Bila kita sedang disibukkan dengan beragam urusan domestik, kemacetan lalu lintas ataupun anak-anak yang sedang menghadapi ujian, kita sering lupa bahwa hidup terdiri dari yang sekarang dan yang masa depan. Kita sering memandang masa depan sebagai sesuatu yang memang perlu dipikirkan, tetapi bukan prioritas. Kita bisa terjebak dengan pemikiran bahwa masa depan selalu terkait dengan inovasi dan kreativitas. Kita pun sering lupa bahwa kita tetap perlu mempersiapkan bagaimana mengeksekusi pekerjaan di dalam ritme perubahan yang secara konstan terus terjadi. Kita hidup dalam era ekonomi global yang tidak pemaaf. Kita sudah mengalami ketidak pastian, bahkan tidak bisa lagi menjamin kepastian dengan beragam mekanisme pengaman seperti membeli asuransi kesehatan dan jiwa sekalipun. Seorang psikolog sosial bahkan mengistilahkan, bahwa kita hidup di dunia yang VUCA: volatile, uncertain, complex, dan ambiguous. Perubahan seperti dalam dunia politik, ekonomi dan pemerintahan, tidak mudah diraba, diperkirakan, apalagi dikontrol. Pertanyaannya adalah apakah kita sanggup menghadapinya dengan daftar kompetensi yang kita kuasai sekarang sebagai hasil dari bentukan di masa lalu? Semua kompetensi yang membuat kita berhasil mencapai tahap sekarang, bahkan sudah tidak cukup lagi untuk membuat kita bertahan di saat ini, apalagi di masa depan nanti. Dunia berubah cepat tanpa kompromi. Persaingan pun tidak bisa dibendung. Lulusan yang tadinya masih mahasiswa polos tiba tiba sudah berada sejajar kita dengan segudang pemikiran inovatifnya. Demikian pula tuntutan pasar yang memiliki standar ‘excellence’ yang semakin membubung tinggi. Siapkah talenta-talenta kita menghadapi kesulitan yang berbeda ini. Globalisasi menuntut manusia-manusia berpikiran global. Kaderisasi yang harus berkejaran dengan perkembangan teknologi. Keahlian dan ekspertis yang dibutuhkan, tidak bisa dikembangkan dengan cepat, jam terbang tidak sempat dikejar. Apakah mungkin, dalam kondisi ini, bajak membajak karyawan merupakan jalan keluar? Padahal mungkin pada saatnya nanti, yang dibeli oleh perusahaan pembajak adalah profesional yang juga sudah tidak berisi sesuai harganya.
Jangan remehkan budaya
Kita sudah lama menyebut-nyebut konsep learning organization, walaupun seringkali kurang diikuti oleh keyakinan bahwa spirit komunitas akan memacu kinerja, pembelajaran dan kekuatan spirit individu. Banyak slogan ‘learning organization’ terpampang sebagai salah satu misi perusahaan, tetapi yang terjadi di lapangan sama sekali tidak menunjang proses belajar tersebut. Kesalahan dibiarkan saja ataupun dihukum, tanpa dibahas sebagai pembelajaran. Lemahnya ketrampilan karyawan diselesaikan bukan dengan agenda belajar, tetapi dengan mutasi. Hal-hal seperti ini adalah pertanda ketidakyakinan manajemen pada budaya belajar tadi. Banyak perusahaan berusaha menanggulangi masalah kinerja dengan strategi. Padahal para ahli sering mengatakan, “When Napoleon was in Paris, with all of his generals, discussing how to attack Russia, that’s strategy. But what makes a million men march to Moscow, that’s culture”. Tanpa sense of community, kita tidak mungkin berhasil. Ini adalah kabar baik bagi kita semua, karena ternyata kesiapan menghadapi masa depan tidak 100 persen berada pada proses pembelajaran formal. Budayapun harus kita perhatikan juga. Kita perlu membentuk budaya yang obyektif, sehat dan ambisius untuk maju. Rasa ingin tahu semua individu dalam organisasi perlu kita pelihara. Kita perlu menguatkan proses mawas diri, belajar dari kesalahan dan berusaha mengkaitkan hal-hal tersebut dengan antisipasi akan masa depan yang penuh tanda tanya.“You need people with great determination, with great resilience”, demikian CEO Southwest Airlines Herb Kelleher yang bisa bangkit kembali dari keterpurukan.
Berfikir antisipatif
Mau tidak mau, kita sekarang memang perlu menuntut diri sendiri lebih banyak. Bukan saja menguras keringat, tetapi juga menggali kesabaran lebih dalam. Tidak saja idealis, tetapi sekaligus pragmatis. Pemimpin harus berani menuntut kinerja lebih baik, tetapi juga tidak boleh lupa memberi upah yang layak. Kita perlu berfikir helikopter, tetapi juga bisa connecting the dots. Hal ini memang berat, terutama karena kita terekat pada kekinian yang memang sudah banyak menghadapi masalah. Beberapa cara yang bisa kita coba untuk membangun budaya antisipatif ini adalah menguatkan daya observasi individual dan membiasakan diri untuk membahasnya. Saat ini kita banyak kehilangan kegiatan mendengar penuh kehati-hatian, sehingga semakin lama kita tumbuh semakin kompulsif. Kita sudah lupa pada kemampuan Sherlock Holmes yang bisa melihat apa yang tidak dilihat orang lain, yang melihat hal yang sama dari sisi yang berbeda. Untuk itu kita perlu mengapresiasi orang yang berpikir beda dengan berusaha memahami dan mempelajari pendapatnya. Kita perlu orang-orang ini, karena pikiran yang sama biasanya hanya mengakomodasi masa lalu saja. Sejarah juga perlu dipelajari untuk mengangkat pembelajaran karakter manusia, kemanusiaan dan perilaku manusia yang tidak pernah lekang dimakan jaman, bahkan menjadi unsur maha penting di masa depan.
Dimuat dalam KOMPAS, 23 Mei 2015