MELIHAT pengumuman salah satu partai besar yang mendukung anggota nonpartai dalam pilgub mendatang, ada sebersit kekaguman pada rasa percaya bahwa beda prinsip dan misi bukanlah halangan bagi orang untuk bersatu dan berkolaborasi.
Langkah ini tentunya merupakan pengambilan risiko yang cukup besar bagi partai, mengingat calon yang dipilih haruslah mempunyai kemampuan berkolaborasi dengan pasangan yang manapun. Sementara kita tahu, kolaborasi antara pemimpin dan wakil sering tidak membawa hasil yang mengesankan; tidak ada kerja sama antara departemen satu dan yang lain, padahal mereka berada dalam satu lantai. Tidak jarang atasan sampai memanggil dua orang yang tidak bisa berkolaborasi, membedah konflik antara mereka dan meyakinkan keduanya agar mau bekerja sama.
Imbauan ini pun tidak selalu membawa hasil yang memuaskan. Padahal, bisakah kita bayangkan, apa yang terjadi bila 2 atau 3 orang dalam satu tim tidak berkolaborasi? Dalam persyaratan kesuksesan seseorang, sering aspek-aspek seperti respek, keyakinan, trust, loyalitas, komitmen, keberanian dan empati diutamakan. Kolaborasi memang dianggap sebagai hal yang penting, tetapi dianggap sudah termasuk dalam aspek aspek tadi. Inilah sebabnya, kita sering tidak berfokus pada kolaborasi, yang sebenarnya merupakan dasar kinerja sebuah kelompok, kecil atau besar. Bukankah kita sudah kenal ungkapan lama “The whole is greater than the sum of its parts?"
Jaga kreativitas, manfaatkan keberbedaan
Henry Ford, si juara penemuan, ternyata juga bisa dianggap juara kolaborasi. Andaikata saja beliau tidak berkolaborasi dengan Thomas Edison, si penemu lampu listrik, dan atlet sepeda Tom Cooper, dunia mungkin tak akan menikmati hasil produksi pabrik perakit mobil pertama yang menghasilkan mobil model T yang legendaris itu. “If everyone is moving forward together, then success takes care of itself,” demikian kata Ford. Orang bisa menggunakan berbagai macam istilah: harmoni, sinergi, kerja tim, kooperasi, aliansi, simbiosa. Apa pun istilahnya, isinya tetap kolaborasi, bertemu, menyamakan tujuan, bekerja sama, saling mengisi. Namun, mengapa kolaborasi ini tampak sulit. Bahkan, banyak waktu yang terbuang karena perbedaan pendapat? Terkadang kita lupa bahwa dalam berkolaborasi orang memang boleh berbeda, bahkan harus bersikap independen. Ia tidak perlu mengorbankan prinsip, keahlian, dan sikap kerjanya. Bahkan, mereka yang jago berkolaborasi dikenal sebagai pionir-pionir yang independen. Bukankah Soekarno–Hatta terkenal sangat berbeda prinsip, tetapi mereka mampu berkolaborasi dengan cantik dan memerdekakan bangsa ini? Mereka membuktikan bahwa bila satu menjadi pelopor, yang lain tidak perlu mematikan ide dan prinsipnya.
Dalam ilmu psikologi, kita bahkan melihat bahwa produktivitas yang dihasilkan oleh sekelompok orang dengan karakter yang mirip semua justru cenderung lebih rendah dibandingkan bila kelompok terdiri dari orang-orang yang berbeda. Bagaimana mereka yang semuanya dominan dan saling mau mempengaruhi bisa bekerja dengan manis untuk berproduksi? Harmonisasi justru terjadi dari alunan nada-nada yang berbeda, dari kelompok dengan karakter yang saling melengkapi. Semua individu bisa bekerja sama, bertukar pendapat, berkontribusi dan memperkaya ide, secara independen.
Kreativitas adalah bentuk konkret dari hasil pemikiran individu yang bebas dan independen. Sir Richard Branson, pemilik 200 perusahaan yang tak segan segan berbelok arah, mengatakan, “A business has to be involving—it has to be fun. And it has to exercise your creative instincts.” Kolaborasi dari beragam ide yang saling berbeda dan kemudian disinergikan menjadi satu inilah yang menghasilkan big bang dalam inovasi yang dinamakan Medici Effect oleh Frans Johansson. Menurut Johansson, innovation comes from diverse industries, cultures, and disciplines when they all intersect, bringing ideas from one field into another. Karenanya, ia sangat menganjurkan terbentuknya kelompok kerja dengan latar belakang yang sangat berbeda baik untuk berkolaborasi menghasilkan inovasi. Bila dalam kolaborasi, kita membiarkan kreativitas kita mengalir dengan bantuan kata hati dan kemandirian berfikir kita, sukses tanpa sulit sulit akan datang dengan sendirinya.
Jadilah “extramiler”
Kita sering mendengar bahwa orang yang mampu berlari jauh di atas rata rata, akan bisa mendapatkan hasil yang lebih besar. Tetapi, kita sering lupa mengaitkannya dengan situasi kolaborasi. Seorang ahli manajemen mengemukakan bahwa para extramilers ini justru menguasai ketrampilan berprestasi lain dengan baik, seperti bekerja dalam tim dan berkolaborasi dengan individu lain. Si ‘extramiler’ biasanya sanggup menjadi pusat energi dari tim karena kemampuan mempengaruhinya yang biasanya kuat. Mereka meluangkan waktu dan tenaga yang lebih banyak untuk mendengarkan, memahami, melakukan kontak dengan segenap pihak yang terlibat untuk memastikan bahwa setiap orang memahami perannya dan akan berkontribusi untuk mencapai tujuan. Jadi, orang yang ingin berkolaborasi sebenarnya bukan menyiapkan mental untuk mengalah, tetapi justru menjadi “api” dalam tim. Di sinilah kata hati individu perlu digunakan untuk berempati, memonitor perasaan, baik orang lain maupun diri sendiri.
Hubungan tolong-menolong
Kolaborasi akan terhambat bila ada sikap WIIFM (What’s in it for me?) yang dominan. Dalam berkolaborasi, individu harus berani memberi baik waktu, tenaga maupun ide-ide pemikiran. Ia juga harus trampil untuk meminta bila ia terhambat melakukan atau memikirkan sesuatu. Hal yang juga paling penting adalah bahwa kita perlu peka terhadap apa yang kita tidak tahu dan tidak bisa, dan pada saat inilah kita bisa meminta pertolongan. Katakan anda seorang manajer senior yang tidak terlalu tahu mengenai penggunaan perangkat perangkat lunak terbaru. Tindakan apa yang bisa Anda lakukan kecuali meminta tolong?
Yang jelas dalam berkolaborasi, orang perlu “give and give” dahulu, sebelum akhirnya bisa mendapatkan hasil “take and give”.
Dimuat dalam KOMPAS, 24 September 2016