Mengamati manajemen waktu para eksekutif pemerintah, bukankah kita jadi lebih sadar bahwa waktu banyak menentukan kesuksesan? Tiba-tiba kinerja tidak menunggu seratus hari; paling tidak gebrakan demi gebrakan dan penggelaran data keluar sebelum hitungan 14 hari. Walaupun perubahan langsung di masyarakat belum terlihat, tiba-tiba terasa adanya perubahan suasana. Setidaknya ada kesan bahwa parameter waktu sekarang naik ke permukaan kesadaran. Saya pribadi jadi latah memberi deadline terhadap setiap tugas yang saya dan anggota tim kerjakan. Dan kenyataannya, ini membuat alertness dan dinamika menguat. Benarkah akan terjadi transformasi yang kita harap harapkan? Benarkah dengan bermain waktu begini, kita bisa mencapai perubahan yang kita inginkan? Manajemen waktu alias time management adalah konsep yang sudah disadari, diamalkan, dan dipraktikkan oleh hampir semua orang. Begitu umumnya konsep ini sampai sering kali orang lupa mengangkatnya ke permukaan. Betapa perangkat lunak sudah mengakomodasi kita dengan alat-alat manajemen waktu yang sempurna, sampai ke menit-menitnya, sampai kepada reminder-nya yang bisa diatur dan bisa berulangkali mengingatkan. Dengan kendala padatnya lalu lintas, pengaturan waktu yang menyangkut keterlibatan orang lain sekarang semakin menantang. Ada yang menyikapi dengan masuk jauh lebih awal daripada yang standar dan pulang lebih awal. Ada yang justru menjadwalkan piket yang menembus akhir pekan dan hari libur. Bukankah kita memang perlu mengoptimalkan penggunaan waktu kita, sampai ke menit-menitnya, dan memilih prioritas tugas yang harus kita kerjakan terlebih dahulu dan yang bisa dilakukan belakangan?
Disiplin sebagai penghemat waktu
Ketika Jim Collins menerbitkan buku barunya “Great by Choice - How to Manage Through Chaos”, hasil penelitiannya tentang apa kekuatan perusahaan yang bisa bertahan melewati masa krisis di beberapa dekade terakhir ini cukup mencengangkan pembacanya. Ia menunjukkan bahwa salah satu kunci pentingnya adalah kedisiplinan mati-matian, yang disebutnya sebagai fanatic discipline. “Greatness comes from consistency”, demikian keyakinan Collins.
Fakta memperlihatkan bahwa dengan berdisiplin, perusahaan atau organisasi dapat menghemat banyak waktu, seperti waktu yang banyak habis untuk mendiskusikan, meragukan , berbantahan, ataupun untuk mencoba hal lain yang tidak sama dengan yang terdahulu. Disiplin menuntut setiap komponen organisasi untuk lebih teratur dan sistematis mulai dari mengerjakan hal-hal remeh, serta membuat kita mempunyai kebiasaan (habit) yang semakin mengeras, semakin otomatis, dan menghemat energi untuk berpikir. Habit yang positif membuat kita lebih bahagia, tidak gampang stres, dan siap berespons terhadap hal-hal yang tidak terduga. Kebiasaan tepat waktu, menuntaskan pekerjaan, menjawab semua e mail, membuat catatan saat rapat dan kemudian menindaklanjutinya, semua , bila sudah biasa, bukan beban lagi, dan tidak mengambil waktu ekstra kita. Ini berarti kita siap berubah untuk hal hal yang baru.
Orang yang tidak biasa berdisiplin justru tidak mudah berubah. Ia tidak mempunyai landasan yang kuat untuk tetap tegak berdiri di tengah-tengah terpaan angin perubahan. Dengan disiplin kita lebih mudah mengelola menit demi menit, jam demi jam, bahkan kejadian kejadian yang kita alami sehari-hari. Budaya produktif itu hemat waktu. “Doing something repeatedly builds habits of productivity. Doing nothing repeatedly builds habits of laziness, of chaos.” Kita pun di sini tersadarkan bahwa waktu tetap 7 hari dalam seminggu, 24 jam sehari. Disinilah kita jadi terlatih untuk membuat prioritas, memilih hal-hal yang penting untuk dikerjakan, baik yang urgen maupun belum urgen.
“Beyond 24/7”
Dengan konsep waktu yang terbatas ini, apakah kita akan terpaku pada waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan selalu merasa terdesak? Jim Collins menawarkan jawaban yang disebutnya sebagai konsep productive paranoia. Sementara kita bergiat berproduksi dengan efisien, kita pun tetap perlu bersiap-siap untuk hal yang tidak terduga. Kita perlu pandai membaca tren dan perubahan, apakah faktor cuaca, alam, selera, atau kondisi pasar. Dengan kemampuan membaca tren yang lebih cepat dan lebih dahulu dari orang lain, berarti kita bisa mengelola waktu yang belum terjadi, tidak ‘here and now’, dan sudah mengefisienkan masa depan. Masa depan penuh dengan beragam ketidakpastian. Bagaimana kalau kita melakukan peluncuran produk es krim baru dan kemudian disadari musim hujan baru dimulai? Bagaimana seandainya minat konsumen beralih ke yang lain, sementara stok masih banyak? Bagaimana kalau tiba-tiba kompetitor mengeluarkan produk yang lebih murah dan canggih?
Di sinilah kita perlu menyadari bahwa manajemen waktu ke depan justru lebih menciptakan peluang ketimbang sekedar mengelola waktu yang dekat. Apalagi bila kita juga sempat menguatkan prinsip dan nilai yang kita anut. Inilah yang rasanya sedang digarap dalam dalam pemerintahan kita. Kita memang mengelola masa sekarang, tetapi juga berantisipasi kuat dengan masa depan sembari memperbaiki nilai kehidupan kita, nilai kesederhanaan, dan anti korupsi. Sepintas lalu upaya ini tidak ada kaitannya dengan manajemen waktu, tapi dengan nilai yang positif dan saling menguatkan, waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tertentu nyata-nyata bisa jauh dipersingkat. Ibarat individu yang mengisi simpanan air minumnya secara teratur dalam menghadapi perjalanan panjang, inilah yang perlu dilakukan dalam perjalanan panjang organisasi , perusahaan atau negara.
Kita sekarang mengalami perkembangan teknologi yang bukan main pesat. Bisakah kita hanya terpaku pada ‘here and now’ saja? Bukankah kita perlu berantisipasi bagaimana kita mengelola waktu kita di masa mendatang? Kita perlu tahu cara mengelola keuangan, berkomunikasi secara lugas, berespon secara tepat, memutakhirkan kemampuan teknologi, dan menyiapkan sumber daya manusia untuk 10 atau bahkan 15 tahun ke depan. Kita juga tidak boleh takut melihat kenyataan bahwa kita perlu memperbaharui banyak hal di masa mendatang. Tidak mungkin kita tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk menghadapi dan melakukan inovasi di masa depan yang akan segera datang itu. Kita perlu menyadari bahwa kemampuan menyadari tren masa mendatang adalah kemampuan manajemen waktu yang mutlak. Bahkan kita pun perlu menyadari bahwa melihat ke depan bukan sebatas menyiapkan diri, kelompok, atau tim kita terhadap datangnya perubahan, namun juga menyiapkan para penerus kita, yaitu generasi yang akan datang, dan hal-hal yang bisa kita wariskan bila kita sudah tidak ada.
Dengan melakukan ‘futuring’ dan ‘forecasting’ kita sebetulnya sudah menyiapkan energi kita untuk berlari – bukan berjalan –, sehingga pemanfaatan waktu kita di masa mendatang lebih singkat. Kita menguasai pola, tradisi, dan budaya yang akan terantisipasi di masa datang. Bukankah ini ‘time management’ selengkapnya?
Dimuat di KOMPAS, 15 November 2014