was successfully added to your cart.

PILIHAN

By July 08,2014 Articles
PILIHAN

Gegap gempita menuju pesta demokrasi yang tinggal hitungan hari terasa semakin kencang. Seluruh mata tertuju pada dua kandidat yang sibuk melakukan kampanye berkeliling negeri. Tayangan debat calon presiden bahkan sekarang menjadi salah satu tayangan yang ditunggu-tunggu semua orang layaknya sebuah box office. Tua muda, kaya miskin semuanya  memusatkan perhatian pada debut kedua calon kandidat. Semua bersemangat karena ini adalah masanya bagi kita ‘rakyat biasa’ untuk mengambil peran, menentukan pilihan dengan bijaksana terhadap pemimpin yang walaupun masa aktifnya singkat, akan menentukan masa depan yang dihuni oleh anak cucu kita. Kita bisa saja berfikir bahwa  suara pilihan kita tidak dominan, hanya satu di antara sekian juta orang; tetapi kita perlu ingat bahwa pilihan kita haruslah dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan keputusan yang salah dalam memilih  seorang pemimpin, di kemudian hari akan membuat negara , rakyat, dan publik cacat, tidak berdaya, dalam banyak hal. Pada kesempatan ini, kita lah yang perlu menentukan kriteria pemimpin yang tepat, menentukan ‘model‘ pemimpin yang akan kita jadikan panutan, mendefinisikan apa yang namanya mengayomi, mengembangkan, menerobos dan mempraktekkan ‘kepemimpinan berkualitas yang sesuai jamannya’.

Kita memang tidak boleh ikut ikutan dan mendadak menjadi analis politik; akan tetapi kita sebenarnya dapat menggunakan ‘common sense’ kita untuk menilai dan kemudian bersikap..  Seperti yang dikatakan oleh Kellerman di tahun   2004: “....followers take responsibility for rewarding the good leaders and penalizing the bad ones”. Kita harus berani mengeluarkan energi lebih untuk membaca, mempelajari, mendengar, dan mendalami calon pemimpin kita.

Pemimpin yang menciptakan pengikut yang cerdas

Sudah seringkali kita mendengar ungkapan bahwa kita sudah dibodohkan oleh pemimpin - pemimpin yang lalu. Pernyataan ini sebenarnya lumayan tidak relevan mengingat kebanyakan dari kita telah mengenyam pendidikan dan ber IQ rata rata. Mengapa kita mempan untuk dibodohkan? Mengapa sistem pendidikan bisa mengecoh kita sehingga terjebak pembodohan?  Di masa sekarang, di mana dunia sudah tidak berbatas dengan pengetahuan gratis terjangkau di mana mana , kebenaran dan realitas yang kita hadapi pun sudah berbeda.  Pemimpin tidak mungkin mengarahkan negara, menuju masa depan yang lebih baik sendirian saja. Ia membutuhkan pendapat, keahlian, dan profesionalitas dari kita semua sebagai rakyatnya. Pemimpin perlu memperhitungkan reaksi, respons dan kehendak para pengikutnya. Pemimpin modern sadar bahwa dalam posisinya ini, ia dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah. Untuk itulah dibutuhkan ‘engagement’ dengan rakyatnya, secara dekat mengayomi dan berempati. Ia perlu ‘mendengar’ , mengolah masukan dan ekspertis dari akar rumput dan menerjemahkannya dalam strategi yang praktis cepat, berkembang dan terap.  Pemimpin tidak lagi hidup terpisah di panggung, dan mengendarai kereta kencana seperti raja – raja jaman dahulu. Kalau di era era terdahulu kita masih bisa menggerakkan perekonomian dengan menjual sumberdaya alam yang sudah terkubur beratur ratus tahun yang silam; sekarang di saat sumber daya alam tersebut semakin menipis,  kita perlu mengandalkan benda hidup , yaitu manusia. Manusia perlu dikembangkan justru sejak di dalam kandungan, untuk kemudian menjadi manusia yang ‘cerdas’ dan berproduksi. Pemimpin tinggal berenergi sekuat tenaga untuk menggerakkan para profesional, guru, dosen, ilmuwan, industriawan untuk maju berproduksi.  The job of a leader is to create, expand and preserve options – not limit them.

Bukan ‘siapa’ yang benar, tetapi ‘apa’ yang benar

Kita perlu betul betul mengkaji kembali kebutuhan kita. Kita membutuhkan ‘alignment’ lebih banyak, antar sektor, antar departemen dan antar disiplin ilmu. Pemimpin yang baik adalah ia yang sudah mencanangkan kesatuan, semangat yang seragam, untuk sasaran bersama yang jelas. Menjadikan  “Alignment’ sebagai agendanya yang utama. Ia dituntut untuk dapat melakukan  alignment yang praktis.  Tugas pemimpin bukan menarik garis perbedaan , mencari benar/salah dan malah membuat jurang pertentangan semakin melebar. Kemampuan pemimpin justru terlihat dari kemampuannya  mengajak setiap pihak yang bertentangan untuk saling mendekatkan kepala, menyatukan isi pikiran, bertoleransi dan bergandengan tangan tanpa mengkhianati nilai – nilai utama yang dianutnya. Tidak ada pemimpin besar, yang tidak jago berkompromi. Pemimpin besar bertangan besi seperti Margaret Thatcher pun bahkan justru terkenal karena  memprakarsai perubahan   perang dingin Rusia – Amerika menjadi perdamaian.

Kritik mengenai cara bicara, cara berdebat  dan cara memimpin di jaman dahulu sudah tidak berlaku lagi. Pengikut yang waras mengerti bahwa pemimpinnya adalah manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan. Tetapi tetap saja para pengikut juga ingin melihat pemimpin yang bertanggung jawab terhadap pilihan tindakannya, transparan  dan akuntabel. Justru hal inilah yang lebih me’manusia’kan seorang pemimpin. 

Pemimpin tidak bisa lagi mengumbar sekedar harapan dan rencana – rencananya untuk menggarap ‘landasan-landasan’ kerja tanpa langkah – langkah praktis yang konkrit yang akan menggerakkan seluruh raktyatnya untuk bergerak meraih kemajuan bersama.  Tanpa kita sadari, kriteria kita untuk memilih tidak lagi berpedoman pada siapa yang melakukannya, pada kharisma maupun masa lalunya, namun berfokus pada masa depan, pada apa yang akan dilakukannya dalam waktu singkat dan terbatas. Untuk itu memang diperlukan kualitas  yang universal , yang bisa menembuskan strategi si pemimpin kedalam operasi yang paling terap. No purpose = no passion = no alignment =no human =  no leadership.

Dimuat di KOMPAS, 5 Juli 2014

For further information, please contact marketing@experd.com