was successfully added to your cart.

NYALI

By February 23,2015 Articles
NYALI

Kita bisa saja merasa sedikit ‘kecele’ ketika menyaksikan seorang pemimpin yang nampaknya tenang dan low profile, ternyata mampu menghadapi kekerasan tekanan yang ia alami. Kita merasa bahwa pemimpin yang lembut pasti sulit mempunyai kekuatan memoderasi hal hal  bertentangan yang harus dipilih atau di menangkan. Contohnya  pada saat seorang pemimpin harus merekrut atau memberhentikan seorang pejabat yang tidak memenuhi syarat, kita melihat bahwa tugas pemimpin adalah memilih diantara 2 pihak yang bertentangan, atau menyeimbangkannya. Tetapi, apakah kenyataan yang dihadapi pemimpin sesederhana itu? Apa yang terjadi ketika harus mengambil keputusan namun tidak ada orang di sekitar kita yang cukup dapat dipercaya untuk bebas bertukar pikiran lepas dari konflik kepentingan? Bagaimana mengantisipasi hal hal yang sulit dikontrol sebagai akibat pengambilan keputusan kita? Apa yang harus dilakukan  bila ternyata berpegang pada prinsip saja tidak cukup? Apa yang harus dilakukan, bila kita ternyata dianggap  tidak bisa memegang janji kita?  Bagaimana kita menyikapi situasi pengambilan keputusan yang juga diwarnai konflik-konflik lain serta beragam situasi eksternal yang tidak menguntungkan lainnya, seperti harga minyak yang turun, ataupun nilai rupiah yang merosot? Bukankah pemimpin ketika menghadapi situasi begini harus benar benar kuat mendengar hati nurani, kuat berfikir, berstrategi, kuat emosi, bahkan juga kuat fisik? Bagaimanakah proses seorang pemimpin sampai bisa dinilai sebagai pemimpin yang arif oleh seluruh pengikutnya?

Kita sering menganalogikan kepemimpinan dengan kekuasaan. Seolah-olah begitu dia berkuasa, segalanya akan menjadi mudah untuk dia laksanakan karena ia memiliki kekuasaan mutlak, ia bebas mengatur dan mengambil keputusan sesuai hati nuraninya.  Banyak harapan kita gantungkan kepadanya. Kepada gubernur DKI kita berharap dia cepat menanggulangi banjir yang sudah merupakan penyakit menahun dari jaman Belanda. Kepada presiden kita berharap adanya kearifan yang top. Begitu melihat adanya keputusan yang akan  membuat kita kecewa, kita mulai mencaci maki, bersikap was was, mengancam bahkan membanding-bandingkan dengan pemimpin terdahulu. Apakah semudah  itu seorang pemimpin memanfaatkan kekuasaannya untuk mengambil keputusan sesuai dengan janji-janjinya sebelum terpilih?

Panggilan untuk menjadi pemimpin memang datang bersamaan dengan kebutuhan  dan kemauannya untuk membuat keputusan yang sulit. Diambilnya tanggung jawab ini juga tidak memudahkan ia untuk mundur, dan tidak mau lagi memegang jabatan yang diambil. Ia memang diharapkan untuk tetap berada di dalam badai konflik, sekeras apapun, di mana keputusan tidak lagi dikotomis, tetapi sudah carut marut dan amburadul. Ia diharapkan dapat melayani anggota tim, atau rakyat yang dipimpin, tetapi bersamaan dengan itu mengambil keputusan-keputusan penting negara untuk menentukan arah perubahan.  Di sini kita lihat bahwa nyali seorang pemimpin akan di’coba’ , di mana praktik kerendahan hati dan keberanian  benar-benar ‘easier said than done” . Beban mental, baik untuk tetap menghadapi perubahan politik, ekonomi, cuaca dan hal-hal yang menekan juga masih dibebani oleh desakan pihak pihak yang beroposisi maupun yang mendukung dengan agenda yang tidak selalu bersih. Bisakah kita membayangkan betapa sulitnya konflik yang dihadapi seorang pemimpin, dan betapa ia sebenarnya ingin menjawab persoalan, aspirasi, keraguan, dorongan, kekuatan , kelemahan , nilai nilai, visi dengan jawaban yang lebih mudah yaitu :” saya tidak tahu jawabannya?”

Kita bisa saja merasa sedikit ‘kecele’ ketika menyaksikan seorang pemimpin yang nampaknya tenang dan low profile, ternyata mampu menghadapi kekerasan tekanan yang ia alami. Kita merasa bahwa pemimpin yang lembut pasti sulit mempunyai kekuatan memoderasi hal hal  bertentangan yang harus dipilih atau di menangkan. Contohnya  pada saat seorang pemimpin harus merekrut atau memberhentikan seorang pejabat yang tidak memenuhi syarat, kita melihat bahwa tugas pemimpin adalah memilih diantara 2 pihak yang bertentangan, atau menyeimbangkannya. Tetapi, apakah kenyataan yang dihadapi pemimpin sesederhana itu? Apa yang terjadi ketika harus mengambil keputusan namun tidak ada orang di sekitar kita yang cukup dapat dipercaya untuk bebas bertukar pikiran lepas dari konflik kepentingan? Bagaimana mengantisipasi hal hal yang sulit dikontrol sebagai akibat pengambilan keputusan kita? Apa yang harus dilakukan  bila ternyata berpegang pada prinsip saja tidak cukup? Apa yang harus dilakukan, bila kita ternyata dianggap  tidak bisa memegang janji kita?  Bagaimana kita menyikapi situasi pengambilan keputusan yang juga diwarnai konflik-konflik lain serta beragam situasi eksternal yang tidak menguntungkan lainnya, seperti harga minyak yang turun, ataupun nilai rupiah yang merosot? Bukankah pemimpin ketika menghadapi situasi begini harus benar benar kuat mendengar hati nurani, kuat berfikir, berstrategi, kuat emosi, bahkan juga kuat fisik? Bagaimanakah proses seorang pemimpin sampai bisa dinilai sebagai pemimpin yang arif oleh seluruh pengikutnya?

Kita sering menganalogikan kepemimpinan dengan kekuasaan. Seolah-olah begitu dia berkuasa, segalanya akan menjadi mudah untuk dia laksanakan karena ia memiliki kekuasaan mutlak, ia bebas mengatur dan mengambil keputusan sesuai hati nuraninya.  Banyak harapan kita gantungkan kepadanya. Kepada gubernur DKI kita berharap dia cepat menanggulangi banjir yang sudah merupakan penyakit menahun dari jaman Belanda. Kepada presiden kita berharap adanya kearifan yang top. Begitu melihat adanya keputusan yang akan  membuat kita kecewa, kita mulai mencaci maki, bersikap was was, mengancam bahkan membanding-bandingkan dengan pemimpin terdahulu. Apakah semudah  itu seorang pemimpin memanfaatkan kekuasaannya untuk mengambil keputusan sesuai dengan janji-janjinya sebelum terpilih? 

Panggilan untuk menjadi pemimpin memang datang bersamaan dengan kebutuhan  dan kemauannya untuk membuat keputusan yang sulit. Diambilnya tanggung jawab ini juga tidak memudahkan ia untuk mundur, dan tidak mau lagi memegang jabatan yang diambil. Ia memang diharapkan untuk tetap berada di dalam badai konflik, sekeras apapun, di mana keputusan tidak lagi dikotomis, tetapi sudah carut marut dan amburadul. Ia diharapkan dapat melayani anggota tim, atau rakyat yang dipimpin, tetapi bersamaan dengan itu mengambil keputusan-keputusan penting negara untuk menentukan arah perubahan.  Di sini kita lihat bahwa nyali seorang pemimpin akan di’coba’ , di mana praktik kerendahan hati dan keberanian  benar-benar ‘easier said than done” . Beban mental, baik untuk tetap menghadapi perubahan politik, ekonomi, cuaca dan hal-hal yang menekan juga masih dibebani oleh desakan pihak pihak yang beroposisi maupun yang mendukung dengan agenda yang tidak selalu bersih. Bisakah kita membayangkan betapa sulitnya konflik yang dihadapi seorang pemimpin, dan betapa ia sebenarnya ingin menjawab persoalan, aspirasi, keraguan, dorongan, kekuatan , kelemahan , nilai nilai, visi dengan jawaban yang lebih mudah yaitu :” saya tidak tahu jawabannya?”

Uji nyali yang sebenarnya

Bila kita melihat pertunjukan uji nyali di acara-acara TV, kita mungkin merasa ngeri dan mempertanyakan mengapa para atlit memilih aktivitas yang berisiko itu. Tetapi para atlit ini tidak bisa dibandingkan dengan pemimpin dalam keadaan sulit. Atlit pasti mempunyai team dan ‘coach’ dan ia kerap sudah dilatih secara teratur untuk menghadapi situasi yang akan dilombakan. Seorang pemimpin tidak selalu berada dalam situasi yang demikian menguntungkan. Bisa jadi ia tidak memiliki pengalaman yang cukup sebelumnya. Apalagi pemimpin negara, sulit mendapatkan seorang pemimpin negara yang berpengalaman di negara-negara lain seperti layaknya ketika kita merekrut seorang CEO. Kompleksitas ekonomi, sosial dan politik yang diwarnai keberbedaan dan ketidak pastian membuat seorang pemimpin, apalagi yang berpengalaman minim, bingung dan kecut. Kapasitas intelektualnya dalam menangani kompleksitas situasi teruji dan harus dioptimalkan tanpa banyak bantuan dan waktu yang bisa diperkirakan. Perbedaan budaya internal, per golongan , suku bangsa dan teritorial masih harus juga disandingkan dengan globalisasi yang sudah di depan mata, serta MEA 2015 yang akan segera diimplementasikan. Masalah nilai, prinsip dan etika menggoyang nurani  seperti pelaksanaan hukuman mati pun bisa membuat pemimpin sulit memejamkan mata. Belum lagi penentuan ‘timing’ yang tepat untuk menyatakan sesuatu , membuat pengumuman, bisa berdampak kesan tarik ulur yang menegangkan kita-kita yang melihat dari jauh. 

No guts no glory

Tidak mengherankan bila perusahaan seperti GE, Intel, Pepsi, menggalakkan adanya konflik di organisasinya, dengan keyakinan bahwa pemimpin-pemimpin yang kuat memang berdiri di atas konflik yang pernah diatasinya, seperti layaknya seorang pelaut tangguh yang lahir dari kekuatan menghadapi badai di laut lepas. Dalam keadaan ‘chaos’ beginilah pemimpin ditantang untuk tetap nekad berdiri dengan keyakinan diri yang penuh, tidak tergantung dan dan tidak dibebani oleh siapapun kecuali membawa pasukan, lembaga atau negara, ke situasi yang lebih baik. Mungkin, di dalam perenungannya sendiri , seorang pemimpin akan bercermin dan bertanya pada dirinya sendiri : Apakah peran ini tetap akan saya pegang dan jalankan? Apakah saya siap untuk mengambil tindakan berisiko? Apakah saya siap untuk bertindak dan terlihat ‘berbeda”?  Apakah saya siap diragukan dan dikritik, bahkan didemo?  Apakah keputusan yang saya ambil bersih dari konflik kepentingan pribadi saya? Pada saatnya pemimpin harus nekad , walaupun kenekadan itu bukan berarti tanpa berfikir panjang, tanpa lobby kiri kanan  dan tanpa upaya menyeimbangkan. Kenekadan setiap pemimpin berbeda beda. Kitapun perlu memahami dan merespek perbedaan ini. Pemimpin bukan berleha-leha menunggu inspirasi. Pemimpin yang baik, pasti akan menunjukkan keberanian dan komitmen sesuai visinya membawa lembaga ke arah yang benar. Terlepas dari situasi yang menegangkan, menakutkan dan tidak nyaman ini, pada akhirnya ia harus membuktikan bahwa :”kalau masuk dapur, kita harus tahan panas”.  Dan panas dapur ini tidak akan berakhir selama ia masih berproduksi.

Bila kita melihat pertunjukan uji nyali di acara-acara TV, kita mungkin merasa ngeri dan mempertanyakan mengapa para atlit memilih aktivitas yang berisiko itu. Tetapi para atlit ini tidak bisa dibandingkan dengan pemimpin dalam keadaan sulit. Atlit pasti mempunyai team dan ‘coach’ dan ia kerap sudah dilatih secara teratur untuk menghadapi situasi yang akan dilombakan. Seorang pemimpin tidak selalu berada dalam situasi yang demikian menguntungkan. Bisa jadi ia tidak memiliki pengalaman yang cukup sebelumnya. Apalagi pemimpin negara, sulit mendapatkan seorang pemimpin negara yang berpengalaman di negara-negara lain seperti layaknya ketika kita merekrut seorang CEO. Kompleksitas ekonomi, sosial dan politik yang diwarnai keberbedaan dan ketidak pastian membuat seorang pemimpin, apalagi yang berpengalaman minim, bingung dan kecut. Kapasitas intelektualnya dalam menangani kompleksitas situasi teruji dan harus dioptimalkan tanpa banyak bantuan dan waktu yang bisa diperkirakan. Perbedaan budaya internal, per golongan , suku bangsa dan teritorial masih harus juga disandingkan dengan globalisasi yang sudah di depan mata, serta MEA 2015 yang akan segera diimplementasikan. Masalah nilai, prinsip dan etika menggoyang nurani  seperti pelaksanaan hukuman mati pun bisa membuat pemimpin sulit memejamkan mata. Belum lagi penentuan ‘timing’ yang tepat untuk menyatakan sesuatu , membuat pengumuman, bisa berdampak kesan tarik ulur yang menegangkan kita-kita yang melihat dari jauh. 

Dimuat di KOMPAS, 21 Februari 2015

For further information, please contact marketing@experd.com