was successfully added to your cart.

LEGACY

Di masa kampanye seperti ini, kita seolah dihujani janji oleh calon pemimpin kepada rakyat. Dalam masa jabatan 5 tahun, tidak sedikit rencana dan “mimpi” yang hendak diwujudkan oleh para pemimpin tersebut. Pertanyaannya, cukupkah waktu lima tahun untuk mewujudkan apa yang disampaikan itu? Bukankah dari pengalaman yang ada kita menyadari bahwa lima tahun adalah masa yang super singkat? Di bidang pertahanan, misalnya, disampaikan rencana untuk memperkuat peralatan perang. Padahal, kita sadar bahwa proses pemilihan produk, negosiasi, produksi, pengapalan dan pelatihan teknisinya paling tidak sudah memakan waktu lima tahun. Ini baru membeli benda mati. Belum lagi program untuk mencerdaskan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mencetak guru yang handal, ataupun melatih tenaga kerja asing agar tidak dibodohi atau dilecehkan di Negara lain. Meskipun dari proses pembenahannya kita bisa meramalkan keberhasilannya, namun bukankah kita pun bisa mengukur bahwa cukup sulit untuk bisa mendapatkan hasil gemilang dalam tempo sesingkat itu? Siapkah kita sebagai pemimpin tim, organisasi, apalagi pemimpin bangsa, bekerja keras dengan maksimal, bila kita tahu tidak akan menerima pujian dalam proses pembenahan, apalagi melihat hasil gemilang pada masa aktif jabatan kita? 

Mari kita lihat pemimpin bangsa yang melegenda, yang belakangan ini sering kita sebut-sebut kembali, seperti Bung Karno, Panglima Besar Sudirman, ataupun Jenderal Urip Sumoharjo. Prinsip, pemikiran, apa yang mereka perjuangkan terus diingat, bahkan tetap relevan dengan kebutuhan kita di masa sekarang. Inilah sebetulnya tanda kepemimpinan yang kuat, yaitu legacy atau “warisan” yang tidak lekang di makan jaman. Beberapa organisasi, juga mengenal nama-nama pemimpin yang melegenda. Salah satunya adalah Agus Marto di Bank Mandiri. Sebelum meninggalkan Bank Mandiri, pada tahun 2010, beliau mencanangkan bank Mandiri agar menjadi The Service Legend. Mimpi ini akhirnya terwujud dengan berhasilnya Mandiri meraih kejuaraan servis sampai 7 kali berturut-turut, ketika beliau sudah tidak menjadi CEO lagi. “Legacy” yang dicanangkannya sama sekali tidak dinikmatinya, tetapi tetap terukir dalam benak para suksesornya dan dijalankan sepenuh hati. Bahkan banyak sekali kebiasaan-kebiasaan baik, yang masih diteruskan oleh karyawan Mandiri, yang lama maupun yang baru. 

Kita lihat bahwa “legacy” bisa berbentuk pemikiran, prinsip, sistem, sikap atau apapun, yang bisa membimbing jalannya organisasi tanpa kehadiran pemimpinnya. Bila kita sebagai pemimpin atau calon pemimpin masih sibuk dengan “here and now” saja, daripada memikirkan masa depan, dengan segera kita akan dilupakan orang begitu kita tidak lagi menjabat. Itu sebabnya, di tengah kesibukan kita mengejar target kerja jangka pendek, kita memang tidak boleh luput memikirkan apa yang akan kita wariskan kepada penerus kita. Pikirkanlah, bagaimana kita ingin dikenang ketika kita tidak lagi aktif menjabat? 

Kesadaran Diri untuk “Menemukan” Legacy

Dalam latihan kepemimpinan, hampir selalu para pemimpin atau calon pemimpin diajak untuk mengenali diri mereka secara mendalam. Mengapa? Bukan hanya karena pengetahuan mengenai diri sendiri akan membantu individu lebih efektif untuk menggerakkan timnya, namun pemimpin yang mengenal dirinya dengan jernih akan bisa menemukan esensi maupun rumus rahasia kehidupan dan pekerjaan dengan jelas. Saat pemimpin mengetahui dengan pasti demi apa dia bekerja atau memimpin, apa yang ia yakini dari lembaga yang ia bela, saat itulah ia bisa menentukan rumus rahasia, tujuan dari “perjuangannya”, standar kinerja dan obsesinya yang akan bisa terbaca dengan jelas oleh seluruh anggota timnya. ‘Legacy’ juga seringkali ditemukan pada saat-saat seorang pemimpin berada bersama timnya, membuat keputusan-keputusan berat, bertindak, dan melakukan kesalahan dan belajar dari situ. Di sisi lain, pemimpin yang tidak berhasil, biasanya tidak sempat melakukan refleksi diri seperti di atas, melainkan terlalu berjuang demi nama baik pribadi, keterkenalan, dan respek pada masa aktifnya. Pemimpin semacam ini tidak akan sempat membentuk tradisi, menguatkan kultur lembaga, membangun manusia dan ‘brand’ organisasi  secara kuat.

Walter Isaacson, penulis biografi Steve Jobs, mengatakan bahwa sebelum kembali ke Apple untuk kedua kalinya, Steve selalu berada dalam upaya pencarian dirinya.  Jungkir balik dalam berkarirnya memang tidak biasa. Ia dipecat, didiskreditkan, kemudian membangun organisasi lain. Meski demikian, ia terus memiliki obsesi untuk berbuat sesuatu untuk Apple. Temuannya  yang sering diistilahkan sekarang: “connecting the dots”, didapatkannya dan dipidatokannya tidak lama sebelum kematiannya. Cara melihat ke depan dan mengkaitkannya dengan pengalamannya, seolah menjadi rumus kehidupan, karir dan inovasi pengikutnya. Apa yang ditinggalkannya? Jobs meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang bisa dijadikan haluan  ketika menemukan ide dan berusaha mencapai sasaran anak buahnya. Inilah yang dijadikan patokan oleh Tim Cook dalam meneruskan bisnis Apple. 

Konsistensi Kata dan Tindakan 

Kita bisa melihat bahwa pemimpin yang bisa dijadikan panutan dan terus dikenang adalah mereka yang mengajak pengikutnya untuk waspada terhadap kesempatan di depan mata dan bertanggung jawab pada tugasnya masing-masing. Pemimpin yang baik juga memiliki keinginan kuat untuk menyebarluaskan “temuan” dan “rahasia” yang diolah atas dasar pengalaman dan pemahaman mendalam, dengan dasar kebaikan bagi organisasi dan orang disekitarnya, bukan kepentingan dirinya. 

Legacy tidak bisa hanya disiapkan pada akhir masa jabatan kita saja karena apa yang ingin kita wariskan hanya bisa diperkuat oleh tindakan yang konsisten dengan kata-katanya:“Walk the talk”. Ignasius Jonan, Presdir PT KAI, berani membuat keputusan-keputusan tidak populer, demi menjaga standar keselamatan penumpang. Tidak hanya satu kali ia menerangkan kepada bawahannya mengapa ia mengambil keputusan ini, namun berkali-kali, bahkan tidak henti-hentinya. Disadari ataupun tidak, inilah adalah bentuk pengajaran dan upaya mewariskan sikap yang sama, bila ia sudah tidak di sana lagi. Hal ini hanya bisa terwariskan, bila pemimpin itu pada saat aktifnya memang konsisten menampilkan perilaku yang signifikan, unik, dan khas. Barulah ia betul betul melegenda. 

Dimuat di KOMPAS, 28 Juni 2014

 

For further information, please contact marketing@experd.com