was successfully added to your cart.

PERUBAHAN SATU PAKET

By December 22,2014 Articles
PERUBAHAN SATU PAKET

Dari deadline yang dibuat atasan atau yang kita buat sendiri, misalnya menjelang akhir tahun ini , kita tahu bahwa ada beberapa perubahan yang harus dibuat. Apalagi kabinet baru yang disorot lewat tenggat 100 hari, dan bapak presiden yang sudah mematok adanya tindakan nyata dalam strategi dan kebijakan setiap kementerian. Semua orang bergegas untuk mengkonsep, merancang, merencanakan, atau langsung melakukan perbaikan. Ada yang berkomentar bahwa ini adalah ‘timing’ yang tepat karena kita sedang berganti tahun, saat semangat perubahan memang lebih alamiah. Walau demikian tetap saja ada yang maju-mundur, terlalu cepat membuat kebijakan, bahkan masih terdiam, atau mungkin berhati-hati merancang perubahan tersebut. Ini memang bukan pekerjaan mudah. Tim manajemen puncaklah yang bertanggung jawab atas resolusi ini, yang bukan hanya rancangan sekali buat atau keputusan ekstrim, tetapi juga atas pelaksanaan, bahkan sampai ‘ownership’ para pelaksana . Semuanya dalam satu paket. Kita tahu bahwa sudah banyak ahli yang mengakui bahwa saat melakukan perubahan, 65% orang dalam organisasi menyetujuinya dan mempunyai passion ke strategi yang dibuat. Artinya banyak yang tahu dan paham nilai positifnya. Namun hanya 14 % yang betul-betul memahami strategi yang dibuat sampai ke langkah detail. Bahkan realita menunjukkan bahwa hanya 10 %  dari seluruh organisasi yang sukses mengeksekusikan rancangan perubahan itu.  Kalau kita semua menyadari kenyataan ini, adakah kita berusaha mencari jalan agar implementasi dari perubahan lebih terasa?  Atau apakah kita tetap melakukan rapat tahunan, merancang perubahan, dan kemudian menganggap bahwa sepanjang peraturan diubah pekerjaan kita sudah selesai, atau terlaksana secara otomatis? Contoh riil adalah sekarang terasa kegalauan implementasi kurikulum 2013 versus 2006, sehingga kemudian terasa maju mundurnya pengambilan keputusan. Atau kontroversi aturan untuk berdoa di awal pelajaran yang penuh simpang siur pemahamannya karena masih belum tuntas antara pro dan kontranya.  Situasi-situasi ini , bukan hanya terjadi pada lingkungan pemerintah saja, tetapi juga berulang di perusahaan yang sudah berusia puluhan tahun sekalipun. Sering terjadi di perusahaan, orang bahkan menjawab masalah dengan mengubah peraturan, dan ketika implementasinya belum tuntas betul, sudah menimpanya dengan perubahan aturan lain lagi.  Seolah olah , aturan adalah solusi. Di sebuah perusahaan ditemukan sampai 70 macam aturan pemberian insentif  yang tumpang tindih dan sudah sulit ditelusuri mana yang benar-benar efektif lagi. Untuk menghapus semuanya dan mengulang dari awal diperlukan waktu dan keberanian, karena tentunya perombakan itu akan membawa dampak finansial maupun emosional. Jadi perubahan  bisa terasa sangat rumit, tetapi tetap saja ada yang berhasil melakukannya. Kita merasakan adanya perubahan di PT KAI yang menyeluruh. Demo dan protes sesekali terjadi, tetapi bisa diselesaikan dengan baik. Di semua lini dan bisa dikatakan hampir semua karyawan tahu dan mau berubah.  Rakyat Indonesia sekarang sudah sangat bersemangat kemaritiman. Dari pidato presiden tentang betapa lamanya kita sudah memunggungi laut, sampai kepada angka angka menggiurkan yang disajikan menteri kelautan dan perikanan bila kita menjaga perairan kita, hingga tindakan drastis menenggelamkan kapal, terasa adanya benang merah yang jelas. Tentu kita perlu waktu untuk membangun armada nelayan,  mengoordinasikan penjaga laut, dan menghidupkan kembali pengadilan kelautan. Masih banyak PR, namun jelas ada kaitan antara sikap tidak memunggungi laut dengan semua tindakan yang diupayakan keras, peraturan yang dibuat, data yang ditarik, dan komunikasi pejabat dengan masyarakat. Inilah pilihan para manajemen puncak untuk memilih antara  sekadar berkonsentrasi pada kebijakan atau berangkat dari akar rumput dan mendengar permasalahan dari yang konkrit, realistis, hingga prinsipiil dan visioner.  Bila kita hanya berkutat di atas kertas, kemungkinan sukses perubahan pasti berkurang. Ini sangat masuk akal karena pelaksana di lapangan biasanya tidak terlalu memperhatikan dan memahami, apalagi menghayati, strategi yang dibuat oleh top manajemen. Di sinilah Jonan berhasil menanamkan pemahaman itu di PT KAI. Ia selalu mengungkapkan alasan perubahan, seperti mengapa harus tiket elektronik, mengapa masinis dan personil lainnya harus disiplin mati, dan mengapa-mengapa lainnya.

Benang merah 

Dari para pemimpin yang sukses melakukan perubahan, kita melihat ada beberapa hal yang tidak lepas dari mereka. Bahasa bicara mereka selalu penuh contoh konkrit dan up to date. Mereka hafal mati data yang sedang dikemukakan, baik dalam menghadapi media masa maupun menghadapi anak buah. Darimana didapatkannya semua fakta itu? Bisa saja para pemimpin ini mendapatkan laporan dan membaca data-data yang ada di lembaganya. Tetapi yang jelas, pendekatan mereka sering berbeda daripada pemimpin yang malas atau takut melihat organisasinya dari sudut lapangan dan pelaksanaan, alias ketiadaan ‘alignment’ antara visi, misi, bahkan sasaran organisasi dengan kenyataan  dan pancapaian saat ini. Pemimpinlah yang perlu memeriksa dan  merancang alignment ini.  Andaikata  lapangan tidak bisa mengikuti perubahan yang dibuat, setidaknya pemimpin menyadari dan mempunyai rencana dan langkah yang jelas untuk menutup kesenjangannya. Jadi, keputusan yang dibuat selalu sudah memikirkan dan mempersiapkan mekanisme dan kesiapan mental pelaksananya. “Alignment’ tidak mungkin dipikirkan belakangan, karena mungkin mekanisme di lapangan akan menentukan strategi yang berbeda. Kekuatan alignment suatu organisasi akan dengan sendirinya menggambarkan visi misi perusahaan tanpa perlu disebutkan atau ditempel di dinding saja. 

Belajar dari mekanisme

Kita pasti mengerti bahwa perubahan selalu lebih urgent bila kepincangan yang ekstrim  sudah terjadi. Di PT KAI penumpang yang naik di atap gerbong mengancam keselamatan dirinya. Ini sudah jelas membutuhkan perubahan yang tidak bisa ditunda-tunda. Dari segi mentalitas, kebiasaan korupsi yang sudah tidak bisa dibendung adalah suatu urgensi. Pendidikan anak yang tersaingi oleh perkembangan teknologi, media sosial dan siaran televisi yang kebanyakan tidak mendidik juga sudah urgen. Bagaimana mengubahnya? Kita tidak bisa hanya berpatokan pada peraturan dan membuat strategi saja. Kita benar-benar perlu mengamati, berkeliling, mencari tahu, bertanya, mendapat masukan, protes dan mencatatnya baik-baik. Kita perlu menentukan bagaimana mekanismenya sampai kepincangan ini sudah terjadi, bahkan sampai berkarat,  dari kacamata orang yang melaksanakannya. Kita perlu mendata dengan jelas, sejauh apa penyimpangan terjadi dan mekanisme apa yang salah. Kita perlu menanyakan mekanisme apa yang menurut para pelaksana akan menunjang prinsip kerja yang benar. Kita tidak bisa hanya menanyakan masalah kepada para pelaksana lapangan, namun juga meminta pendapat dan saran perbaikannya.  Yang sudah dan belum dilakukan , yang dilakukan tetapi tidak dianggap benar, dan yang belom dilakukan tapi dianggap penting dari sinilah  kita baru bisa melihat kemungkinan terlaksananya perubahan yang kita rancang, dan lalu membuat mekanisme-mekanisme yang lebih ‘bergigi’. 

Dimuat di KOMPAS, 20 Desember 2014

 

For further information, please contact marketing@experd.com