Pada saat mengeluh mengenai pengambilan keputusan pemimpin yang dirasakan lamban, tidak adil, atau justru sama sekali tidak bijaksana, sudahkah kita bertanya apakah desentralisasi keputusan masih bisa menunggu? Kita sering lupa bahwa dunia sudah sangat berubah sejak perkembangan teknologi. Sebagai hasil dari jejaring informasi, akses ke informasi relatif menjadi universal dan sulit dibendung. Apakah mungkin sekarang kita masih menganut mental "bukan saya" karena hanya pemimpin yang memiliki akses pada keseluruhan informasi? Transparansi sudah bersifat radikal. Rahasia yang ditutupi di satu sisi akan terbuka di bagian lain. Informasi juga bersifat sangat real time, sekarang dan terkini.
Beberapa saat yang lalu, ada bank terkenal di Indonesia masih merasa bahwa branding yang kuat cukup untuk menguatkan penjualan, mengingat prinsipnya bank adalah menjual kepercayaan. Namun, kenyataannya, sukses penjualan sangat berkaitan dengan datang dan perginya pelanggan yang puas atau tidak puas. Jadi, perusahaan-perusahaan besar dengan jalur birokrasi yang bukan hanya sekedar kaku, tetapi juga menegangkan, bisa dengan cepat melempem bilamana ia tidak mampu lagi mendengar dan mendapatkan informasi dari pelanggannya. Pelanggan memilih bukan dengan alasan finansial saja, tetapi juga spiritual. Pemimpin perlu tidaj hanya menginspirasi karyawan, tetapi juga pelanggan. Tidak lagi mungkin sebuah organisasi maju, tanpa mengangkat spirit manusianya dan berusaha merangsang kreativitas orang-orang di dalam perusahaan .
Kekuasaan “stakeholder”
Ungkapan Peter Drucker pada tahun 1970-an mengenai kekuatan akan berada di tangan pembeli, karyawan, dan para mitra, sekarang menjadi semakin nyata. Shareholder yang dulu dianggap paling penting pun sekarang perlu memperhitungkan kebutuhan berbagai pihak. Bertumbuhnya laba perusahaan tidak secara linier ditentukan oleh model bisnis yang sama. Akibat kesalahan dan persaingan bisa fatal. Tengok betapa Apple bisa menjatuhkan Nokia sang raksasa perangkat keras telekomunikasi saat itu sampai rata dengan tanah. Apple membuka keran komunikasi antara para programmer dengan pelanggan dan antara manajemen menengah dengan siapa saja di perusahaan agar inovasi bisa mengalir berkesinambungan secara updated. Kita tidak lagi bisa berkomunikasi dengan cara-cara lama di perusahaan.
Komunikasi “top down" sudah basi
Perusahaan-perusahaan seperti Amazon juga menekankan bahwa komunikasi harus terjadi 360 derajat tanpa adanya pihak yang saling menunggu. Dalam berkomunikasipun individu diingatkan terus menerus untuk mendengar dan bersikap terbuka, sehingga cerita-cerita otentik dan suara pelanggan dapat ditangkap segera. Model komunikasi top-down, apalagi yang bersifat komando tunggal, tidak akan membuat karyawan menjadi bagian besar dari ekosistem inovasi. Pelangganpun akan merasakan, betapa tidak menariknya organisasi yang tidak bersinergi satu sama lain. Di tengah persaingan bebas seperti ini, para mitra pastinya akan lebih memilih organisasi yang berkomunikasi secara tek-tok, tidak berbasa basi, tetapi sangat customer oriented.
Setelah sekian lama bereksperimen dan menghasilkan produk yang tidak begitu sukses di pasaran, Nike akhirnya berhasil membuat strategi value for runners dan mencetak angka penjualan yang tinggi melalui kerjasamanya dengan Iphone. Penambahan sebuah nilai yang sebenarnya tidak teraga, tetapi berdampak bagi para pelanggan yang ingin sehat. Pencetakan laba dirancang secara elastis dan adding value ke pelanggan dibuat sangaat adaptif. Jadi, kalau ada perusahaan yang merasa tegang karena nilai penjualan turun, dan kemudian bereaksi secara tradisional dengan mulai memikirkan efisiensi, memangkas semua pengeluaran, ada baiknya untuk waspada dan melakukan pemikiran ulang, apakah tindakan ini justru akan semakin membuat perusahaan tidak kuat bersaing lagi. Daripada efisiensi secara membabi buta, lebih baik kita berfokus pada co-creating value yang bisa dikembangkan semua pihak dan justru membuat perusahaan lebih langgeng sambil melakukan loncatan-loncatan inovasi.
Ekonomi kreatif
Jadi, yang dimaksud oleh para pakar manajemen sebagai ekonomi kreatif sebenarnya lebih mengingatkan kita untuk tidak sekedar menunggu putusan pemimpin, ataupun menyorot kebijakannya. Sebagai profesional, rasanya kita perlu merasa setiap dari kita sudah menjadi pemimpin. Inspirasi harus datang dari tengah organisasi, bukan puncaknya lagi. Pemimpin harus kuat mengkontrol tetapi tetap bertangan kotor menjamah masalah. Servis organisasi harus diciptakan oleh mereka yang merasa mampu menata diri, jejaring sosial dan ekosistemnya. Sebenarnya, tak ada hal yang baru dalam siasat manajemen ini, namun nilai manusia sudah menjadi semakin penting, menjadi mainstream yang tidak bisa ditawar tawar lagi. Business as usual sudah menjadi cacat organisasi.
Dimuat dalam KOMPAS, 24 Oktober 2015