Teman saya yang seorang pengusaha kecil, berkali-kali gagal mendelegasikan tanggung jawab bisnisnya kepada orang kepercayaan. Setiap kali bisnis di serahkan, bisnis akan merosot. Sekarang, ketika ia menemukan seorang GM baru yang berhasil mengembangkan bisnisnya, ia langsung berambisi untuk memperluas bisnisnya lagi. Sayang sekali teman ini tidak menyadari bahwa kunci keberhasilan yang diraihnya ini justru terletak pada karakteristik GM-nya yang istimewa. Bukankah ia seharusnya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan orang dengan karakteristik yang sama dengan GM tersebut barulah ia bisa mengembangkan bisnis selanjutnya? Banyak orang mengecilkan peranan manusia di dalam bisnis dan kegiatan pengelolaan, sehingga akibatnya sering ditemui organisasi yang seperti ‘ban kempes’ begitu terjadi pergantian pucuk pimpinan. Tidak jarang organisasi meminta bantuan pihak ketiga yang dianggap berpengalaman dalam melakukan penilaian manusia untuk melakukan assessment calon pejabat. Tetapi apakah itu cukup? Apakah organisasi sudah benar-benar memahami tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan itu. Apakah organisasi dapat menggambarkan dengan tepat tantangan yang mungkin akan dihadapi individu kepada pihak ketiga yang akan melakukan assessment? Apakah pihak ketiga mampu mengimajinasikan kompleksitas peran dan tanggungjawab pekerjaan itu serta keunikan budaya organisasi untuk nantinya melihat pengalaman dan menggali potensi yang dimiliki individu dalam mencari kesesuaian?
Pemegang jabatan di sebuah lembaga haruslah orang yang mumpuni, tahu lika-liku, suka duka dan cara-cara berkinerja di lembaga tersebut. Seorang yang S3 dalam ilmu farmasi, belum tentu bisa mengelola lembaga bisnis yang memperdagangkan obat-obatan. Sebaliknya ada juga S3 yang belum tentu dapat menginovasi obat namun memiliki kemampuan mengembangkan bisnis dengan baik. Tentunya kedua orang ini mempunyai talenta yang berbeda satu sama lain. Sama-sama ahlinya, tetapi tidak sama dalam kapasitas memajukan bisnisnya. Kita mungkin ingin mendapatkan orang yang dapat menguasai keduanya, baik menemukan obat serta mumpuni dalam menjalankan bisnis. Namun mencari orang ini bisa jadi bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami meskipun bukan berarti mustahil. Fokus kita yang terbagi antara menjalankan roda lembaga, berpolitik atau berbisnis, membuat kita sering tidak terlalu yakin bahwa 95 persen kesuksesan kita terletak pada bagaimana kita memilih orang dalam organisasi. Begitu salah memilih orang, sebaik apapun teknik dan sistem yang tersedia, kita akan mengalami kesulitan menjalankan roda bisnis sesuai rencana. Hampir semua masalah terjadi karena salah orang. Jadi teman kita yang ingin mengembangkan bisnisnya itu perlu sekali untuk membedah kunci sukses sang GM dan menemukan kompetensi kunci apa saja yang dibutuhkan oleh pemegang jabatan serupa. Istilah kloning memang tepat sekali digunakan di sini. Jim Collins yang terkenal dengan buku Good to Great, mengatakan: “You can’t start off by asking which direction you’re headed in… First you figure out if you’ve got all the right people on the bus, then you figure out where to drive”.
"Point of excellence"
Organisasi seringkali memiliki tuntutan kesempurnaan baik dengan ISO maupun berbagai program seperti Total Quality Management. Namun seharusnya kita juga perlu melihat apakah manusia yang direkrut sudah memenuhi kriteria kesempurnaan tadi. Di suatu lembaga bergengsi, standar ganda sengaja digunakan untuk menentukan kriteria rekrutan eksternal dari fresh graduate dengan rekrutan internalnya yang merupakan pegawai lama. Kepada fresh graduate diterapkan ukuran yang jauh lebih tinggi daripada utuk pegawai lama. Hal ini dilatarbelakangi oleh keluhan para atasan yang menginginkan agar anak buahnya tetap bisa dikembangkan walau tidak terlalu memenuhi syarat. Alhasil, para fresh graduate yang terpilih dan bergabung dalam organisasi, sering merasa frustrasi karena derap yang tidak seirama dan ide-ide baru yang sering tertolak oleh rekannya yang memiliki tingkat kompetensi lebih rendah. Ini adalah contoh lembaga yang berkompromi terhadap excellence dalam pemilihan manusia, yang pada akhirnya akan harus juga berkompromi pada excellence sistem manajemen lainnya bila manusia-manusianya tidak mampu untuk beradaptasi dengannya. Kekhawatiran mereka adalah bagaimana kalau semua yang kita wawancara tidak memenuhi syarat? Bisakah kita berkeyakinan bahwa manusia memang bisa diasah untuk kelaknya memangku jabatan tertentu? Kita bisa meyakini hal ini asal kita memang tidak secara genting memerlukannya untuk mengisi jabatan tertentu. Kita harus berfikir bahwa the show must go on. Dunia tidak menunggu kita selesai mengembangkan orang-orang kita sampai mereka siap. Merekrut orang yang salah sudah pasti membuat motivasi kita kendur. Itulah sebabnya, lebih baik menggunakan waktu yang lebih panjang dalam merekrut daripada bercepat-cepat, tetapi akhirnya tidak happy. Better late than sorry kata pepatah.
Dimuat dalam KOMPAS, 6 Juni 2015