapa kasus yang melibatkan para pemimpin spiritual.
Dunia ini begitu cepat mengalami perubahan. Visi yang digembar-gemborkan pemimpin bisa berbelok di tengah jalan sehingga pengikut kehilangan arah, lalu mulai meragukan pemimpinnya. Terkadang tindakan-tindakan yang positif seperti dorongan berprestasi yang eksesif, demi efisiensi, efektivitas, dan produktivitas sering membuat para pengikut membenarkan tindakan pemimpin, tetapi tidak percaya pada ketulusan hatinya. Mereka bisa saja kagum akan prestasi pemimpinnya, tetapi tetap menjaga jarak. Jadi, terkesan saat ini orang cenderung pelit dengan rasa percaya.
Perhatikan cara dalam bertindak
Membangun rasa percaya bukanlah rocket science. Sebagai atasan kita tahu bahwa atasan perlu mengarahkan, meyakinkan, bahkan mengkoreksi tindakan anak buah. Bila teguran atau bahkan pecutan ternyata mempan dan dirasakan manfaatnya oleh bawahan, sedikit demi sedikit jarak antara atasan bawahan akan melebur dan rasa percaya bisa tumbuh.
Sebaliknya, niat baik yang dilaksanakan dengan cara yang sedikit mem-bully, atau merendahkan bahkan bernada tinggi, akan menciptakan rasa tak nyaman pada anak buah. Upaya membangun popularitas di kalangan anak buah juga bisa berdampak pada rasa percaya buta tanpa sikap kritis, yang disebut oleh Dr Tomas Chamorro-Premuzic sebagai unconditional trust.
Seorang pemimpin mengatakan bahwa hal yang paling melelahkan dalam memimpin adalah upaya untuk meyakinkan bawahan agar mempercayai dirinya. Sering kali, sekeras apa pun upaya kita, belum tentu bawahan menghadiahi kita rasa percaya yang diharapkan. Hal yang juga kita amati pada lomba pemungutan suara antara Trump dan Clinton, dan di antara ketiga pasangan cagub DKI.
Dari gambaran di atas, kita bisa melihat bahwa janji-janji yang tidak faktual, tidak jelas, dan ambigu tidak akan menghasilkan rasa percaya yang langgeng. Di sisi lain, memberikan bukti-bukti dan fakta-fakta tanpa bersikap diplomatis dan membangun kedekatan pun tidak akan membangkitkan rasa percaya.
Kita lihat, rasa percaya adalah dasar dari segala macam hubungan, tetapi tidak dijual bebas. Bawahan atau anggota bisa terlihat patuh, tetapi mereka seratus persen bebas memilih untuk memberi atau menahan rasa percayanya. Kunci dari pembangunan rasa percaya ini selain pada tingkah laku yang selalu diwaspadai dan dijaga, juga ditentukan oleh cara kita berkomunikasi.
Kita perlu tetap menjaga komunikasi transparan, dengan penjelasan yang clear serta berdasarkan fakta, yang diutarakan secara asertif, tidak menohok, tidak lemas, tetapi cukup tegas, dan merangkul. Kita juga perlu menjaga fokus sehingga tutur kata kita tidak keluar dari konteks. “It simply makes no difference how good the rhetoric is or even how good the intentions are; if there is little or no trust, there is no foundation for permanent success.” Stephen Covey
Dimuat dalam KOMPAS, 22 Oktober 2016