Dalam sebuah seminar mengenai digital marketing, dipaparkan data bahwa di Indonesia, jumlah nomor telepon seluler ternyata sudah melebihi jumlah penduduk Indonesia sendiri. Artinya, hampir setiap orang menggunakan lebih dari satu telepon seluler untuk berkomunikasi. Demikian juga dengan jumlah kendaraan di sebuah keluarga. Tidak jarang kita menjumpai keluarga yang memiliki lebih dari satu kendaraan untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Tampaknya kita memang sudah terhanyut pada budaya konsumerisme yang demikian dahsyat. Benda-benda seperti sepatu, tas, pakaian, dan berbagai perangkat yang tadinya fungsional, sekarang beralih menjadi sebuah hobi ataupun prestise. Tidak jarang bahkan kita sampai rela antre berjam-jam demi mendapatkan koleksi terbarunya. Sejauh apa kepuasan yang kita dapatkan dari keberhasilan mendapatkan koleksi terbaru itu? Bukankah yang baru juga sebentar lagi akan menjadi usang? Sampai kapankah rasa puas itu bisa bertahan dalam diri individu?
Dampak dari keinginan yang bertubi-tubi ini menjadikan individu tidak pernah puas dan juga tidak mampu mengontrol diri. Ada juga yang menjadi begitu tergila-gila akan kekuasaan dan kemudian menggunakan panggung politik sebagai kendaraannya. Lalu, sering kali lupa kepada misi awal mereka sebagai politikus yang katanya untuk menyejahterakan rakyat. Keinginan ini bahkan bisa menjadikan individu menjadi sangat agresif, melupakan etika dan akhlak moral, sampai kemudian bisa-bisa tidak tahu lagi apa yang sebetulnya ia butuhkan di dalam hidupnya. Selain itu, tidak bisa membedakan mana yang merupakan kebutuhan kelompok dan mana yang merupakan kebutuhannya pribadi.
Apakah dunia modern dengan semakin beragamnya, berkembangnya produk dan teknologi memang semakin membuat kita manusia tidak mengenal apa yang kita inginkan, butuhkan dan pentingkan? Sebenarnya, semakin tinggi mutu kita sebagai manusia, semakin tinggi pula kemampuan kita untuk membedakan antara keinginan, atau preferensi dengan kebutuhannya. Orang yang dewasa, sebenarnya tahu bagaimana memilih antara apa yang betul-betul dibutuhkannya dengan keinginannya, serta alasan pengambilan keputusannya. Namun, kita sering membiarkan sistem pemenuhan kita ini meleset.
Kita ingin lebih sehat, tetapi alih-alih meningkatkan aktivitas dengan berolahraga, kita lebih banyak menghabiskan waktu berbelanja pakaian olahraga dan aksesorisnya, membeli buku-buku terkait atau sekedar membicarakan tentang olah raga dengan teman. Demikian pula dalam dunia bisnis. Kita menciptakan sistem, perangkat online, prosedur untuk kepentingan yang katanya berfokus pada pelanggan, tetapi sesungguhnya fokus kita hanya pada membangun perangkat yang bisa meningkatkan prestise, bukan membangun hubungan dengan pelanggan. Semakin tinggi tingkat kebutuhan kita sebagai manusia, semakin tinggi juga kemungkinan kita untuk berbahagia. Mengenali dan membedakan kebutuhan bisa diibaratkan berjalan di hutan gelap dengan kompas di tangan. Kita akan bisa menentukan mana yang merupakan keinginan dan kebutuhan yang sehat, mana yang berlebihan dan merugikan.
Sadar kebutuhan
Abraham Maslow, pencetus teori kebutuhan, sebenarnya membedakan antara kebutuhan yang sangat jelas defisiensinya seperti sandang, pangan, papan, kasih sayang, perhatian dan respek dengan kebutuhan untuk memenuhi jati diri. Biasanya bila kebutuhan defisiensi sudah terpenuhi, rangsangan untuk memenuhi kebutuhan jati diri mulai muncul. Oleh Maslow, kebutuhan ini sering disebut sebagai kebutuhan untuk being atau aktualisasi diri, yang antara lain adalah mengejar keadilan, integritas, keindahan, kreativitas.
Motivasi individu berkaitan dengan keinginan atau pilihan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan. Motivasi ini bisa saja didorong oleh kebutuhan yang memang penting, tetapi bisa juga tidak jelas, berlebihan, tidak tulus atau tidak sehat lagi. Keinginan kasih sayang yang berlebihan bisa memotivasi seseorang untuk berbuat curang, bahkan tidak segan-segan membunuh. Demikian pula keserakahan akan kebutuhan material bisa menyebabkan motivasi untuk berbuat tamak, tanpa memperhatikan kualitas jati diri. Jadi, apakah ada hal yang bisa membendung dan membantu kita mengerem sejenak dan memilah-milah, mana kebutuhan yang benar-benar menanggulangi defisiensi dan mana yang sebetulnya bisa kita kita redam?
Peranan sistem nilai
Dalam perjananan hidup individu, kita banyak diperkenalkan dengan nilai-nilai yang kita junjung tinggi, seperti kejujuran, keadilan, nasionalisme dan kemanusiaan. Sistem nilai ini yang sebetulnya banyak berpengaruh pada kebahagiaan seseorang. Mengapa? Nilai yang kita junjung tinggi, dan membangkitkan motivasi untuk berbuat sesuai dengannya, akan membuat individu menuju ke depan, bukan sekedar berhenti seperti halnya pemenuhan kebutuhan. Kita butuh hiburan, menonton film, bahkan mungkin bisa lebih dari satu, tetapi kita bisa saja tidak merasa terpenuhi bahkan merasa lelah. Kita bisa membeli kasur, tapi bukan rasa nyenyak. Kita bisa membeli rumah tapi bukan kemesraan dalam keluarga.
Lain halnya dengan kalau kita mengetahui “panggilan” kita yang didasarkan pada nilai kita. Kita menganggap bahwa mengajar adalah tindakan yang mulia. Oleh karena itu, kita akan merasa bahagia setiap kali kita bisa mengajar. Needs are filled; values are fulfilled. Kebutuhan itu untuk saya penuhi, sementara nilai akan memperkuat diri saya. Mungkin hal inilah yang sudah sering kita sepelekan. Sampai-sampai nasionalisme sebagai sumber energi negara kita perdebatkan dan sudah seolah-olah asing dalam kehidupan modern kita. The ultimate value of life depends upon awareness and the power of contemplation rather than upon mere survival (Aristotle).
Dimuat dalam KOMPAS, 27 Agustus 2016