was successfully added to your cart.

YAKIN?

By October 07,2014 Articles
YAKIN?

Rasanya zaman saat kita mempercayai pemimpin , seperti para follower mempercayai Nelson Mandela, sudah lama berlalu. Kehendaknya yang keras untuk berjuang untuk perdamaian , keadilan, kesejahteraan, dan pemersatuan di Afrika Selatan tidak diragukan orang. Bahkan Mandela bisa meyakinkan pengikutnya bahwa yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.  “It always seems impossible until it’s done”. 

Di masa kini, bahkan di negara maju sekalipun, rasa percaya ini semakin langka. Orang memang sudah saling curiga, terutama karena dari pengalamannya orang belajar bahwa kita tidak selamanya bisa yakin 100%, bahkan kepada atasan.  Menurut sebuah riset di Amerika Serikat, rasa percaya kepada pimpinan ini sudah 50% dari pada angka pengukuran tahun 1972. Hal yang sama juga terjadi di tempat kerja. Sekumpulan tim kerja, tidak mau berbagi informasi di grup sosial media yang dibuat dengan atasannya, khawatir bahwa atasannya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka. Percayakah mereka pada atasannya?

Sentimen yang sama juga terjadi di tempat kerja. Bawahan ingin transparansi yang lebih,dan komunikasi yang lebih clear.  Bawahan tidak menginginkan adanya ‘kejutan-kejutan’ yang bisa saja disebabkan kurangnya komunikasi atau akibat upaya-upaya perubahan, yang dikendalikan oleh pemimpin tanpa pemberitahuan sebelumnya. Bawahan, terutama kaum milenial yng sudah terbukti lebih kritis, menginginkan harapan dan tuntutan yang jelas, serta batas-batas ruang gerak yang nyata, tahu sampai mana mereka bisa mengembangkan diri. Di sisi lain, posisi atasan juga tidak mudah. Mereka menghadapi dilema moral, antara tidak mematahkan semangat bawahan dengan menyatakan kesulitan-kesulitan yang mungkin sedang dialami perusahaan dengan semakin tidak percayanya karyawan kalau keadaan organisasi diungkapkan blak-blakan.  Ketidakpastian yang kemudian beredar  di dalam lingkungan kerja, organisasi, bahkan negara menimbulkan rasa tidak nyaman, terutama bila rakyat merasa tidak yakin dengan pemimpinnya. .Pemimpin dalam situasi ini juga sering kehilangan kontrol terhadap identitas dan efektivitasnya. Apalagi kalau dalam pemerintahan negara, berseliweranlah hidden agenda dan manuver-manuver politik yang semakin menciptakan suasana abu-abu. Kebenaran yang sebenarnya menjadi pegangan terasa langka dan tak bisa diraih. Lingkaran setan rasa tidak percaya ini bergulir terus dan semakin banyak situasi di mana pemimpin seolah tidak bisa mengendalikan situasi dan bahkan seolah menggali sumur ketidakpercayaan lebih dalam lagi. 

Personal brand yang dibiarkan luntur

Dalam era transparansi media seperti sekarang, hampir mustahil kita masih merasa terbatas memperhatikan gerak-gerik pemimpin. Itulah sebabnya sebagai pemimpin, citra alias image yang ditampilkan sebenarnya perlu disadari sepenuhnya.  Ia perlu mengatur respons yang tepat dalam menanggapi situasi , agar impact yang ia harapkan tetap mengena. Mana  mungkin, kita sebagai pemimpin menunjukkan rasa takut, bahkan pengecut? Apalagi bila rasa takut  itu kemudian dikemas dengan manuver-manuver yang salah dan tidak terencana. Hidden agenda pemimpin saat sekarang lebih mudah terbaca. Bila pemimpin terlalu mengutamakan  kegiatan politik, tanpa terus menggaungkan sasaran dan tujuan organisasinya, maka yang dicari-cari dan ditebak -tebak oleh para pengikut hanyalah maksud dibalik tindakan atau kata-katanya. Obsesi “self-centering” harus dikalahkan dengan sense of commitment,  terutama dengan memikirkan kemajuan bagi, bukan sekedar kelompoknya, tetapi juga para pengikutnya secara individual, Tidak ada pemimpin yang bisa berjalan sendiri, bukan? Jadi mana mungkin ia tidak memikirkan pengikutnya. Bahkan kalau kita meminjam istilah ahli filsafat pendidikan kita yang tak pernah usang, bahwa pemimpin harus ‘ing ngarso sung tulodo’ –  di depan memberi contoh, maka saat sekarang pemimpin di depan harus tetap memberi contoh, sekaligus juga berani  ke depan dengan cara berjalan  mundur, tetap menghadapi para pengikutnya. 

Keputusan yang mencla-mencle, berubah-ubah atau bahkan tidak sesuai antara perkataan dan bukti pelaksanaan,  akan terlihat segera  dan juga secara instan merusak reputasi. Tengok betapa statement pemimpin negara yang salah  secara spontan memancing trending topic di media sosial, dalam volume yang masif pula. Mungkinkan reputasi yang sudah terluka ini diperbaiki?  Keyakinan followers yang menuntut bukti nyata sudah dibuktikan Jokowi dengan metode blusukannya. Begitu ada pemimpin yang berani berkotor tangan, maka populerlah dia. Mengapa? Karena ada tindakan nyata yang terbukti. Tidak perlu ada analisis apa pun lagi. Jadi kita bisa menyaksikan  bahwa keyakinan ini sudah menjadi komoditi terpenting dalam kelompok. Selain itu, bila kita biasa berpikir bahwa keyakinan itu ada di dasar kepribadian, tidak terlihat, dan sulit diraba, sekarang para pengikut sudah menuntut lain. Keyakinan harus terbukti, terlihat, terhitung , dan perlu diaplikasikan,  baik secara profesional  maupun pribadi.  Pemimpin sekarang boleh take credit, tapi pada saat yang bersamaan juga harus share credit. Tidak mungkin seorang pemimpin sukses sendiri, walaupun reputasi pribadi tetap harus diperhitungkannya matang matang, terutama dengan spontanitas media yang bisa menjatuhkan nama baik dalam sekejap. 

Menyiasati “keyakinan pengikut’

“ Trust, is now the currency of leadership”. Sudah jelas, kita tidak bisa menyepelekan keyakinan anak buah alias follower ini. Tidak bisa lagi kita mem-bully anak buah dan menebar kekuasaan dengan sistem ‘injak kaki’. Pengikut sudah semakin kritis dan tidak lagi buy-in dengan pendekatan seperti ini. Satu-satunya jalan adalah menjaga keyakinan mereka. Logikanya sederhana:  orang yang yakin akan berprestasi dan berusaha 110 %. Oleh karena itu, pemimpin sekarang perlu waspada dan cermat menjaga reputasinya di mata pengikut. Komitmen, yang susah terbuktikan, harus dipraktikkan. Ia harus hadir pada saat masyarakat membutuhkan dukungan moral dan menampilkan komitmen terhadap sasaran yang ingin dicapai. Pemimpin juga perlu dalam tiap kesempatan menampilkan kepiawaiannya, tahu data, hafal fakta terbaru, dan membuktikan bahwa sikapnya objektif dan bukan self-centered. Ia harus tegak lurus berdiri dan mengajak pengikutnya bergerak ke sasaran yang jelas,  bukan dijanjikan saja, tetapi juga direalisasikan . Sembari melakukan itu semua, ia  harus tetap ingat bahwa pengikut adalah individu, manusia, yang perlu selalu disehatkan ego-nya.  

Dimuat di KOMPAS, 4 Oktober 2014

For further information, please contact marketing@experd.com