was successfully added to your cart.

KERJA, KERJA, KERJA

By November 03,2014 Articles
KERJA, KERJA, KERJA

Branding kabinet sekarang tampak sangat tidak simbolis dan dimengerti oleh seluruh rakyat Indonesia, mulai dari  anak  balita yang baru mengerti bahasa Indonesia sampai kepada yang sudah pensiun sekalipun. Betapa tidak, kita selalu diajarkan bahwa kerja adalah ibadah. Bekerja adalah hakikat tanggung jawab manusia. Orang tua menyakinkan putra-putrinya untuk bersekolah dengan baik agar bisa sukses bekerja. Siapa yang tidak mengerti bahwa kerja itu penting. Menurut Frankl, manusia juga bisa menemukan makna dirinya melalui pekerjaan, selain dari cinta dan penderitaan. Namun mengapa sampai presiden kita perlu menggarisbawahi istilah ini, dan menyebut berpuluh kali kata ‘kerja keras’ dalam perkenalan menteri? Mungkinkah hal ini disebabkan karena inefisiensi sangat besar yang, walaupun belum diaudit ataupun didalami, sudah kelihatan dari luar? Bahkan ada beberapa jabatan  yang dikomentari di berbagai media, hanya berfokus mencari peluang untuk mendapatkan hasil yang bukan haknya. Inikah kondisi yang ingin dihindari bapak Presiden kita? 

Di sisi lain, kita sering mendengar ungkapan yang mengatakan bahwa kerja keras saja tidak cukup,  “don’t work hard, work smart”. Buya Hamka, dengan tajam mengungkapkan, “Kalau bekerja sekedar bekerja, kera pun bekerja”. Kita sering melihat, bahkan mengalami,  bahwa ada orang yang bekerja sangat keras, mau menyingsingkan lengan baju untuk pekerjaan apapun, dan bersedia lembur, namun kemudian,  di ‘by-pass’ oleh temannya, yang nampaknya lebih santai tetapi dinilai perusahaan lebih potensial. Dari sini kita belajar bahwa kerja keras bukanlah suatu penentu kesuksesan yang berdiri sendiri. Kita juga perlu melihat apakah kerja keras kita berdampak besar atau mengubah sesuatu, seperti misalnya membuat inovasi, memperbaiki pelayanan, membangun lini produk baru, membangun segmen baru pelanggan, atau masih banyak lagi hasil yang memberikan nilai tambah. Kerja keras kita tidak perlu membangun sesuatu yang monumental, tetapi harus menunjukkan hasil yang signifikan. Bila tidak, pada akhirnya kita akan terjebak pada ketidaktahuan mengenai hasil kerja keras kita sendiri,  yang justru akan membahayakan diri sendiri, tim , dan organisasi. 

Pada prinsipnya kerja keras perlu disiasati dengan strategi melalui penyusunan prioritas, arah dan tujuan yang tepat. Jadi , “how well you do you work” adalah hal super penting, terutama di zaman tidak efisiennya transportasi, kecepatan internet, dan persaingan dunia ini. 

Kerja keras untuk be – ’kerjasama’ 

Bercengkerama di tempat kerja, obrolan-obrolan di kantin memang suatu langkah awal untuk hubungan baik. Namun ini tidak menjamin tiadanya gejala ‘silo’, yaitu ego sektoral yang bisa saja dilandasi ketegangan untuk memprioritaskan kepentingan divisi atau tugasnya dahulu tanpa menengok kiri kanan, dan tanpa melihat pekerjaan sebagai suatu rangkaian. Motivasi untuk menang dan bekerja secara sempurna, mencapai KPI (Key Performance Indicators),  tetap harus dibarengi dengan kesadaran bahwa sektor lain juga perlu dipertimbangkan, ‘well-informed’, dan harmonis.  ‘Entity ownership’  secara keseluruhan memang harus dijaga terus, karena bekerja keras juga tidak akan ada hasilnya bila kesuksesan tercapai sepotong-sepotong. Ini bukan berarti bahwa kita mengabaikan konflik kepentingan yang memang akan selalu terjadi. Justru bekerja keras perlu dimaknai sebagai kegemaran berubah, memodifikasi keadaan bersama, serta tidak lekas frustrasi dengan keadaan yang sulit dan bertentangan. Kita bahkan perlu berjuang agar bagian atau sektor lain well-informed seperti halnya kita juga  perlu rajin mencari informasi. Kerja keras berarti  membangun kekuatan berkomunikasi, menjaga kejernihannya, dan bertukar informasi sebanyak-banyaknya. Hanya dengan kondisi ini , 'bad news‘ ataupun kesulitan dapat ditanggulangi bersama. 

Kerja keras dan ‘menerjang’ 

Kita tahu beberapa tokoh yang pemberani yang tidak ada ‘matinya’ mencapai target, dan melakukan  pembenahan. Menteri Kelautan dan Perikanan kita mengawali perjuangannya sebagai seorang pengepul ikan yang gigih dari pantai selatan Jawa Barat. Dengan pesawat pribadinya, tanggal 27 Desember 2014, sehari setelah bencana tsunami melanda Aceh, Susi Pujiastuti adalah orang pertama dari luar yang menembus lokasi tsunami.  Berawal dari niat tulus untuk membantu transportasi bantuan kemanusiaan, pesawatnya kemudian disewa oleh sejumlah lembaga donor, yang akhirnya membuat nama Susi Air menjadi brand untuk transportasi yang menembus daerah terisolir. 

Susi adalah salah satu orang yang mampu berpikir ‘out-of the box’, bertindak cepat, dan mampu mengubah kesulitan menjadi peluang. Di Aceh, kedatangan bantuan Susi bahkan ini jauh lebih cepat dari pemerintah dan organisasi lainnya.  Untuk menjadi organisasi yang terdepan, bangsa yang maju, semua orang perlu bersikap pantang menyerah seperti itu.. Semua orang harus berpacu dan mempunyai unstoppable mindset. Kita tidak bisa lagi beranggapan bahwa kita harus berhenti untuk berpikir sejenak bila melihat halangan dan resistensi. Kita dikejar waktu.   Kitalah yang harus berpikir bahwa diri kita memang tidak bisa distop. Saat sekarang,  tidak bisa tidak,  kita mengubah diri kita menjadi orang yang obsesif terhadap  kesempurnaan. Kita memerlukan hal ini untuk menjaga mental kita. Kita memerlukan self-respect, self-image, dan personal motivation yang meroket dan tidak setengah-setengah. Bila tidak demikian,  kita hanya terjebak ke arah pesimisme. Untuk menerjang maju ini, modal yang harus kita perhitungkan justru adalah kekuatan kita. Apa yang menyebabkan kita sukses sampai hari ini kita gandakan sebagai amunisi di kemudian hari. Hasil penelitian mengatakan bahwa bila individu diminta menyebutkan kualitas pribadinya, maka biasanya ia menjabarkan hanya 1 kekuatan berbanding 5 kelemahan.  Jadi memang sangat manusiawi bila kita terfokus pada kelemahan. Barangkali ini latar belakang mengapa sosial media lebih banyak berisi cercaan dan kecaman  daripada hal-hal yang mendorong untuk maju. Tengok Ibu Susi, betapa ia menjadi sasaran empuk untuk dicerca pasca pengumuman kabinet dan seketika para pencerca sepertinya lupa pada segudang prestasinya. Apa yang bisa dilakukan beliau ? Satu hal pasti adalah menerjang dan membuktikan, terutama pada diri sendiri, bahwa amunisi yang sudah ditabung selama ini, bisa dimanfaatkannya dalam porsi yang lebih besar, dan untuk kepentingan orang lebih banyak. Kita memang perlu bekerja keras , menerjang, bekerjasama , dan memperhatikan ‘deadline’. 

Dimuat di KOMPAS, 1 November 2014

 

For further information, please contact marketing@experd.com