Ungkapan “Leaders make sure the organization is doing the right things, while managers make sure they do those things right” rasanya sudah diketahui dan dipahami orang. Semua orang tahu bahwa manajer memantapkan kualitas kerja, sementara pemimpin lebih dibutuhkan untuk mengelola perubahan.
Kedua peran penting, tetapi dalam kondisi seperti sekarang, ketika kita harus menyikapi perubahan yang cepat dan tak terprediksi, kedua peran tersebut perlu dimainkan sekaligus secara adaptif. Pasar berubah, teknologi baru pun terus bermunculan. Organisasi tentunya membutuhkan jurumudi yang sigap dan lincah untuk berbelok, sambil kuat meramal apa yang akan terjadi di depan. Ia juga harus menguatkan tim sambil mengaudit proses proses secara internal. Hanya dengan kapasitas seperti inilah organisasi bisa terus bertahan.
Tidak ada pilihan untuk stagnant. Diam berarti gagal. Seluruh jajaran harus kuat bergerak dan berevolusi. Perusahaan raksasa memiliki risiko bahwa tidak semua jajaran bergerak ke arah yang sama. Apalagi bila si pemimpin tidak mengomunikasikan arah dan strateginya secara cermat dan jelas. Bisakah kita membayangkan betapa tuntutan pada pemimpin meningkat? Siapkah kita sebagai pemimpin untuk berubah sikap dan bergerak dari keadaan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi? Siapkah kita untuk tidak pernah puas oleh keadaan, dan berusaha melakukan perbaikan secara berkesinambungan?
Ketika saya menanyakan kepada seorang vice president di sebuah perusahaan internasional, apakah beliau sudah siap mempelajari hal baru seiring dengan perubahan infrastruktur perusahaan yang lebih makro dan global, beliau mulai merasakan wake up call. Teropong keahliannya sebagai hasil pengalaman di perusahaan selama 20 tahun, belum tentu bisa sepenuhnya digunakan sebagai bahan solusi pada masa mendatang. Kunci sukses di masa kini bagi para pemimpin adalah mengubah cara-cara memimpin ke sikap yang super adaptif, di mana dominasi kekuatan belajar, lebih berhati hati dalam proses rasional, tetapi tetap berada di atas permukaan situasi dan langsung cepat bertindak selepas analisa yang mendalam merupakan modal utama. Jadi, bersikap adaptif tidak selalu berarti gesit tanpa pikir panjang.
Pendekatan DACA
Seorang ahli manajemen merumuskan sikap adaptif yang sudah sangat dikuasai oleh para pemimpin militer dalam menguasai teritorinya ke dalam 4 hal:
DETECT: Manuver militer, tidak pernah dilakukan tanpa studi teritori yang intensif. Secara spesifik, kita perlu menyadari adanya dua jenis unknown. Pertama, unknown yang kita sadari, seperti ketidak mampuan kita, kekuatan kompetitor, tindakan kompetitor yang dirahasiakan. Unknown yang kedua adalah situasi yang kita sendiri tidak tahu bahwa kita tidak tahu, seperti manuver tiba-tiba dari para stakeholder. Disinilah kita perlu betul-betul menyadari pentingnya kekuatan daya cium dan daya tangkap. Kita mesti paham tuntutan pasar yang selalu berubah, karakter konsumen, lapangan dan keadaan cuaca sekarang. Bukan jamannya lagi untuk bersikap seolah-olah kita sudah mengetahui segalanya. Sikap ini sangat merugikan, karena akan menutup semua pintu yang perlu kita masuki untuk medeteksi keadaan.
ADAPT: Tahap detect sangat penting bagi tahap berikutnya karena kita membutuhkan ruang untuk mengambil ancang-ancang. Mental Space yang kita pertahankan agar kita siap berbelok di tengah jalan kapanpun dibutuhkan. Adaptasi berarti mindset fleksibel yang siap mengimprovisasi organisasi ke situasi terkini.
CHOOSE: Pada akhirnya pemimpin memang perlu memilih tindakan yang tepat berdasarkan hasil analisis teritori dan daya adaptasinya. Tindakan apa yang paling benar saat ini? Apakah sasaran masih sama seperti beberapa waktu yang lalu? Masih bisakah kita mengukur gap antara keadaan sekarang dan impact yang akan terjadi?
ADOPT: Setelah beragam aksi dan dampak yang ada sudah dianalisis dengan saksama dan keputusan sudah diambil, saatnyalah untuk menerapkannya dalam organisasi sambil tetap membuka mind set adaptif dan tingkah laku fleksibel dalam memimpin tim kita.
Pembelajaran dari kemiliteran yang sudah dijalankan lebih selama 200 tahun ini, ternyata sangat berguna bila di terapkan oleh pemimpin-pemimpin di dunia VUCA ini.
“Personal link”
Dengan berkembangnya teknologi, banyak orang memilih untuk lebih banyak berkomunikasi elektronik daripada bertatap muka. Sebaliknya dalam kemiliteran, percakapan tatap muka dalam komunikasi tetap intensif dilakukan. Mulai dari jabat tangan, kontak mata, sampai kewajiban bertanya di meja makan untuk mengembangkan pendekatan manusiawi. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Pemimpin yang lincah dan adaptif tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan timnya. Pembinaan kebersamaan ini tidak boleh terlambat, karena tim yang dipimpin perlu mengerti betul ke mana pemimpin akan bergerak. Mikrokosmos yang ada di bawah kepemimpinannya, perlu memiliki rasa aman dan percaya satu sama lain, sehingga pemimpin bisa berwawasan makro.
Dimuat dalam KOMPAS, 11 Juni 2016