was successfully added to your cart.

DARI KAMPUS KE KORPORASI

By December 29,2014 Articles

Masih ingat masa masa pasca kelulusan dan memasuki dunia kerja? Banyak orang mempunyai pengalaman yang unik. Tetapi kebanyakan dari kita pasti yakin bahwa dunia kerja memang berbeda dengan dunia kampus. Ada beberapa lulusan yang langsung stres dengan tuntutan atasan, peraturan perusahaan , yang seolah membatasi kebebasannya berkreasi dan bergerak. Sementara si atasan di perusahaan juga melihat para “fresh grad” seperti mahluk dari dunia lain, beridentitas ‘gen Y’ , dan tiba tiba mulai berkeluh kesah mengenai perbedaan generasi. Jadi sebenarnya jurang antara kampus dan korporasi itu memang nyata masih cukup dalam. Bukan saja para “fresh grad” yang setres, ternyata pihak atasanpun mengalami kesulitan. Kita lihat saja , perbedaan yang nyata, yaitu dalam soal pemanfaatan waktu.  Ada yang terkejut karena tiba tiba tidak perlu membawa ‘pe er’ lagi ke rumah, seperti jaman kuliah. Sebaliknya ada yang tidak terbiasa dengan bekerja terus menerus sepanjang tahun tanpa libur semester, akhir tahun yang panjang. Kitapun tahu bahwa ‘deadline’ tidak bisa diperlakukan  sembarangan.  Keketatan penggunaan waktu, dan perencanaan di tempat kerja juga berbeda gaya. 

Bila di masa kuliah kinerja hanya dipertanggung jawabkan oleh mahasiswanya sendiri, saat bekerja,  kita bertanggung jawab terhadap kinerja kelompok , atasan , dan bahkan perusahaan. Di masa kuliah salah jawab akan berdampak pada diri sendiri. Di pekerjaan , bisa berakibat fatal. Ada ‘personal accountability” yang dituntut oleh perusahaan. Individu yang memasuki dunia kerja harus menjadi orang yang bertambah kepedulian dan tanggung jawab terhadap kemajuan dirinya sendiri. Pada saat inilah keunikan pribadi dan karater personal seseorang bisa membantunya untuk ‘survive’ di lingkungan kerja. Seorang yang terlihat sebagai pemain tim, dan bisa lebih diandalkan , akan lebih ‘terpakai’ di lingkungan kerja. 

Adanya kesenjangan ini diakui hampir semua orang. Dan kemudian , banyak juga yang berusaha menuding lembaga pendidikan, tentang ketidak siapan si ‘anak baru’ ini. Padahal bila kita telaah lebih jauh, walaupun ada upaya untuk menugaskan para mahasiswa untuk berpraktek kerja, memang mereka tidak bisa dipersiapkan untuk menguasai ketrampilan kerja yang memadai. Universitas tidak bisa membuat kurikulum yang sepenuhnya  mengajarkan ketrampilan bekerja. Suasana bekerja tim tidak sama ‘pressure’ dan urgensinya dengan dunia pendidikan. Demikian pula kemampuan menghadapi orang lain. Sebuah perusahaan , yang tergolong paling besar dengan manajemen yang sangat rapih pun tiba tiba sangat menyadari bahwa kemampuan dan kesupelan  menghadapi orang lain merupakan ketrampilan yang mutlak penting. Jadi kita lihat, ‘lifeskills’ dan ‘work skills’ memang harus dikuasai cepat oleh teman teman yang baru lulus universitas. Knight dan Yorke pernah mengemukakan kebutuhan kompetensi khas dunia kerja dunia kerja : pemahaman dan penyerapan jalannya bisnis perusahaan dengan cepat, menguasai praktek operasional tugas yang dihadapi, serta ‘meta kognisi’ yaitu kemampuan dan penyadaran diri sendiri dan evaulasi diri, sehingga semangat belajar tetap bisa dihidupkan. Memang, "The real world is a big change, more then you can ever imagine when you are sitting in the classroom thinking about the outside world!"

Banyak lowongan banyak pengangguran 

Kenyataan  menunjukkan banyaknya pencari kerja berdesakan mendaftarkan diri di  lowongan yang tersedia. Di beberapa lembaga yang rekrutmennya di tangani oleh Experd, kebutuhan karyawan sebanyak 60 orang , di daftar oleh kurang lebih 100. 000 orang. Kita lihat bahwa banyak pencari kerja yang tersedia. Lowongan kerjapun tidak sedikit. Namun seringkali penyedia kerja mempunyai kriteria sendiri ketika merekrut , dan hal ini sering tidak sejalan dengan kompetensi yang tersedia pada pencari kerjanya. Yang jelas , perekrut menyimpan pertanyaan : “Bisakah si calon langsung bekerja?” “Bisakah calon bertahan untuk waktu yang panjang?” “Bisakah calon ini , di kemudian hari dipromosikan?” Sebuah perusahaan konsultan “Right Management” menyebutkan beberapa ketrampilan yang diburu para penyedia kerja, antara lain , kepemimpinan, kemampuan manajemen, kemampuan interpersonal,  inovasi dan kekuatan mental tahan banting yang kesemuanya adalah ‘soft skills’, di prioritas mereka.  Konsultan ini mengganggap bahwa kemampuan berjualan, baik konsep diri sendiri , maupun produk dan jasapun sudah menjadi ketrampilan yang krusial, untuk tingkatan manapun, termasuk para pemula kerja . Demikian pula kemampuan servis, memahami pelanggan, internal dan eksternal dipersyaratkan perusahan perusahan perekrut. Kemampuan teknis dan penguasaan IT tentunya juga sudah dianggap sebagai kemampuan dasar. Dari sini kita melihat , bahwa hanya kemampuan teknis saja yang memang sudah ditempa di universitas, sementara kemampuan lain perlu dikembangkan oleh mahasiswa sendiri. “Employability skills” banyak bersifat nonteknis, padahal  pemahaman dan pengetahuan ini hanya bisa terlatih bila seseorang bekerja serius di dunia kerja. 

Menavigasi dunia kerja

Bagi ‘freshgrad” yang beruntung, ia bisa saja mendapatkan tempat kerja baru, di mana ada pelatihan intensif di mana unggah ungguh dunia kerja diperkenalkan di sana. Sebetulnya segala sesuatu yang termasuk dalam budaya kerja di perusahaan, adalah hal hal yang ‘common sense’ . Ada individu yang mudah menyesuaikan diri , tetapi  ada yang sulit memahami perannya di dunia kerja, sesuai  harapan perusahaan , serta hak dan kewajibannya. Persoalan yang paling sering dihadapi baik oleh para senior di perusahaan dan para pemula adalah interaksi. Dalam hubungan kerja ,sering  terasa adanya kesulitan berkomunikasi, dari upaya membangun tim, bekerja sama untuk mencapai tujuan tim , apalagi menyamakan persepsi. Values, keyakinan, dan kebiasaan dari masing masing pihak yang berbeda terasa sulit diseimbangkan. “Get things done’ yang memang sudah menjadi motto dari hampir semua institusi dan tidak bisa ditawar tawar lagi, sering menjadi ‘pressure’ bagi individu yang baru bekerja. 

Curi start sedini mungkin 

Kesenjangan yang sering disebut sebut sebagai kendala kinerja ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Para pencari kerja yang biasanya terdiri dari generasi ‘digital’ sebenarnya mempunyai banyak kelebihan lain , dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak orang masih  mengira bahwa kreativitas itu domain para seniman dan orang orang jenius, padahal di setiap tugas ada upaya mencari efisiensi dan efektivitas. Itulah kreativitas yang harus menjadi kebiasaan orang bekerja. Sebagai generasi yang lebih terbiasa mencari solusi yang ‘beda’ yang ‘tidak biasa’ , ini merupakan  kesempatan. Siapa yang harus proaktif? Yang mudalah yang harus mengupayakan ‘employability’nya sendiri. Para freshgrads harus  berusaha memahami dan cepat menjadi profesional. Semua yang dipelajari di bangku kuliah perlu segera dikaitkan dengan tempat kerjanya kelak.  Selain itu, latihan untuk berpresentasi dan berhubungan secara 360 derajat perlu dianggap serius. Tidak ada produk yang laku , bila tidak dikemas, kitalah yang perlu mengemas diri kita sendiri. 

 

Dimuat di KOMPAS, 27 Desember 2014

For further information, please contact marketing@experd.com