was successfully added to your cart.

ASAH TALENTA

By March 16,2015 Articles
ASAH TALENTA

Rapat Umum Pemegang Saham  di lingkungan BUMN sudah mulai sering terdengar diadakan. Reaksi menghadapi situasi ini bermacam macam. Ada direktur yang sudah mulai berpesan meninggalkan legacy- nya. Ada pula yang was-was, apakah ia masih akan tetap menjabat. Tapi ada juga manajemen yang melakukan crash program terhadap para eksekutif yang dinyatakan berhasil melalui assesment, agar supaya mereka “well-equipped’ bila ditempatkan dimana pun. Yang jelas sekarang kita bisa melihat hasil pengasahan talenta dari setiap organisasi. Ada organisasi yang bertalenta banyak, yang siap diberi penugasan baru. Namun ada pula yang ‘kering’, sehingga harus mengais-ngais mencari calon suksesor. Bila pada saat diperlukan kita baru mulai mencari dan menyeleksi, biasanya timing- nya sudah terlambat. Pengembangan talenta sebenarnya dimulai dari saat seorang individu direkrut oleh organisasi. Sayangnya,  meski semua orang setuju dengan prinsip ini, tidak semua bisa  mempraktikkannya.  Banyak yang mengeluhkan adanya kendala waktu. “Saya tidak bisa membimbing, terutama ketika tanggung jawab saya semakin berat”. Andaikata mereka memikirkan keterampilan anak buahnya, pasti yang lebih diperhatikan adalah sisi ‘hard skills’, yang jelas berkaitan dan langsung mempengaruhi laba rugi. 

Manajemen talenta ini memang sangat tidak terasa, dan baru dipandang  penting pada saat kita sudah tidak bisa membenahinya dalam waktu singkat, karena bersifat jangka panjang, bertumbuh, dan kultural. Beberapa penelitian membuktikan bahwa ketika masih di lapangan, relatif masih banyak pemimpin yang memperhatikan dan meng-coach bawahannya. Ketika mereka naik ke jabatan yang lebih tinggi, apalagi paling tinggi, ketika lampu sorot sudah diarahkan kepada kinerjanya, biasanya semangat mengurus manusia kemudian hilang. Bila strategi dan sistem pengembangan manusia tidak diprioritaskan lagi, maka akan terbengkalailah  pekerjaan manajemen talenta ini. Kita bisa melihat bahwa visi, misi, dan values organisasi selalu ada, tetapi sangat jarang mencantumkan semangat mengembangkan manusia sebagai prioritas utama. 

Leaders create leaders

Brian Kibby, Presiden McGraw-Hill Higher Education, mengatakan bahwa pemimpin yang rajin memang harus meluangkan waktu, mengadakan kontak mata, dan memperhatikan ‘orang-orangnya‘ dengan seksama. Waktu surat-menyurat dan rapat koordinasi perlu diskedul sedemikian rupa agar ia tetap mempunyai kesempatan untuk berinteraksi secara interpersonal. Bila hal ini tidak dilakukan,  bisa jadi pemimpin akan kehilangan kepekaan mengenai ’manpower’-nya. Juga keterampilannya untuk mengelola talenta akan terkikis.  “Power messes up our ability to learn” katanya. Menurut Kibby, pemimpin tetap harus menjadi role model dalam sikap belajar. Ia harus berani mengakui,antara ‘tahu’ dan ‘tidak tahu’, serta  membuat pengakuan yang transparan tentang apa yang ia tidak tahu. Dalam organisasi, atau dalam ‘values’ perusahaan, belajar benar-benar perlu diprioritaskan.  Bukan saja dalam menyusun strategi, penerapannya pun harus senantiasa dipikirkan. Belajar harus menjadi ‘magic word’ dalam setiap pembicaraan , dan bisa kita bayangkan bila seorang CEO selalu menanyakan pertanyaan yang sama kepada setiap karyawan yang ditemuinya di lift, “Apa yang sedang kau pelajari saat ini?”.  Bukankah ini akan merangsang semua orang untuk siap belajar? Pengembangan talenta sesungguhnya perlu juga didukung oleh sistem dan semua proses. Setiap atasan harus menyadari bahwa ia harus mempersiapkan bawahannya ke jenjang pengetahuan  keterampilan, dan sikap yang lebih tinggi. Paling sedikit, semua orang memegang kurikulum belajarnya, artinya  tahu kekurangannya dan bagaimana memperbaikinya. Career path, bagaimana mengarunginya, dan kemana pergi bila ada hambatan harus jelas. Setiap orang mesti pernah mengalami hambatan dan perlu merasakan bagaimana ia menanggulangi masalah yang sedang dihadapi. Bila dalam organisasi semua orang memperlakukan masalah sebagai tantangan, bahkan ingin selalu belajar dari kesalahan, maka manajemen telenta akan mudah dilaksanakan. 

Mengasah talenta melanggengkan perusahaan

Google dan Volkswagen adalah perusahaan yang sampai saat ini tetap juara inovasi. Di kedua perusahaan ini inovasi mengalir tiada henti. Pengembangan karyawan mengikuti pepatah ‘patah tumbuh, hilang berganti’. Ini didukung dengan hubungan otentik antara penampilan perusahaan dengan apa yang dirasakan karyawannya di ‘dalam’, yaitu value proposition yang tepat. Karyawan tahu  mengapa mereka harus berprestasi, tumbuh, berkembang, dan sukses.  Para pemimpin tahu bahwa strategi dan eksekusi harus sejalan. Karyawan tahu bahwa mereka harus bertindak kolektif secara kultural, di samping juga berprestasi secara individual. Mereka tahu bahwa mereka harus juara di lokal dan bisa diadu secara global. Mereka sadar bahwa mereka perlu patuh pada aturan perusahaan tanpa harus kehilangan fleksibilitas berpikir. Manajemen puncak di kedua perusahaan ini sangat mementingkan efisiensi operasional sejalan dengan strategi yang agresif. Individu selalu diingatkan untuk mandiri , walaupun secara bersamaan dengan itu, juga menganut tujuan bersama yang seragam. Karyawan perlu sadar bahwa hanya dengan pengembangan talenta, regenerasi, dan pembaharuan perusahaan bisa menjaga produktivitasnya, dan setiap individu berperan penting di dalamnya. Dan ini semua karena,” Our leaders are deeply engaged in and accountable for spotting, tracking, coaching, and developing the next generation of leaders”.

Dimuat di KOMPAS, 14 Maret 2015

 

For further information, please contact marketing@experd.com