DALAM beberapa kali kesempatan, sering dijumpai organisasi-organisasi mengeluhkan kurangnya pemimpin-pemimpin muda yang siap membawa organisasi untuk melaju di tengah era digital economy seperti ini. Mereka mulai sadar pentingnya sumber daya manusia, dan mulai memikirkan bagaimana cara yang lebih cepat, praktis dan efektif untuk mengembangkan manusia di organisasi.
Mengingat tantangan yang dihadapi para pemimpin muda ini pastinya jauh berbeda dengan apa yang dihadapi oleh para seniornya dulu. Metode pengembangan klasik seperti pelatihan kelas dan pendidikan meskipun masih penting, bisa jadi bukan lagi metode yang cukup mumpuni untuk membekali mereka dengan kekuatan menghadapi tantangan di dunia yang VUCA ini (volatile, unpredictable, complex and Ambigu).
Tidak hanya pengembangan kompetensi yang harus dikejar, perkembangan tingkat kematangan para pemimpin muda ini juga harus diakselerasi oleh organisasi. Kompetensi memang bisa “ditransfer” dari para ahlinya, tapi tingkat kematangan pribadi adalah suatu hal yang perlu diolah, dirabarasakan, dan diraih sendiri oleh individu. Hadirnya mentor yang tepat bagi para pemimpin muda yang mendampingi mereka dan melakukan dialog yang mendalam sepanjang program pengembangan diri, seperti pelatihan dan on the job training, menjadi sangat krusial.
Lesson learned yang diperoleh individu harus benar-benar bisa meresap dan menjadi modal utama kematangan dirinya. “Wisdom begins in Wonder,” kata Socrates. Artinya, dalam berdiskusi dengan atasan , si subyek yang sedang belajar , perlu mendapatkan "aha"-nya sendiri. Sementara itu, saat sekarang, di dalam perusahaan, kita sering kali melihat minimnya dialog antara atasan dan bawahan, terutama di kalangan birokrasi.
Kita bisa menyalahkan keterbatasan waktu. Kita pun bisa berlindung di balik keberadaan reporting system yang sudah lancar, yang membuat pembicaraan tatap muka sudah tidak terasa diperlukan lagi. Belum lagi ketika bisnis berjalan lancar dan kita begitu terfokus pada pengembangan bisnis, pembicaraan mengenai pengembangan kinerja tergeser di urutan entah ke sekian.
Padahal, salah satu tanda sebuah organisasi menjadi organisasi pembelajar yang efektif adalah hadirnya kebiasaan bicara yang terfokus dan berkesinambungan. Sayangnya, bila hal ini belum terjadi, upaya untuk mengembangkannya sangatlah berat. Di suatu instansi yang bergengsi, walaupun pimpinan puncaknya berupaya untuk mengembangkan dialog mengenai kinerja tahunan , juga terjadi stagnasi.
Para pimpinan eselon tertinggi tetap enggan melakukannya. Semua usaha pengembangan hanya tercatat di kertas dan catatan yang segera menjadi usang. Di suatu kementrian di negara kita, suatu konsultan bergengsi menuliskan dalam laporannya tentang tidak adanya dialog kinerja yang beredar di organisasi yang terdiri atas ratusan ribu sarjana dan ahli itu. Bagaimana mungkin kekhasan pelayanan, keahlian unik di suatu organsinasi, kerja tim organisasi dipelajari hanya melalui pelatihan , ataupun slogan-slogan yang ada di dinding-dinding ruang rapat?
Dialog kinerja, yang dibiasakan terstruktur, teratur, kontinu dan tatap muka antara atasan dan bawahannya, bisa diakui adalah kegiatan yang paling manjur untuk mengembangkan organisasi. Dialog ini bisa merupakan ajang barometer kepuasan karyawan, pemecahan masalah teknis, sampai juga pemilihan prioritas tugas dan benchmarking keadaan pasar. Kita lihat, kekuatan dialog ini bisa merupakan tenaga pull organisasi menuju kemajuan dan pengembangan.
Jadi, mengapa dialog ini terasa demikian sulit dilaksanakan? Apakah sedemikian menakutkannya untuk bertatap muka, dan membicarakan angka pencapaian target yang sudah disepakati bersama? Selain itu, sedemikian alotnya pembenaran dan alasan anak buah sehingga tidak bisa diarahkan?
Dialog berbasis fakta
Dalam sebuah organisasi yang sudah mempunyai reputasi internasional dan menjadi salah satu yang terdepan di antara para kompetitornya, presentasi data masih sering dipertanyakan, diragukan, sampai tidak jarang rapat ditutup tanpa action plan karena data masih harus diperbaiki. Padahal, perusahaan ini sudah menggunakan sistem informasi yang mapan, dan data yang tercetak bisa dikatakan benar.
Situasi meragukan data dan fakta ini memang banyak terjadi di perusahaan atau lembaga yang memang tidak terbiasa bekerja dengan fakta. Ada yang melihat sederet angka lalu langsung mengambil kesimpulan. Atau, ada juga yang bingung dan tidak tahu bagaimana menginterpretasi data yang tersedia. Fakta dan data mengenai kinerja pun perlu disikapi secara kreatif. Kita tidak perlu menunggu sampai perfect metrics terjadi, dan kita juga perlu percaya pada apa yang kita observasi dan alami secara kasat mata.
Banyak atasan ragu untuk berdebat soal fakta yang ada, karena “jauh”-nya ia dari kegiatan anak buah, sehingga dengan mudah atasan dibuat “malu” karena tidak mengetahui fakta di lapangan. Hal inilah yang juga sering membuat atasan enggan memulai dialog kinerja ini. Oleh karena itu, atasan juga perlu belajar, dan mencari akal untuk menguasai fakta di lapangan.
Agar dialog berbuah “action”
Banyak pihak yang merasa bahwa momen berdialog dengan atasan adalah saat-saat pembantaian, atau paling tidak “ujian lisan”. Padahal, sebetulnya ibarat komputer yang file-file nya sudah tak beraturan, inilah waktunya untuk me-reset kembali, memperbaiki arah, menentukan arah, mengingatkan kembali akan akuntabilitas masing-masing orang, dan memperbaiki segala kekeliruan.
Inilah saatnya untuk menentukan insiatif-inisiatif baru, bahkan kalau perlu merombak dan menyusun kembali kekuatan tim. Dari sini kita bisa melihat, sesungguhnya dialog kinerja ini bisa merupakan jawaban terhadap bagaimana menciptakan pemimpin baru, profesional baru, dan juga mengembangkan organisasi pembelajar.
Dimuat dalam KOMPAS, 10 September 2016