Beberapa hari lalu banyak beredar broadcast message tentang tipe baru digital narcotic yang bisa diakses dari smartphone dalam bentuk aplikasi. Terlepas dari apakah benar aplikasi gelombang suara ini dapat menimbulkan efek kecanduan seperti layaknya narkoba, hal ini tetap saja meresahkan para orang tua mengingat hampir semua anak saat ini memiliki smart phone yang memungkinkan mereka mengakses aplikasi ini.
Bagaimana para orang tua dapat membentengi anaknya dari pengaruh-pengaruh lingkungan seperti ini? Rasanya sudah cukup banyak batasan batasan yang dibuat oleh para orang tua bagi anak-anaknya sekarang ini untuk menghindari beragam tindak kejahatan. Pertanyaannya, apakah orangtua juga harus melarang anaknya menggunakan smartphone, padahal alasan mereka mengijinkan anaknya menggunakan smartphone juga agar mereka dapat memantau keberadaan anaknya di antara segudang kesibukan.
Nilai hidup dan prinsip kuat yang ditanamkan oleh para orang tua kita berfungsi layaknya perisai yang melindungi diri dari godaan-godaan lingkungan. Mungkin beberapa dari kita ketika muda dulu pernah bergaul dengan teman-teman “yang berada di jalur yang salah”. Namun, apa yang tidak membuat diri kita kemudian ikut terjerumus dalam jalur yang mereka pilih? Prinsip yang dipegang teguh, akan membantu pembuatan keputusan dan pemecahan konflik, walaupun konsekuensi tetap ada dan harus ditanggung.
Mahatma Gandhi mengatakan, “If there is no principle, there is no true north, nothing you can depend upon”. Beliau pun menekankan bahwa yang disebut dengan prinsip sebenarnya adalah prinsip individu, terlepas dari pandangan politik atau nilai sosial di sekitarnya. Prinsip mendasar inilah yang digunakan dalam pengambilan keputusan baik perusahaan maupun politik. Bila tidak, kita bisa terjebak pada keyakinan-keyakinan, yang bisa jadi dikemas dengan misi dan visi bersama organisasi, namun tetap tidak sanggup mengkontrol dan mempunyai akses ke hati nurani pribadi lagi. Sampai-sampai suatu hari kita akan terperangkap dalam keboborokan mental yang tidak bisa kita kenali sendiri.
Contohnya, tindak penggunaan uang negara untuk urusan yang tidak urgen yang di media masa bahkan diberi pembenaran yang nyata nyata janggal. Atau pelanggaran yang dilakukan dengan alasan keuntungan perusahaan, yang merusak dan merugikan publik yang lebih luas, oleh orang orang yang tadinya sangat kita respek. Betapa seringnya kita melihat tokoh-tokoh yang tadinya kita jadikan role model, tanpa rasa sungkan memberi pembenaran-pembenaran yang tidak masuk akal. Tanpa prinsip yang kuat, kitapun sulit membedakan mana yang disebut dengan gratifikasi ataupun korupsi, dengan yang bukan. Sebagai pemimpin, tanpa prinsip, political will atau social will, sulit di tegakkan, apalagi disosialisasikan.
Membangun pribadi berprinsip
Dalam dunia digital ini semua orang bebas bersuara, bebas berpendapat baik secara terbuka maupun secara anonim. Arus informasi begitu simpang siur sehingga batas antara benar dan salah kadang menjadi demikian kabur. Penerimaan publik yang kadang dilihat dari berapa jumlah like yang diperoleh bisa jadi mengambil alih kebenaran yang seharusnya ditegakkan.
Bila kita memang berada dalam perkembangan zaman yang seperti ini, darimanakah kita akan mulai memperbaiki keadaan? Jawaban yang mendasar dan praktis adalah diri sendiri. Pertanyakan prinsip yang masih kita pegang teguh, dan pertanyakan apakah praktik-praktik yang kita lakukan selama ini masih sesuai dengan prinsip ini. Pemimpin yang menjadi panutan seharusnya bekerja keras meninjau kembali prinsip-prinsipnya dan sejauh mana ia berdiri di atas prinsip tersebut karena ia bertanggung jawab pada tingkah laku para followers- nya.
Berprinsip di tengah pusaran perkembangan jaman
Banyak orang menyamakan dan bahkan mencap orang orang yang berprinsip sebagai individu yang konvensional dan tradisional, alias kuno. Pandangan seperti ini membuat kita terjebak dalam kesenjangan antara orang yang berprinsip dengan perkembangan dunia teknologi, ekonomi dan politik yang berubah dengan cepat ini. Steven Covey mengemukakan, pemimpin yang berprinsip, selalu belajar tanpa lelah, bertanya dan berdiskusi. They discover that the more they know, the more they realize they don’t know. Mereka perlu menguji terus menerus prinsipnya ketika menghadapi konflik-konflik sehari-hari.
Latihan inilah yang bisa membuat individu kemudian memiliki pemahaman yang mengakar kuat pada prinsipnya. Prinsip yang belum pernah teruji dalam situasi konflik atau dilematis belum layak disebut sebagai prinsip hidup individu. Olah prinsip seperti ini perlu dilakukan karena memegang prinsip secara membuta sama bahayanya dengan tidak berprinsip. Orang yang berprinsip benar, pasti mempunyai mekanisme self renewal yang baik, asalkan tidak berhenti melatih diri dan mentalnya, agar lebih mampu dan belajar.
Dimuat dalam KOMPAS, 17 Oktober 2015