Rakyat mungkin tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang yang menamakan dirinya wakil rakyat, telah memiliki harta kekayaan beratus-ratus miliar, masih saja berusaha untuk terus meningkatkan kekayaan dirinya dengan beragam sepak terjang. Sementara, menurut data dari BPS pada Maret 2015, masih ada 11,22 persen penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi sebagian besar dari kita, membayangkan uang berpuluh-puluh miliar itu saja sulit, apalagi memahaminya. Kita menyadari betapa harta bisa membawa manfaat bagi mereka yang membutuhkannya untuk hidup yang lebih baik, tetapi juga bisa menjerumuskan orang ke dalam jurang kehancuran bilamana tidak dikelola dengan nilai-nilai yang tepat.
Beragam kejadian dan tontonan di media menunjukkan bahwa mengelola harta tidaklah mudah. Anak-anak muda yang bergelimang harta bingung kehilangan arah sehingga sibuk mencari penyaluran adrenalin ataupun aktualisasi diri yang modal bisa dibeli. Harta bisa membelokkan kebenaran, bisa menaikkan atau menurunkan wewenang jabatan. Harta juga bisa membuat nyawa manusia seolah-olah tak berharga. Mengapa ada orang yang melihat harta dan uang dengan radar yang masih bisa bekerja baik, sementara ada orang yang buta dan kalap dalam memperoleh maupun mengeluarkannya? Bahkan dalam beramal pun, caranya bisa jadi sangat sepat dipandang mata.
Bila dilihat secara hierarkis kebutuhan Maslow, pencapaian kebutuhan sekelompok orang memang bisa dicapai dengan harta. Aktualisasi diri dengan hobi mengumpulkan kendaraan, beragam barang seni yang tidak keruan nilainya, sering dilakukan para hartawan. Membanjiri teman dengan berbagi hadiah, fasilitas, seperti merayakan pernikahan secara berlebihan diharapkan bisa memenuhi kebutuhan afeksi dengan menambah jumlah teman. Dengan harta orang merasa bisa berbuat apa saja di dunia ini. Sebaliknya, ada juga mereka yang berusaha tetap membumi dengan harta yang dimilikinya.
Jan Koum, pencipta perangkat lunak WhatsApp, melakukan transaksi 19 miliar dolarnya dengan penandatangan kesepakatan pada sebuah tempat berjarak 5 langkah dari gedung dinas sosial yang membagikan makanan gratis ketika ia miskin. Hal ini secara mental membuat Jan tetap merasakan kehidupan nyata. Ia disadarkan bahwa uang sebanyak itu juga ternyata tidak bisa digunakan untuk menghidupkan kembali ibunya yang meninggal karena penyakit kanker yang diderita ketika ia masih hidup serba kekurangan. Pada akhirnya, harta tidak akan membuat individu bebas dari takdirnya seperti ketika maut datang menjemput dan sering tidak relevan dengan kebahagiaan yang dirasakan.
Harta yang katanya tidak akan habis tujuh turunan pun bisa saja musnah dalam sekejap. Oleh karena itu, orang tua kita yang bijaksana mengatakan bahwa yang perlu diwariskan adalah sikap mental, "pancingan" alias kompetensi dan kapasitas untuk berjuang dalam keadaan sesulit apapun. Sebagai mahluk waras berpendidikan, pernahkan kita berfikir memanfaatkan harta kita bagi komunitas yang lebih luas? Sadarkah kita bahwa uang yang kita pakai untuk membeli barang mewah seharga ratusan juta, bisa cukup untuk membelikan komputer seluruh murid sebuah sekolah? Pernahkah kita berfikir tentang kesulitan upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia secara merata?
Max
Max Zuckerberg-Chan dilahirkan sebagai putri seorang miliarder yang sangat kaya. Kelahirannya yang membuat orang tuanya, Mark dan Priscilla Zuckerberg, berbahagia, sekaligus berfikir mengenai masa depan Max dan teman temannya, angkatan masa depan. Dalam suratnya Mark menuliskan unek-unek serta kekhawatiran yang ia pesankan pada puterinya sebagai bekal untuk meneruskan hidup ini. Pesan yang juga relevan untuk kita semua mengenai betapa banyak penyakit yang belum ditemukan pengobatannya, betapa banyak yang belum mendapatkan kesempatan belajar yang layak.
Mark juga mengajak kita untuk melihat masa depan di mana energi kian diperlukan, sehingga perlu memikirkan cara untuk menemukan energi yang murah dan tidak memberatkan orang miskin dan terpencil. Dalam suratnya Mark mengatakan apresiasi tentang kemajuan teknologi dan penurunan tingkat kemiskinan, tetapi ia tetap berharap untuk kehidupan yang jauh lebih baik: ”Can you learn and experience 100 times more than we do today? Can our generation cure disease so you live much longer and healthier lives? Can we connect the world so you have access to every idea, person and opportunity?....”.
Pasangan Mark dan Priscilla sangat menyadari bahwa menemukan obat, ataupun melakukan penemuan tentang penghematan energi akan memakan waktu bertahun-tahun, tetapi bila masalah-masalah kemanusiaan yang penting ini tidak diinisiasi dari sekarang, generasi yang akan datang akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu, ia menginvestasikan sebagian besar kekayaannya untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi banyak orang. Manusia tidak perlu merasa kaya, tapi ia harus merasa cukup. Bukankah kita semua setuju dengan pernyataan ini? Dan, bukankah bapak-ibu yang berenang dalam harta juga bisa belajar dari pasangan muda ini? Dan, bukankah ini yang namanya “kaya" dalam arti yang sebenarnya?
Dimuat dalam KOMPAS, 12 Desember 2015