DUNIA lagi-lagi dikejutkan oleh mainan yang kelihatannya sepele, Pokemon Go. Namun, ternyata kemunculannya banyak mengubah keadaan pula. Media paling penting di Indonesia membahas dalam setengah halaman koran. Juga, Gubernur DKI memberi izin untuk berburu Pokemon di Balai Kota. Nilai saham perusahaan pemilik games inipun menanjak dalam waktu seminggu sebanyak 25 persen.
Kita mungkin hanya bisa geleng-geleng kepala dan bahkan menganggap dunia sudah semakin aneh. Apakah benar demikian? Bisakah kita memutar dunia kembali kepada suasana 20 tahun yang lalu, tanpa teknologi digital? Lalu, apa dampak perkembangan teknologi ini pada pekerjaan dan tempat kerja kita, baik sekarang maupun pada masa datang? Apakah kompetensi yang sering dibicarakan para profesional SDM masih memadai? Kalau tidak, bagaimana kita menemukan kompetensi yang benar-benar membawa hasil signifikan di dunia yang semakin dikuasai oleh inovasi ini? Bukankah manajemen talenta sudah semakin terintegrasi, jejaring sosial tidak bisa dipandang enteng, dan bahkan teknologi pengembangan SDM sudah perlu mempertimbangkan semua aspek terbaru di dunia digital ini?
Seorang kolumnis teknologi, Bill Kutik, bahkan berkomentar mengenai para profesional SDM : “HR loves talking about social media, but so far has done very little with it. Fears emanating from the legal department have stuck HR in its tracks.” Artinya, ada gejala adopsi teknologi yang lamban pada manajemen, terutama manajemen perusahaan besar, khususnya di bagian SDM-nya. Di perusahaan besar, bila ada yang berinisiatif untuk mencoba teknologi, mereka harus melalui panjangnya proses approval, demikian pula harus menghadapi reaksi dari banyak pihak termasuk dari para petingginya Hal ini kadang membuat teknologi itu sudah basi ketika akan diaplikasikan. Sementara dunia bisnis di sekitarnya pun juga sedang giat-giatnya bermain dengan teknologi terkini dan digitalisasi.
Marilah mengevaluasi diri kita. Masih ingatkah kita dengan teknologi telex, fax, telepon, internet, e-mail dan situs web? Bagaimana kita mengadaptasikan teknologi baru tersebut? Apakah kita termasuk pionir, atau beradaptasi setelah tuntutan memang mendesak, bahkan jauh terlambat sehingga mengalami banyak kerugian? Pernahkah kita berfikir bahwa dunia akan diwarnai mobilitas seperti sekarang? Dengan adanya servis Gojek, Uber dan aplikasi-aplikasi ini, masihkah kita berlambat-lambat dengan pengenalan dan pembelajaran teknologi baru ini?
Penyeimbangan “Hi-tech” dan “Hi-touch”
Sebagai pemimpin ataupun profesional yang sadar akan pentingnya proses yang manusiawi, kita sering mempunyai kecenderungan untuk memilih antara pendekatan person to person atau yang menggunakan teknologi. “Coaching harus dilaksanakan secara tatap muka, banyak pertanyaan , dan harus reflektif”, demikian komentar profesional yang bergerak di bidang pengembangan sumber daya manusia. Namun, mengapa 90 persen dari program coaching tidak membudaya ? Bisakah kita mengontrol apakah proses coaching antara setiap atasan dan bawahan berjalan lancar dan berhasil mengembangkan kompetensi bawahan, tanpa sistem? Di sini dibutuhkan kecermatan pengelola SDM untuk menentukan kapan menggunakan teknologi dan kapan situasi hi-touch dipertahankan.
Kurasi informasi
Dengan lancarnya perolehan informasi yang tersedia gratis di internet, kita sebetulnya bisa memanfaatkan peluang ini untuk kepentingan apa saja. Namun, mengapa masih banyak pihak yang tetap menampilkan gejala kurangnya informasi? Inilah contoh bahwa kebutuhan kompetensi yang jelas-jelas tadinya dianggap tidak penting, justru sekarang menjadi hal uang utama. Kita perlu pandai-pandai memfilter dan menemukan informasi yang relevan. Di antara gejolak ekonomi global seperti ini, perusahaan dan setiap organisasi tetap perlu memosisikan dirinya sebagai lembaga yang menarik dan diminati para calon karyawan. Dengan calon karyawan, terutama yang muda dan cerdas ini, perusahaan perlu punya strategi yang jelas mengenai aspek demografi, teknologi, pergeseran sosial pada masa depan, dan siap menghadapinya.
Berubahnya profil pekerja
Mau tidak mau, kita perlu menerima fakta bahwa tenaga kerja kita akan berubah komposisi. Pada tahun 2020, 50 persen dari tenaga kerja akan terdiri dari orang yang sekarang kita golongkan sebagai kaum milenial dan bahkan yang lebih muda lagi. Ketrampilan, pendidikan, dan cara mereka menyerap informasi perlu kita pertimbangkan agar mereka tetap tertarik untuk bergabung dalam organisasi kita dan bisa dikembangkan. Tampaknya, para profesional SDM sudah sangat perlu keluar dari kotaknya, dan berkolaborasi dengan departemen-departemen lain, terutama yang berkenaan dengan teknologi untuk meningkatkan pemahaman mengenai kualifikasi sumber daya manusia dan mengidentifikasi kelompok ketrampilan baru yang perlu diamati dan dikembangkan. Bila tidak, organisasi hanya akan dipenuhi oleh orang-orang dengan ketrampilan purba.
Dimuat dalam KOMPAS, 23 Juli 2016