Menyimak perolehan suara hasil pemilu dari media, dengan diiringi lagu “Dari ujung Banda Aceh, sampai Papua, kita semua bersaudara…”, terasa sekali menggelitik kesadaran kita untuk bersatu. Di tengah panasnya kompetisi untuk memenangkan kursi wakil rakyat, kita merasa sejuk ketika seorang mantan pejabat menyerukan agar para pejabat, para penguasa, dari manapun asal partainya, mendekatkan diri dan menjaga kekompakan dalam mengurus negara. Memang, melihat persaingan yang sudah mengarah pada pertarungan dan tarik menarik suara ini, kita pun sering tidak menyadari bahwa apa yang diperebutkan sebetulnya suatu hal yang teramat mulia, yaitu bekerja sebagai pembela negara. Kita sendiri pun, apapun profesinya, tidak boleh lupa bahwa kita semua perlu kompak dan bersatu demi keutuhan negeri ini.
Sejak di bangku sekolah dasar kita sudah diajarkan filosofi untuk bersatu. Namun, betapa sering kita menyaksikan tindakan dan perjuangan setiap insan Indonesia tidak kelihatan nyata menampilkan hal itu? Kita sadar toleransi itu penting, namun sering sekali kita menyaksikan beda pendapat atau keyakinan menjadi alasan orang untuk “menyerang” orang lain. Mengapa kita tidak kompak? Ada orang yang mengatakan bahwa kekompakan sulit terbangun karena kondisi masyarakat kita yang tidak “happy” ataupun belum berkecukupan. Di sisi lain, kita melihat keadaan ekonomi orang tua kita atau pun pahlawan-pahlawan kita dulu yang hidupnya belum sejahtera, namun menunjukkan semangat tinggi untuk membangun bangsa bersama-sama. Sebaliknya, banyak juga individu yang sebenarnya berkecukupan secara finansial, tetapi tetapi tidak mempunyai hasrat untuk bersatu. Istilah ‘mangan ora mangan kumpul’ sebetulnya juga merupakan cerminan bahwa orang bisa bersatu walaupun ia tidak berkecukupan. Kita bisa mengamati bukti-bukti bahwa sekalipun kita tidak terlalu puas dengan keadaan atau situasi di mana kita, kita tetap bisa memperjuangkan kekompakan. Hal serupa pun bisa kita saksikan di perusahaan. Di perusahaan yang kompak, gaji, lembur tidak sepenuhnya dipersoalkan.
Hasrat bersatu terlihat pada kehendak untuk ‘peduli’, tidak apatis terhadap keluaran kinerja kelompok. Saat individu berkehendak memajukan negeri atau perusahaan, upaya untuk be kerja keras, lembur, keingingan belajar tidak lagi semata diarahkan untuk kepentingan pribadi, tetapi selalu melibatkan kepentingan kelompok, perusahaan ataupun Negara. Pastinya, negara atau perusahaan yang berisi individu dengan hasrat seperti ini, bisa maju tanpa perlu didorong-dorong. Perusahaan atau negara yang individunya kompak akan bisa menjalankan servis yang jauh lebih baik, sehingga investor berdatangan, dan kesejahteraan pun menjadi konsekuensi yang tak perlu diperjuangkan lagi. Bayangkan, betapa hebatnya keluaran negara dengan ‘demographic bonus’, seperti yang dikemukakan Pak Ahok, bila individunya bersatu dan berkehendak untuk memajukan negeri ini. Bila demikian saktinya kekompakan ini, mengapa kita masih melupakannya?
Pemersatuan sebagai Perjalanan
Kekompakan tidak datang dengan sendirinya. Kekompakan adalah seni, bukan ‘magic’ yang dibangun dalam sehari semalam. Seorang ahli mengatakan, bahwa kekompakan sifatnya sangat emosional dan diarahkan pada tujuan dan sasaran utama kelompok, negara, atau perusahaan. Di suatu negara, misalnya, rakyat perlu tahu kemana tarikan pajak dipergunakan, untuk apa, dan untuk tujuan apa. Semua informasi ini tidak dilakukan hanya sekali, tetapi terus-menerus, secara kontinyu. Bila sasaran utama tidak terbaca dan tidak terasa oleh individu, ia tidak akan bisa membangun hasrat pribadi untuk menjaga kekompakan. Setiap individu perlu tahu persis mengapa ia membela perusahaan atau negaranya. Pemahaman akan sasaran bersama ini perlu untuk mengarahkan individu dalam tindakannya sehari-hari. Setiap individu, sebenarnya perlu bangun tidur dengan sebersit tujuan yang sama. Ia tahu akan melakukan apa hari ini, dan tindakannya akan diarahkan demi nama baik negara atau perusahaannya. Tujuan inilah yang juga membuat tindakan-tindakan pratriotisme membela negara atau membela perusahaan. Kekompakan ini adalah agenda setiap orang, terutama setiap pemimpin. Kekompakan tidak bisa diperjuangkan hanya untuk kelompok kecilnya, karena ia harus membawa kelompoknya untuk menuju kepada kekompakan bersama. Pemersatuan adalah sebuah perjalanan. Tidak sekali jadi.
Emosi Positif dari Komunikasi
Kita bisa mengecek kekuatan budaya perusahaan dari hasrat emosional manusianya. Individu dalam kelompok yang tidak percaya satu sama lain, tentunya sulit untuk bersatu. Jadi, ‘trust’ atau rasa percaya, memang tidak bisa dianggap sepele, karena inilah kunci utama untuk membangun kesetiaan kelompok. Bila kita masih mempertanyakan ‘hidden agenda’ seseorang, terutama bila orang tersebut adalah pemimpin yang hendaknya menjadi ‘role model’, tentu sulit bagi kita untuk mengembangkan loyalitas.
Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa bila saja setiap anggota kelompok terbiasa berkomunikasi asertif, mengatakan apa yang dirasakan dan dipikirkan, menyampaikan apa yang dibutuhkan, serta berniat untuk mengembangkan rasa saling percaya dan berpikiran positif, maka kekompakan akan terjaga. Ini sebabnya, komunikasi yang tulus dan jujur perlu digalakkan karena emosi positif datang dari komunikasi yang efektif. Perusahaan semacam SAP, bahkan mengumumkan bahwa komunikasi verbal maupun non verbal sangat penting, sehingga setiap orang diwajibkan untuk bercakap-cakap, bahkan juga di luar pekerjaan. Lagi-lagi, pemimpin memang memegang peran sentral untuk membangun aura komunikasi positif ini. Ia perlu senantiasa mawas diri untuk memastikan bahwa transparansi betul-betul bisa dirasakan setiap orang dan orang tidak takut untuk berpendapat, bahkan berbeda pendapat. Bila para pemimpin konsisten memberikan apresiasi secara tulus, tanpa melihat besar atau kecilnya kontribusi, rasa percaya dan kekompakan pasti akan terbangun. Mari bersatu dan menjaga kekompakan.
Dimuat di KOMPAS, 12 April 2014