was successfully added to your cart.

TO HAVE OR TO BE

By May 04,2015 Articles
TO HAVE OR TO BE

“Kita perlu ganti mobil”, “Kita harus pergi shopping di Paris”, “Kita perlu perangkat keras terbaru”. Dan masih banyak lagi ungkapan yang menjadi kreasi sistematis mengenai kebutuhan untuk membeli barang, servis dan hal-hal lain yang mungkin bukan sekedar kebutuhan melainkan semata-mata keinginan belaka. Maraknya perdagangan ‘on line’ semakin memudahkan kita untuk membeli dan membeli sehingga membuat kita semakin terhanyut arus konsumsi ini. Apakah ini gejala universal? Bisa iya bisa tidak. Beberapa teman dari negara lain, bisa membiarkan anak-anaknya duduk di taman sekedar menikmati kesegaran udara dan bermain melatih psikomotor mereka tanpa harus mengkonsumsi apapun, meskipun restoran memang selalu dipenuhi oleh kawula mudanya. Sementara di sini taman-taman dipenuhi dengan pedagang kecil yang meskipun kerap dihalau oleh petugas selalu kembali lagi karena pasar yang begitu menjanjikan. Hal yang terkadang cukup menonjol adalah dipenuhinya pusat perbelanjaan negeri jiran dengan bangsa Indonesia, sehingga terkesan dan bahkan terucapkan bahwa ‘orang Indonesia kaya-kaya'. Apakah ini komentar yang menggembirakan? Apakah kita memang se‘kaya’ itu sampai  terkenal dengan pola berbelanjanya? Sadarkah kita bahwa pola konsumsi kita sulit dihentikan karena level kenikmatan kita sudah tidak ‘basic’ lagi?

Konsumsi berlebih yang tak sesuai dengan kebutuhan ini sebenarnya sudah mengarah pada konsumerisme. Hal ini juga bisa mengubah masyarakat, baik dari segi persepsi terhadap kebutuhan serta terhadap nilai-nilai dan respek pada sesama. Seseorang bisa dianggap hebat bila mengendarai mobil mewah. Seorang wanita dianggap cantik karena berpakaian dan beraksesori puluhan bahkan ratusan juta. Kita bisa membuktikan apakah konsumerisme ini sudah merasuki kehidupan dengan mengetes kemampuan anak kita, apakah ia lebih trampil mengenali logo barang di pusat perbelanjaan ataukah jenis pohon dan buah-buahan yang ditemuinya? 

Dalam skala nasional, kemacetan lalu lintas merupakan akibat konsumerisme yang tidak bisa kita hindari. Satu keluarga mulai memikirkan untuk mengkonsumsi kendaraan kedua pada saat keadaan ekonominya menanjak. Apakah kita tidak merasa bahwa gaya hidup ini bisa merugikan kita secara global dengan menjadikan kita pasar empuk dari negara lain? Apa modal, ‘local content’ kita yang dibutuhkan negara lain, selain sumberdaya alam yang akan habis suatu saat? Bukankah ini yang dikhawatirkan bila kita berbicara mengenai globalisasi, di mana negara-negara ‘pintar’ dan maju, dengan sumberdayanya yang terbatas, datang ke negara kita untuk menggali sumberdaya alam kita untuk kemudian mengolahnya dan menjual kembali kepada kita?  

Men’jadi’ atau mem’punya’i? 

Mudah mudahan kita masih ingat untuk membekali anak-anak dan keturunan kita dengan keyakinan bahwa ia sebetulnya bisa menyimpan ‘sumberdaya’ di dalam dirinya. Kita lihat bangsa India, yang dahulu miskin, tiba-tiba meledak ‘go global’ melalui menjual kejagoan manusianya dalam teknologi tetap dapat menjaga faham swasembadanya. Seorang desainer aplikasi di Eropa, bisa memanfaatkan programer India dengan harga yang ekonomis, karena programer itu tidak meninggalkan tempat tinggalnya, tetap mengkonsumsi apa yang biasa ia butuhkan secara lokal, dan menjual jasanya dengan harga yang menurut ukurannya ‘reasonable’. Kita lihat ada individu yang berkembang dengan konsep menguatkan prinsip dan mengisi dirinya dengan segala macam pengetahuan , ketrampilan, mindset, tetapi di lain pihak ada juga mereka yang menguatkan dirinya justru dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang, menghalalkan cara dan bermain power. Kita memang bisa segera melihat mana yang lebih ‘powerful’ dan ‘sustainable’. Tetapi kita juga sadar, bahwa membelokkan mindset itu tidaklah mudah. 

Pada paruh akhir  abad ke 20, buku  Erich Fromm, "To have or To be”  banyak digunakan orang sebagai acuan untuk membelokkan mindset. Dalam buku tersebut Fromm menjelaskan bahwa orang yang berprinsip ‘to have’ berusaha meraih kebahagiaannya dengan berbagai hal eksternal, seperti uang , kekayaan, dan ‘power’, yang kemudian membuat individu berkembang menjadi orang yang rakus, serakah, dan sirik. Sebaliknya prinsip ‘to be’, yang dasarnya bukan pada jabatan dan pangkat, melainkan profesi ataupun kompetensi  membutuhkan niat, disiplin, pergulatan internal serta perjuangan agar mencapai kualitas yang lebih baik.

Dalam hitung hitungan globalisasi ini, dimana sumberdaya alam memiliki keterbatasan retensi sementara sumberdaya manusia justru bisa bertahan bahkan berkembang terus, maka sebaiknya negara, dan kita semua berfikir dalam-dalam: bidak apa yang akan kita ‘pasang’ dalam permainan globalisasi ini. Dunia luar, memasang kepintaran dan kemajuan berfikir mereka. Apakah kita hanya memasang kesempatan bekerja sama, tanpa memikirkan pencerdasan dan kemajuan manusia? Apakah kita bahkan membiarkan negara lain melihat kita sebagai ‘pasar’ dan tidak menghargai manusia kita sebagai sumberdaya yang bisa dimanfaatkan?  Mari menguatkan ‘diri’ !

Dimuat dalam KOMPAS, 2 Mei 2015

 

For further information, please contact marketing@experd.com