Pernahkah kita merasa kecewa, karena pelanggan yang biasanya menggunakan jasa kita, tiba-tiba berpaling ke produk lain? Ya, kita bisa saja kecewa, namun jelas-jelas di masa sekarang ini kita memang tidak bisa memaksakan kesetiaan pelanggan. Coba kita buka dompet kita. Kita biasanya akan melihat serangkaian kartu kredit, kartu ATM, kartu pelanggan dari berbagai bank: tabungan dari bank A, kredit rumah dari bank B, kartu kredit dari bank C. Sebagai pelanggan, kita memang punya kebiasaan yang selalu menginginkan produk yang ‘baru’, ‘trendy’, pengalaman baru, juga diskon yang menggiurkan. Dengan hujan pesan-pesan marketing seperti sekarang, sungguh mudah bagi kita sebagai pelanggan tergoda untuk berpaling dan mencoba produk-produk lain. Ini terjadi di industri manapun, baik perbankan, rumah sakit, penerbangan, restoran, semuanya. Pelanggan yang itu-itu jugalah yang sudah menjadi rebutan setiap lembaga. Dalam posisi sebagai pemberi jasa, kita harus tetap sadar bahwa kehilangan pelanggan merupakan hal yang tidak boleh kita tolerir. “Engagement’ dengan pelanggan tetap perlu diupayakan.
Dunia konsumen memang sudah tidak seperti 2 dekade yang lalu. Persaingan pun sudah tidak lagi sebatas nasional, tapi sudah regional, bahkan global. Sejalan dengan globalisasi, maka loyalitas sudah tidak bisa kita tuntut lagi dari pelanggan sebagai komitmen. Pelanggan sekarang mempunyai wawasan yang lebih luas dan kini semakin teliti untuk membanding-bandingkan produk dan jasa yang ingin dia beli. Ungkapan “cek toko sebelah” sudah benar-benar menjadi kebiasaan, sehingga banyak perusahaan yang bahkan memberi fasilitas di website-nya untuk memberi kesempatan pelanggan membandingkan produknya sendiri dengan produk pesaing. Tidak mungkin lagi kita mengelabui pelanggan. Mereka bebas memilih. Kitalah yang perlu memberi informasi sejelas-jelasnya tentang produk kita, dan membuat pelanggan dipermudah dalam membeli. Kitalah yang selalu perlu meningkatkan kemampuan servis kita.
Sebagai penyedia, pastilah kita selalu ingin agar sekali pelanggan membeli, ia tetap kembali, dan bahkan merekomendasikan produk dan jasa kita kepada teman-temannya. Daripada menuduh pelanggan tidak loyal, sebetulnya kita malah perlu bertanya pada diri sendiri: sudah cukup loyalkah kita pada pelanggan? Pernahkah kita menunjukkan wajah kesal pada pelanggan ketika menyadari bahwa pelanggan tidak mau membeli produk kita? Pernahkah kita menyadari bahwa kita perlu bersikap lebih baik kepada pelanggan ketika kita masih dalam proses menjual, daripada sesudah transaksi terjadi? Pernahkah kita sakit hati bila pelanggan memberi kritik terhadap produk atau pelayanan kita? Sadarkah kita bahwa “Nama baik” kita sebagai pemberi jasa tidak boleh kita abaikan, bahkan harus menempel di benak pelanggan.
Eratkan Tali Persahabatan
Kita sebenarnya tidak perlu pesimis dengan keadaan pasar bebas yang membuat persaingan ini demikian berat. Pelanggan, tetaplah manusia yang berperasaan dan menggunakan logikanya dalam berbelanja. Kitalah yang perlu memandang situasi bisnis ini tidak sebatas hubungan jual-beli yang kaku, tetapi justru memandang hubungan bisnis ini, baik itu besar atau kecil, sebagai hubungan ‘kemitraan’. Seorang direktur yang membawahi sebuah bank, selalu menekankan pada para personil garda depan, untuk mengumumkan SLA ( Service Level Agreement) kepada pelanggan. Bila kecepatan dan ketepatan yang sudah distandarkan bank tidak ditepati, maka pelanggan berhak menegur dan menuntut pelayanan yang lebih baik. Ini sesungguhnya bentuk kerjasama yang sangat baik, karena pemberi servis pun akan secara kontinyu mendapatkan masukan. Transparansi ini bisa menjadi daya jual yang istimewa.
Ada istilah ROF (Relationship building-Opportunity identifying-Follow up) yang sering dilupakan pelaku servis. Setelah transaksi terjadi, justru kita perlu menjaga pelanggan agar tidak lari. Kita bisa menawarkan program maintenance apalagi kalau memang produk yang kita jual perlu perawatan. Begitu juga kita mengingatkan terus, tentang keberadaan kita, bila pelanggan membutuhkan bantuan. Saat itulah hubungan yang sudah ada bisa kita perhalus, dan pertajam dengan pertemanan, sambil melihat kesempatan-kesempatan bermitra lainnya. Puas tidaknya pelanggan justru terjadi pada saat pelanggan sudah menggunakan produk kita. Karenanya kita justru perlu mendekatinya, memperbaiki, sambil mendampingi bila ada masalah. Kita adalah ‘mitra bisnis’nya. Bila kita berkawan dengan pelanggan, mereka tidak mungkin pergi dari kita tanpa permisi. Karenanya, kitapun perlu memahami tujuan jangka panjang si pelanggan dalam berbisnis, bertransaksi, sehingga bersama dengan kita pelanggan merasa di-’barengi’ dalam melihat masa depannya. Dengan begitu, hubungan antara kita dan pelanggan berevolusi kedalam hubungan yang lebih mendalam dan menjadi hubungan yang penuh rasa percaya.
Teknologi untuk Mendekati Pelanggan
Kita memang harus piawai dalam memanfaatkan teknologi untuk mendekati pelanggan kita. Kita harus mengingat bahwa pelanggan kita yang semakin kritis dan pintar, ingin merasakan “sense of control” yang lebih kuat, yaitu dengan bisa melakukan transaksi di mana saja dan kapan saja. Teknologi tidak berarti kita memiliki infrastruktur secanggih perusahaan global di Negara maju di Barat. Bank yang paling sukses di Kenya, M-Pesa, meskipun berhadapan dengan masyarakat miskin dan tidak mempunyai infrastruktur yang kuat, berhasil mengumpulkan jutaan pelanggan yang hanya menggunakan fasilitas ponsel. Kita bisa lihat bahwa dengan kualitas teknologi yang baik, kita bisa terus dekat dengan komunitas pelanggan, mengembangkan hubungan dengan panduan dan penyuluhan-penyuluhan yang berguna bagi pengembangan bisnisnya.
Dengan persaingan yang super ketat, kita bisa juga berstrategi untuk membuat tempat kita sebagai tempat kumpul komunitas yang ‘fun’. Bila kita berbisnis kedai kopi dan bisa membuat tempat kita sebagai “meeting poin” pelanggan, kita tidak hanya mendapatkan penjualan makanan dan minuman kita, namun kita bisa mengakses pelanggan dengan lebih praktis, sekaligus memperoleh promosi gratis. Bila kita mau sedikit memeras otak, kita pasti akan bisa menemukan banyak hal yang bisa membuat akses ke pelanggan kita lebih terbuka, sehingga kita tidak hanya menjual jasa, namun juga bisa menjadi tempat bertanya, tempat konsultasi, tempat komplain, tempat bergaul dan bahkan menjadi asisten pribadi yang mumpuni. Kalau sudah bergaul dengan erat seperti ini, kita bisa mempererat hubungan dengan meminta saran, sehingga kita mendapatkan saran dan informasi tangan pertama, yang memungkinkan kita melakukan perbaikan servis lebih dahulu dari pesaing kita, “going the extra mile”.
Dimuat di KOMPAS, 10 Mei 2014