was successfully added to your cart.

PEMIMPIN DAN PERSEPSI DIRINYA

By July 21,2014 Articles
PEMIMPIN DAN PERSEPSI DIRINYA

Banyak sekali gejala akhir-akhir ini, yang menyebabkan orang sampai mengelus dada,  ‘menyebut’, atau  menyarankan  agar salah satu tokoh mawas diri, istiqarah, dan segala hal yang berhubungan dengan cara memandang diri sendiri atau situasi di sekitar diri secara  lebih jelas.  Saking kita berkonsentrasi pada tindakannya, kita sering lupa untuk menelaah sebenarnya apa sih yang kurang dan salah pada orang ini. Apakah sikapnya ini situasional atau apakah orang ini memang tidak dibekali kemampuan untuk menelaah diri secara lebih ‘clear’, alias belum matang , atau apakah yang bersangkutan belum berkembang. Kalau kita sendiri sebagai pengamat tidak bisa menganalisis, bagaimana pula dirinya sendiri ? Persepsi diri memang tidak banyak disebut-sebut dalam kepemimpinan. Biasanya yang dijadikan fokus adalah visi, kharisma, cara berpikir strategis, kemampuan mempengaruhi orang lain, kemampuan orasi, dan masih banyak kualitas pemimpin lain yang kita kenal.  Padahal, persepsi diri juga sangat ‘powerful’ , walaupun tidak kelihatan. Kapasitas mempersepsi diri sangat berpengaruh pada kekuatan ’chemistry’ yang dibentuk oleh pemimpin dengan pengikutnya,  serta membangun loyalitas pengikut . Seorang dengan persepsi diri yang tumpul, mustahil menghitung katalisasi dalam kelompoknya.  Dalam banyak situasi kita sering menyaksikan betapa ‘pendalaman ’ seorang pemimpin ke dirinya sendiri, terutama menjelang  masa kejatuhannya,  sering kali menjadi lemah. Banyak pemimpin menjadi lupa diri,  seolah tidak membaca surat kabar atau melihat media lagi, dan bahkan melakukan tindakan yang jelas-jelas mencelakakan diri, impulsif, dan tidak terkontrol. Yang jelas, kemampuan ‘membaca’ situasi kemudian hilang, apalagi membaca isyarat yang dikemukakan lawan bicara,  alih-alih memberi kesempatan untuk memberikan respons yang tepat. Timbul gejala ‘kill the messenger’, ‘tidak mau tahu’, ‘keras kepala’, bahkan nekat membabi-buta. Bagaimana mungkin kepemimpinan seperti yang kita sebut di atas itu dapat menjadi efektif? Bukankah mawas diri ini unsur yang sangat penting dalam kepemimpinan? 

Sebaliknya, banyak juga orang berpendapat bahwa dengan terlalu bermawas diri, orang jadi tidak bisa ‘move forward’, ‘think big’, dan menjadi tidak berani.  Persepsi diri sebenarnya tidak identik dengan meditasi, tapa, ketenangan, relaksasi bahkan mengarah pada pesimisme. Justru kekuatan mempersepsi diri ini, ibarat kemampuan mengimajinasikan diri kita di tengah orang sekitar, terhadap musuh, di masa lalu, sekarang,  dan masa depan,  bahkan di saat menghadapi krisis.  Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan, seperti yang terlihat dari jarangnya artis pelukis yang mampu menggambarkan potret diri alias self portrait -nya dengan tepat. Bukankah kitapun mengalami keterbatasan yang sama?   Oleh karenanya, mendapatkan dan mempertahankan pandangan objektif, dan pas,  mengenai posisi diri di antara situasi dan percaturan permainan sangatlah penting. Asumsi-asumsi yang dibuat , atau suatu situasi yang kita prediksi,  dapat menjadi dasar atau alasan untuk bertindak. Asumsi  itu bisa dipilih, bahkan bisa diyakini. Namun kita tidak bisa seterusnya berdiri diatas asumsi asumsi tersebut.  Terlalu banyak asumsi, menutup jalan menuju fakta,  dan sering membuat kita mempunyai keyakinan yang sudah tidak faktual lagi. Selain itu, kita tidak mungkin mendapatkan simpati, empati , rasa percaya, dan loyalitas dari pengikut atau anggota tim yang langgeng ; kita menjadi tidak pandai menghitung apa dan bagaimana bentuk hubungan kita dengan para pengikut. Semua orang tahu bahwa di dalam pekerjaan, dan kepemimpinan kita ada ‘gap’ , distorsi , dan ‘blind spots’. Tetapi justru bila kita tidak berupaya keras untuk membuka mata terhadap kenyataan-kenyataan ini, kita justru akan terjebak pada persepsi diri yang salah. Apalagi bila kita sampai pada level menyalahkan orang lain, seperti:  “Saya tidak sebegitu jeleknya. Orang salah melihat saya”,  “Merekalah yang harus berubah. Bukan saya.”,. atau “apa salah saya, sampai mereka tidak berideologi sama dengan saya?.”

Mawas diri sembari ngambah tanah

Sering kali tidak terpikir oleh kita bahwa berpikir kritis itu dimulai dari dalam. “Leadership is an inside job” demikian seorang ahli. Untuk menjadi seorang yang kritis, baik terhadap data, statistik, atau kenyataan yang dilihat, seseorang perlu tahu dulu apakah ia cukup mumpuni untuk membuat penilaian. Seorang pemimpin yang tahu diri, dengan rendah hati bisa meminta para ahli dan orang orang yang dipercaya untuk membuat dirinya lebih ‘knowledgeble’ dan informatif. Namun ia pun tetap harus menguatkan barometernya sendiri, tetap mawas diri, apakah ia masih objektif, tetap positif, dan tetap melandaskan pendapat dan pendiriannya pada hal-hal yang benar. Setinggi apa pun keahlian seseorang ,  atau sebaliknya seterbatasnya keahliannya, seorang pemimpin perlu tetap berupaya untuk In Touch with Reality. Ia memang  tidak mungkin “tahu segala” , tetapi ia tidak pernah boleh lepas kendali terhadap hubungannya dengan realitas.  Realitas yang paling murni itu berada di lapangan. Realitas bisa ‘on paper’, bisa berupa data statistik, atau data data pemberitaan, tetapi kata-kata , dan cerita orang di lapangan, bahkan yang mentah dan tidak berupa kesimpulan, juga merupakan hal yang penting.  Kekuatan kita mendekat dengan realitas, tetapi tetap sadar diri, menyebabkan kita, sebagai pemimpin, tetap ‘waras’ dalam menentukan prioritas, lebih tahu mana yang sesuai dengan kebenaran, mana yang perlu kita gali lagi, atau bahkan mana yang perlu ditinjau kembali. Inilah yang dimaksud oleh Lao Tzu,  “He who knows others is learned; He who knows himself is wise.” 

Mengundang partisipasi, bukan memobilisasi 

Terkadang ada pemimpin yang menghadapi situasi yang biasa-biasa saja, misalnya meneruskan visi dan misi dari pendahulunya atau mendapat arahan dari kantor pusat, atau bahkan  tidak perlu susah-susah menggerakkan orang untuk berubah, memperbaiki diri, dan maju dalam frekuensi yang sudah ditentukan.  Akan tetapi, kita bisa membayangkan di  situasi lain pemimpin perlu mengangkat timnya dari keadaan terpuruk. Atau, dalam porsi yang lebih besar, pemimpin juga  perlu mengajak bangsanya untuk menghadapi tantangan masa depan dan globalisasi di depan mata. Dapatkah ia menggerakkan berjuta-juta rakyat  tanpa menggugah aspirasi dan motivasi mereka. Atau, mungkinkah hanya menggerakkan rakyat dengan kewenangan yang dipunyai, tanpa pendekatan manusiawi , yang artinya mengetengahkan ‘diri’ nya sebagai manusia yang utuh dengan kekuatan EQ? Partisipasi yang aktif hanya bisa didapatkan oleh pemimpin yang benar benar berpribadi kuat.  John Quincy Adam, salah satu presiden Amerika Serikat, menyebutkan, “If your actions inspire others to dream more, to learn more, do more, and become more, you are leader”. Menjadi pemimpin bukanlah untuk diri sendiri, namun untuk khalayak lain. Menjadi pemimpin berarti mewakafkan kepentingan pribadi untuk kepentingan orang lain yang dipimpinnya. Dan menjadi pemimpin tidak hanya tentang “aku”, melainkan persepsi “mereka dan kita” tentang “aku”. 

Dimuat di KOMPAS, 19 Juli 2014

 

For further information, please contact marketing@experd.com