SERUAN presiden mengenai target Indonesia di bidang ekonomi digital bahwa tahun 2020 Indonesia harus menjadi pemenang di Asia Tenggara, sangatlah menantang. Apakah kita sudah siap go digital? Bisakah kita menggeser persepsi personal kita yang tadinya melihat operasi komunikasi melalui jaringan kabel, sekarang harus mengimajinasikan data yang dapat disimpan di dunia maya, dikonsumsi, bahkan dioperasikan dari mana saja? Gejala yang juga terkini adalah kalau dulu komunikasi media bersifat satu arah, semata untuk menyebarkan informasi, sekarang konsumen hanya akan memilih media yang bisa berinteraksi langsung secara dua arah.
Geliat organisasi untuk menjadi digital memang sudah kelihatan. Perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia pun sudah mencanangkan untuk menjadi perusahaan digital. Perusahaan media yang dulu mengandalkan kertas pun sudah beradaptasi karena menghadapi kenyataan bacaan digital, yang gratis, sudah menjadi konsumsi tua dan muda. Perusahaan ritel raksasa berusaha unutk berjualan on line. Beberapa perusahaan rokok mau tidak mau harus berubah arah dengan mengakuisisi usaha-usaha on line secara masif.
Kekuatan organisasi digital ini membuktikan bahwa komunikasi, kreativitas dan kemauan untuk mengeksplorasi cara baru dalam memanfaatkan teknologi dan informasi akan membawa kesuksesan. Pemanfaatan kekuatan digital membuat organisasi bisa menciptakan proses bisnis yang jauh lebih cepat dan instan. Tengok aplikasi pemkot DKI, Qlue, yang sanggup menerima keluhan dan menggarap ketidakberesan layanan dan infrastruktur di DKI dengan lebih cepat. Sementara itu, perusahaan angkutan yang begitu sederhana, mampu menjadi perusahaan yang tergolong “unicorn”, beraset ribuan triliun rupiah, dan merajai pasar. Lagi-lagi, ini adalah bukti kekuatan digital.
Mari kita berpikir mengenai keterlibatan kita dengan dunia digital. Berapa banyak komunikasi e-mail dan telepon, terjadi lewat aplikasi? Bagaimana pola hidup, produktivitas, bahkan pola istirahat kita dipengaruhi olehnya? Apakah tuntutan pola hidup kita bisa dipermudah lebih jauh lagi? Apakah kita mampu menguasai dunia digital, tanpa dihanyutkan dan terseret-seret oleh gelombangnya?
Imigran di dunia digital
Kalau kita tidak tergolong kelahiran 1990, kita memang bukan “penduduk asli” dunia digital. Jago menggunakan ponsel, komputer tablet dan berinteraksi di media sosial tidak menjadikan kita anggota masyarakat digital. Paling-paling kita bisa menganggap diri kita sebagai imigran di negara yang dikuasai para milenial berusia 20-an ini.
Namun sebagai imigran yang ingin bertahan, kita bisa mendalami kultur, bahasa baru, dan mindset yang umum berlaku. Hal ini akan mempermudah kita untuk bertransisi ke lingkungan digital ini. Para pemimpin pun bisa mendorong organisasinya untuk paling tidak menjadi “digitally fluent”. Semakin melek digital pemimpinnya, semakin mudah ia melaksanakan program coaching dan menggeser kebiasaan-kebiasaan lama, lalu membangun kompetensi digital yang menambah nilai jual perusahaan.
Kompetensi baru
Tanpa disadari kita sudah berada di dunia dengan tuntutan yang sangat berbeda dengan dekade lalu. Bahkan, para ahli yang sudah mapan di bidangnya pun akan tertinggal bila tidak menengok pada perkembangan sekarang. Kita lihat cara orang mengambil data sentimen politik. Salah satu media sosial, Twitter, masih digunakan untuk mengukur public mood dari ajang debat para kandidat presiden Amerika yang baru saja berlalu. Preferensi pelanggan dan masyarakat pun bisa dibaca melalui media sosial. Kemampuan membaca data dari media sosial yang sifatnya real time, atau yang disebut “nowcasting” ini, adalah gabungan kemampuan bereksperimen, membaca, dan memilah data, serta peng-“kini”-an perolehan informasi yang berlangsung secara simultan. Dengan cara inilah organisasi bisa menjaga komunikasi dengan para stakeholder-nya.
Seorang digital leader perlu memimpin transformasi, bukan saja pada penguasaan teknologi, tetapi justru pada pengolahan informasi. Dalam dunia bisnis, penguasaan informasi ini harus memberi dampak komersial. Pemanfaatan big data, cloud, jejaring sosial, dan perangkat mobile ini harus bisa mencapai tingkat kolaborasi yang lebih tinggi dari sebelumnya. Setiap anggota tim perlu mengalami manfaat berada di dunia digital ini. Tren BYOD (bring your own device) perlu dirasakan gunanya bagi individu, dan mempermudah hidupnya, misalnya, dalam menjangkau pelanggan dan berinteraksi dengannya. Inilah kesempatan kita untuk menjangkau pelanggan dengan cara yang lebih praktis dan terfokus.
Kuasai informasi, bukan sekedar teknologinya
Perusahaan-perusahaan yang berjaya seperti Gojek, Uber dan Google sudah berhasil menunggangi teknologi dan mentransformasi big data ke dalam keputusan bisnis yang besar, inovatif, dan menguntungkan, serta melibas perusahaan-perusahaan raksasa dengan armada maupun modal finansial yang besar. Bahkan, klub olah raga NBA pun pada tahun 2015 meninggalkan cara-cara latihan yang ortodoks dan melakukan perhitungan baru melalui analisis data.
Google melawan arus dalam budaya organisasinya untuk mencapai kejayaan digital ini dengan banjirnya informasi dan membiarkan ribuan bunga bermekaran–mencari ide di seluruh tempat. Google juga membebaskan karyawannya sebagai individu yang otonom, bebas, dan tidak terikat. Apa hasilnya? Adsense, Gmail, Google News adalah buah dari kebebasan penggunaan waktu, kebiasaan dan bahkan ditinggalkannya ketertiban kebiasaan kantor. “Kerusakan” atau “gangguan” dari rutinitas, atau kerangka kognitif yang menyebabkan kekacauan, yang disengaja, disebut Google sebagai Creative Chaos. Mari memimpin dunia digital.
Dimuat dalam KOMPAS, 1 Oktober 2016