Kalau perusahaan mengalami kejatuhan, kita mungkin masih bisa membayangkannya. Namun jika yang mengalami kejatuhan adalah negara, reaksi kita akan berbeda. Yunani, yang banyak dipandang oleh banyak orang sebagai tempat wisata yang menyenangkan, tiba-tiba menyatakan diri tidak bisa membayar utang-utangnya. Dampaknya segera menyebar ke seantero Eropa, bahkan juga secara global. Bila saat ini di Indonesia kita melihat grafik penurunan angka penjualan, angka ekspor, atau nilai tukar rupiah, maka kita pun perlu merasa was-was dan bisa saja menjadi pesimistis. Dan kitapun pasti menyadari bahwa keterpurukan pasti menyakitkan dan mengecewakan. Keadaan memang berat. Hal ini bahkan sudah diakui para CEO perusahaan-perusahaan besar, dan bahkan presiden sendiri. Padahal setiap yang dibangun dan dibuat, entah itu bisnis, hubungan antar manusia, atau keluarga tentunya berisiko roboh.
Para pengusaha dan para wirausahawan, apalagi yang tergolong start-up, setidaknya sudah menyadari adanya data statistik yang menyatakan bahwa dua pertiga dari perusahaan start-up sudah lenyap pada tahun ke-2, dan hanya 45 persen di antaranya yang bisa bertahan untuk berulangtahun yang ke-4. Tentunya sisa yang bertahan ini mempunyai kekuatan bangkit yang besar dan nyata terjadi, berkali-kali jatuh, berkali-kali pula bangun. Kita banyak membaca dan mendengar cerita-cerita bouncing back ini. Juga, bila kita kembali ke basic, yaitu mekanisme pasar, kita juga melihat bahwa transaksi hal-hal yang basic tetap berjalan dan bisa membuat dunia usaha tetap aktif.
Kesuksesan start-up seperti Go-Jek langsung didera kompetisi, dan kita pun pasti akan bertanya-tanya akankah perusahaan yang nge-hits ini bertahan? “We cannot predict the future. But we can create it,“ demikian pendapat pakar manajemen ternama Jim Collins. Kondisi pemanasan global dan keterpurukan ekonomi dunia seperti sekarang membuat ketidakpastian menjadi sesuatu yang pasti, dan tidak mengagetkan lagi. Life is uncertain, the future unknown. Menghadapi hal ini, kita sebagai manusia mahluk tertinggi ciptaan Allah, tercanggih pula, perlu berganti arah, mindset, dan cara kerja. Kita tidak bisa menunggu, melainkan harus terus berkreasi. Kita tidak hanya bertahan, tetapi harus bergerak naik. Kita bukan sekedar sukses, melainkan harus menang.
Buang pesimisme
Beberapa hari terakhir, media sosial dihiasi dengan gambar Sungai Ciliwung yang sudah bersih. Ini merupakan gejala yang sangat baik, karena gerutu maupun caci-maki kapan pun dan di mana pun sungguh tidak akan membangkitkan tenaga, apalagi inspirasi untuk bangkit. Kita tentunya masih ingat betapa banjir membobol tanggul hingga terkesan semakin tak teratasi. Kita juga menyaksikan betapa sampah menutupi sungai dan seringkali membuat frustrasi. Apa yang bisa membuat sungai jadi sebersih itu? Singkat kata, optimisme pemimpin sangat penting. Selain itu nilai-nilai yang dianut pemimpin perlu membuat pengikut, bahkan masyarakat luas, mempraktikkannya.
Disinilah optimisme bisa terpelihara dan membantu menjawab beragam pertanyaan: Bagaimana keputusan-keputusan dibuat? Apakah sesuai dengan nilai yang sudah disosialisasikan? Bila kita sudah mati-matian anti korupsi, apakah semua pembelian dilaksanakan berdasarkan spesifikasi dan tender yang terjadi? Apakah praktik-praktik ini sudah diketahui dan disosialisasikan ke semua individu? Perilaku seperti apakah yang diharapkan, terutama dalam keadaan sulit ini? Apakah semua nilai-nilai, seperti nilai penghematan, nilai paperless, atau nilai efisiensi sudah disegarkan, diulang-ulang, dan diterangkan secara tiada henti? Apakah semua individu dalam organisasi sudah paham: mengapa dan bagaimana mempraktikkannya?
Ketidaknyamanan dalam keprihatinan
Siapapun akan merasa tidak nyaman bila tiba-tiba harus berubah prihatin. Kalau dulu menggunakan tisu sesukanya, sekarang dibatasi seperlunya. Kalau dulu berlonggar-longgar di kelas bisnis, sekarang meniru presiden, kita siap bersempit ria di kelas ekonomi. Bagaimana kita menjalankan pengetatan ini tanpa rasa sakit atau negatif? Kita perlu sangat sadar bahwa kita butuh komitmen untuk tetap berkinerja tinggi. Kinerja tinggi hanya didapatkan kalau kita memang mengurangi biaya. Kita perlu yakin bahwa hari-hari baik akan tercipta karena kita konsisten berkinerja tinggi.
Setidaknya kalau bukan kita, generasi anak-cuculah yang akan menikmatinya. Sikap disiplin juga adalah bentuk ketidaknyamanan, yang menimbulkan hasil yang lumayan cepat. Disiplin berdiet akan membuat badan cepat terasa lebih ringan. Disiplin bangun subuh akan membuat hati lebih lega. Kita lihat, tidak ada salahnya kalau ketidaknyamanan yang benar, kita latihkan pada diri sendiri untuk menjadi modal untuk maju terus. Kita menjadi lebih percaya diri karena memang mempunyai kompetensi untuk berprestasi baik, bertanggung jawab untuk meningkatkan kinerja dan bersiap untuk menghadapi turbulensi apapun.
Peningkatan daya mawas diri
Perjalanan dinas ke luar negeri atau usulan kenaikan gaji pejabat sebenarnya sekedar menunjukkan betapa individu sering tidak melakukan praktik refleksi intensif. Untuk menjadi sukses, individu tetap harus menjaga kesadaran diri tingkat tinggi, apalagi menghadapi terpaan turbulensi lingkungan politik, sosial maupun ekonomi. Kita perlu sekali bersiap untuk mengatur kata-kata dan pola pikir, serta dengan cepat menanggulangi kesalahan dan kekurangan yang ada. Disinilah EQ seseorang berperan. Tanpa kekuatan emosi, orang tidak bisa memimpin, apalagi mengatur emosi bawahan maupun rakyatnya. Kekuatan emosi membutuhkan banyak dan latihan intensif secara individual. Semakin tidak rajin berlatih, semakin bebal seseorang dan sulitnya, keadaan ini tak dapat diperbaiki secara instan. Kita lihat, menanggulangi krisis atau membangkitkan daya lenting, banyak sekali bisa dijawab oleh latihan mental, nilai yang kuat dan gaya hidup.
Dimuat dalam KOMPAS, 26 September 2015