Setiap perubahan selalu mendatangkan harapan baru. Grafik siklus kondisi emosional dalam menghadapi perubahan seringkali diawali dengan tanjakan sejalan dengan antusiasme menghadapi sesuatu yang berubah. Namun antusiasme ini tidak selamanya bisa bertahan, apalagi bila ternyata perubahan itu berjalan ke arah yang berbeda dari harapan individu. Siklus akan menurun, menuju arah frustrasi, penyangkalan, bahkan sampai depresi. Hanya bila kemudian individu merasa mempunyai kontrol terhadap situasi, grafik akan menanjak lagi dan lama kelamaan stabil.
Datangnya pemimpin yang baru juga biasanya mengikuti siklus ini. Setelah euforia sesaat atas perubahan yang terjadi, banyak pengikut yang kemudian merasa kecewa ketika ternyata keputusan dan langkah-langkah yang diambil oleh pemimpin baru ini tidak sesuai dengan harapan muluk yang sudah mereka gantungkan. Setiap orang berharap pemimpin yang baru akan lebih banyak mencari kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan situasi ketimbang berkutat pada jabatan dan posisinya. Tentunya kita berharap perubahan datang dari pemimpin yang baik, hebat, dan powerful. “Leaders are not hired to monitor situations, play it safe and keep quiet when things get complicated.” Tetapi, mungkinkah itu? Di kalangan pemimpin, Lee Kuan Yew bisa kita jadikan contoh. Apakah Lee Kuan Yew bergerak sendiri? Surat yang ditulisnya pada hari-hari terakhir hidupnya, mengatakan bahwa ia siap meninggalkan dunia ini, karena yakin bahwa pengikutnya sudah siap menjalankan visi mereka sendiri; bukan mimpinya, tetapi mimpi mereka sendiri.
Kita memang perlu mengganti persepsi mengenai manusia. Manusia bukan lagi makhluk pasif seperti pada zaman Newton, yang selalu dikaji berdasarkan hubungan sebab-akibat. Konsep seperti ‘manusia bekerja karena disuruh’ atau manusia yang diupah lebih besar akan bekerja lebih giat terdengar usang. Menurut Einstein, dunia harus dipandang sebagai tempat yang tidak berbatas. Sebab dan akibat bisa terbolak balik. Orang tua tidak bisa sepenuhnya menentukan pemikiran anak, bahkan sekarang banyak anak mempengaruhi cara pikir orang tua. Bukan yang tua yang memberi contoh kepada yang muda, sebaliknya para orang tua pun belajar dari yang muda. Konsumen tidak lagi menjadi korban upaya pemasaran, sebaliknya konsumen mendikte pasar. Bahkan, sosial media tidak sepenuhnya bisa mempengaruhi opini orang. Garis pembatas antara raja dan rakyat, para bangsawan dan khalayak awam, boss dan pekerja sudah tidak nyata lagi. Peran pemimpin bisa di-switch menjadi pengikut dalam beberapa saat. Jadi, masihkah kita berharap menunggu terobosan pemimpin? Jadi masihkah kita, para pengikut ini, menunggu?
Pengikut aktif proaktif
Teman saya sudah menjadi CEO untuk waktu yang cukup lama. Bicaranya, pendapatnya dan arahannya sangat dituruti oleh anak buahnya. Ia menjadi semacam kamus berjalan bahkan seperti ‘godfather’ bagi anak buahnya. Dalam keadaan persaingan yang sekarang , tiba-tiba sang CEO terlihat mendapat penekanan yang kuat dari para stakeholder hingga kehabisan ide. Sayang sekali, pengikut yang sudah terbiasa menunggu pengarahan, tidak terbiasa mempunyai pendapat sendiri dan bergerak melakukan manuver penanggulangan melihat situasi yang seperti itu. Hal ini sering kita temui dalam organisasi dengan situasi kepemimpinan yang kuat namun tidak memperhatikan pengembangan inisiatif pada anggotanya. Kita perlu membuat sistem dan penyadaran total bahwa para pengikut, yang jumlahnya jauh lebih banyak, usianya lebih muda, dan kreativitasnya lebih tinggi, dapat bergerak sendiri, berinisiatif, dan mempunyai terjemahan sendiri terhadap visi dan misi organisasi. Sebaliknya, pemimpin perlu merasa was-was bila dari pengikutnya tidak ada ‘suara’, pendapat, ide, ataupun gerakan untuk memulai hal-hal yang justru tidak terpikirkan olehnya.
Insisiatif pengikut
Masa-masa saat pemimpin menginstruksikan ”Lompat!” dan bawahan selalu mengatakan ”Siap! Dan berapa meter?” sudah lewat. Bila kita tahu bahwa pemimpin sedang bingung, pikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk memberikan dukungan atau support. Ketimbang merasa frustrasi dengan pemimpin yang tidak memenuhi harapan, marilah kita menjadi pengikut yang memiliki inisiatif, kontrol dan membuat gerakan pembaharuan bagi masa depan kita sendiri. Tengok Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang tidak henti hentinya bergerak, tanpa peduli tentang situasi politik saat ini. Tidak cukup lagi kita menunggu atau bahkan mulai meragukan kepemimpinan pemimpin kita. Banyak hal yang bisa kita lakukan sendiri tanpa menunggu pengarahan pemimpin. Inilah bentuk loyalitas sebenarnya, yang bukan konformitas buta. Orang loyal justru harus mempunyai inisiatif dan selalu berpikir untuk bisa diandalkan bila pemimpin tidak ada. Kita bukan lagi objek perubahan, tetapi kita adalah subyek perubahan itu sendiri.
Dimuat dalam KOMPAS, 4 April 2015