KASUS anggota Paskibraka dan Menteri ESDM dengan masa jabatan tersingkat tiba-tiba mengemuka menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia. Pada saat yang sama kita tengah diwarnai oleh semangat Merah-Putih, ketika semua orang kembali mengucapkan ikrar, untuk membela negara, baik dalam hati maupun dalam upacara.
Kebanggaan pun datang ketika pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir berhasil meraih medali emas di Olimpiade Rio. Memang, membela negara adalah tindakan yang sangat mulia. Kita sebetulnya tidak perlu ragu tentang keteguhan warga negara Indonesia (WNI) dalam membela negara. Terlepas dari komunitas Diaspora Indonesian yang memiliki darah dan lahir di Indonesia, dan bermukim nyaman di luar negeri, kita sebetulnya tidak boleh ragu bahwa mereka juga membela tanah air.
Tengok saja BJ Habibie, yang dengan kenyamanannya menikmati respek di luar negeri dan berpenghasilan tinggi, mau pulang untuk merealisasikan mimpinya bagi Indonesia yang lebih baik. Ia berharap bisa membuat pesawat-pesawat kecil yang mampu menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Kewarganegaraannya? Kita tidak pernah mempertanyakan bagaimana status kewarganegaraan beliau, termasuk bagaimana pemerintah Jerman memberi kemudahan status kepada Presiden ke-3 Indonesia ini. Namun, kita meyakini, beliau sangat cinta dan tulus membela negara Indonesia.
Ivana Lie pernah mengangkat tinggi nama Indonesia dengan menjadi runner-up bulu tangkis di World Grand Prix Final, Malaysia Terbuka 1986. Ia juga aktif bergiat di pelatnas bulu tangkis yang sudah mencetak juara-juara All England. Bila kemudian kita mempertanyakan paspornya, kita akan tercengang sebab permohonannya untuk menjadi WNI diproses dengan sangat berbelit-belit. Layakkah kita meragukan nasionalismenya?
Nasionalisme
Beberapa waktu yang lalu, kami berkesempatan melakukan brainstorming dengan para cendekia dari berbagai universitas untuk menerjemahkan nasionalisme dalam bentuk-bentuk pola perilaku, guna kepentingan seleksi beasiswa. Di dalam diskusi, setiap orang memahami nasionalisme secara berbeda.
Ada yang merasa bisa mengukurnya dari sikap ketika menyanyikan lagu kebangsaan. Ada yang mengukurnya dari sumbangsih bagi negara pada masa depan. Ada yang berfokus pada keteguhan hati penerima beasiswa untuk pulang kembali ke tanah air. Ada pula yang menganalisis upaya individu untuk mengubah nasib masyarakat di lingkungan sekitarnya. Dari sini, kita menemukan bahwa tidaklah mudah untuk menakar nasionalisme. Warna paspor tidak menjamin nasionalisme seseorang. Iapun tidak bisa hanya ditampilkan dalam bentuk pernyataan ikrar maupun upacara.
Faktanya, masih banyak pertanyaan di negeri ini yang harus kita jawab. Mengapa capital flight demikian dahsyat, sampai-sampai harus dipancing dengan amnesti? Mengapa talent flight juga terus terjadi? Mengapa penerima beasiswa tidak kembali ke Indonesia? Mengapa banyak pemegang paten dan hak cipta, kelahiran Indonesia bermukim di luar negeri? Apakah ini ciri-ciri dari pudarnya nasionalisme kita? Apakah orang yang berkontribusi dalam capital dan talent flight ini peduli mengenai masa depan bangsa Indonesia? Masa depan anak cucu kita?
Nasionalisme akan kelihatan berarti, bila setiap individu sadar bahwa masa depan negara ada di tangannya. Tentunya sikap masa bodoh, pesimistis, dan apatis akan isu-isu yang ada di negeri ini, tidak akan membuat rasa cinta pada negara menguat. Masalah pendidikan, sandang, pangan, ekologi dan politik perlu mendapatkan jalan keluar. Di sinilah setiap orang dapat memberikan sumbangsihnya.
Mengembangkan nasionalisme
Upaya untuk menjaga dan menggugah nasionalisme lewat lagu, kirab, dan upacara memang amat perlu. Namun upaya ini saja belumlah cukup. Masyarakat Indonesia, dimana pun berada, perlu lebih paham, peduli, dan berkontribusi memecahkan berbagai isu yang tengah terjadi.
Kepedulian yang berbuah tindakan adalah heroisme baru yang perlu dipupuk. Sikap ini tidak datang dengan sendirinya. Menurut seorang ahli, menumbuhkan nasionalisme bagaikan seseorang yang sedang duduk di atas dahan, tetapi harus menyiangi daun-daun di ujung dahan. Ia harus sudah kuat dan bisa menjaga keseimbangan kebutuhan dasarnya, baru kemudian peduli pada lingkungan dan berkontribusi.
Kontribusi yang berbuah baik akan sangat menular dan berdampak. Untuk itu, pemerintah perlu merespon setiap kontribusi dengan tepat, sehingga hasil positif bisa dituai. Pesimisme dan apatisme terhadap kondisi Negara pun dapat dikurangi. Orang yang mengupayakan air bersih di daerah gersang, jangan didiamkan, mereka perlu diajak bekerja sama dan didukung. Bidan yang bersampan berpuluh kilometer perlu diakomodasi, hingga tidak kelelahan. Demikian pula orang-orang cerdas, yang berinovasi, perlu dilindungi hak ciptanya.
Hanya dengan sikap suportif ini, kontribusi akan membanjir dan nasionalisme tumbuh subur layaknya benih yang terus disirami. Bawalah badanmu keliling dunia,tetapi tujukanlah jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia ~Soekarno
Dimuat dalam KOMPAS, 20 Agustus 2016