was successfully added to your cart.

TEGUR SAPA

By January 30,2015 Articles
TEGUR SAPA

Dalam banyak organisasi, kita menemui kinerja yang luar biasa. Banyak individu sudah menerapkan customer service dengan penuh dedikasi tinggi melalui proses serta sikap yang sungguh profesional.  Banyak juga organisasi telah berstandar tinggi, baik dalam integritas maupun produk yang dihasilkan. Sementara di tempat lain, visi misi mulia yang ditetapkan oleh para founding fathers menjadi sebuah coretan di atas kertas belaka. Karyawan bergerak sendiri tanpa arah, pimpinan berjibaku berusaha memenuhi target finansial yang dicanangkan, sambil mengeluhkan sikap dan kompetensi anak buahnya yang tidak mumpuni. Namun mereka tidak kuasa melakukan apa-apa karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas saat ini.  

Kita juga melihat banyak organisasi yang sukses, tetapi keluhan terhadap atasan tetap berkumandang. Bila ditelaah lebih jauh lagi, kita dapat membaca bahwa suasana organisasi bukanlah “tidak menyenangkan”, tetapi juga tidak dirasakan merangsang produktivitas. Remunerasi sebenarnya tidak dikeluhkan, bahkan mungkin termasuk 10 besar di kelasnya, namun atmosfer ‘dingin’ sungguh terasa ketika kita masuk ke dalam.  Contohnya, ada individu  yang sulit bekerja sama, bahkan berbuat salah cenderung,  didiamkan saja. Kemudian individu yang jelas-jelas tidak berprestasi sampai bertahun – tahun masih tetap berada di zona nyamannya dan menerima gaji setiap bulan karena atasan tidak berani menegur, alih-alih mendera. Anak buah yang tidak peduli pada kedisiplinan malahan disegani oleh kawan kawannya dan menjadi populer. Laporan-laporan, yang biasanya dikemas bernada positif, tidak dibicarakan dan dimanfaatkan untuk membuat perbaikan.  Sebenarnya, komunikasi bukannya tidak ada, karena semua keputusan dan konsekuensi dibicarakan, dikomentari,  bahkan  terkadang dicemooh. Jadi apa yang hilang? Apa yang menyebabkan suasana tidak menumbuhkan semangat  terlebih untuk berinspirasi dan beraspirasi?=

Hubungan yang bermasalah itu mahal harganya

Orang bicara  tentang ‘mereka’ tetapi bukan kepada ‘mereka’. Atasan tidak berani mengkritik bawahan, anak buah segan memberi masukan pada atasan yang permintaannya mungkin tidak realistis. Singkat kata, asal tidak berbenturan dengan lawan bicara, percakapan bisa lancar. Kelancaran inilah yang dipelihara, sehingga bila kita ingin mengkritik seseorang, apakah atasan, kolega, ataupun anak buah, kita berbicara tidak langsung kepada yang bersangkutan. Kita memilih jalan berputar dengan meminta bantuan orang lain, membicarakannya di belakang mereka atau malah menundanya sampai batas waktu yang tidak ditentukan hingga terlupakan. Dalam suatu organisasi, bila kita merasakan bahwa kita hampir selalu menghindari dialog yang sulit, maka organisasi perlu serius memperhatikan kesehatan atmosfirnya. 

Kegagalan untuk berusaha melakukan komunikasi terbuka, menyebabkan individu jera dan tidak mendera dirinya untuk terus mencoba dan ‘menggolkan’ upayanya.  Ibaratnya kita hidup bersama dengan seseorang yang dekat dengan kita yang bau badannya menusuk, namun bertahun-tahun pula kita tidak menegurnya. Paling-paling- kita hanya memberikan ‘deodorant’ dalam momen khusus, sembari tetap mengambil jarak.  Alhasil, kita bahkan tidak menyadari bahwa kita sudah menyia-nyiakan banyak sekali waktu dan biaya untuk kegagalan suatu kerjasama, kinerja, dan spirit bersama. 

Di negara-negara maju, hubungan yang menciptakan stres, seperti tekanan atasan yang berlebihan – yang sampai dirasakan sebagai ‘bully’ – bisa diklaim ke asuransi. Tentunya hal ini secara tidak langsung akan dibebankan kembali ke perusahaan. Belum lagi jika kita mendiamkan bawahan yang tidak berprestasi, karena tidak beraninya kita mendera, maka gambaran gap antara kenyataan dan harapan semakin nyata terlihat. Organisasi yang berisikan orang-orang yang tidak keras menjalankan prinsip berkinerja ini, bisa kalah bersaing dengan organisasi yang isinya adalah mereka yang orang-orang ambisius  dan berdaya saing, yang bisa mengutarakan pendapat  secara terbuka serta berdebat satu sama lain untuk membuat perbaikan, menciptakan inovasi dan meningkatkan produktivitas. 

Ewuh pakewuh 

Keyakinan bahwa membangun komunikasi yang terbuka itu adalah keharusan, dan akan berdampak positif, sering tidak dipertahankan orang. Banyak yang menghindar agar tidak terjadi konflik yang malah membuat kita tidak bisa tidur nyenyak. Banyak juga yang merasa, setelah sekali  mengalami kegagalan mencoba dan gagal, hubungan tidak pernah bisa membaik lagi, sehingga kita menjadi patah arang karenanya. Kita memang tidak ingin sakit hati sekaligus tidak mau menyakiti hati orang. Konsekuensi dari kekhawatiran  ini yang sering menyebabkan orang tidak mengeraskan hatinya untuk menembus hambatan kendala berterus terang ini. 

Dalam pekerjaan, ketidakmampuan kita menegur, menilai, dan memperbaiki adalah sikap yang sangat merugikan organisasi. Orang bekerja senantiasa harus belajar untuk menjadi lebih baik. Komunikasi untuk mendukung produktivitas ini haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak, baik atasan dan bawahan dengan dilandasi pada itikad baik yang sama, yaitu meningkatkan daya saing perusahaan agar dapat menjadi yang terdepan di kelasnya. Hubungan yang sehat ini didasari oleh kesadaran saling membutuhkan, bukan hanya atasan yang membutuhkan bawahan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, namun bawahan pun membutuhkan atasan untuk  mengarahkan, memberi masukan agar kompetensi semakin berkembang terus. Proses belajar ini tak mungkin dilakukan di luar pekerjaan.  Caranya?  Berkomunikasilah !

Berdisiplin untuk berkomunikasi 

Kita memang tidak bisa menyukai semua orang, tetapi perbedaan antara kita dengan orang lain perlu diakui dan hargai. Kita harus mahir mendengar perasaan orang lain, baik atasan, terutama anak buah maupun rekan kerja, setara dengan kemampuan kita mengakui dan mengekspresikan perasaan senang, kecewa, kagum, dan khawatir. Kita perlu berkomunikasi sampai seluruh anggota tim dapat secara kolaboratif memandang persoalan seolah melihat gambar yang sama. Kita juga harus membiasakan penggunaan fakta dan segala sesuatu yang terukur untuk jadi acuan, sehingga tidak diperlukan adu argumentasi. Bila kita mau membicarakan hal yang berakibat pada perasaan, maka mulailah dengan membicarakan dampaknya bila situasi memburuk. 

George Bernard Shaw berkata, “The single biggest problem in communication is the illusion that it has taken place”.  Kita harus melatih diri untuk semakin lama semakin lancar dalam berkomunikasi dari hati ke hati. Semakin banyak pertanyaan yang digunakan secara tepat, semakin kita lancar berbicara dua arah. Semakin kita berani mengambil risiko keterbukaan diri, semakin mudah kita ‘masuk’ dalam kebersamaan. Setiap orang mempunyai cerita tentang dirinya. Inilah yang bisa kita gunakan sebagai patokan bertegur sapa. Kita pun perlu membiasakan bertanya “Apa pendapat Anda mengenai situasi ini?”

Dimuat di KOMPAS, 24 Januari 2015

For further information, please contact marketing@experd.com