was successfully added to your cart.

Pemilu hanya tinggal hitungan jari. Dalam masa kampanye begini, kita memang dirangsang untuk berpikir dan mengkritisi, siapa sosok yang akan kita percayakan untuk membangun negeri ini. Sebagai rakyat yang bertanggung jawab, kita pasti akan menimbang-nimbang: siapa caleg yang akan kita pilih? nomor berapa yang akan kita coblos? Meski bukan penggemar sejarah sekalipun, kita otomatis akan membayangkan Soekarno, Soeharto, Habibie ataupun kualitas diri sosok pemimpin lain yang dulunya demikian kita kagumi dan percayai. Mau tidak mau, kita akan mempertanyakan misi politik dan idealisme para calon pemimpin bangsa ini, gaya kepemimpinannya, juga kredibilitas tim yang ada di belakangnya. Bila hanya mengandalkan foto ganteng dan cantik yang dipampang di berbagai sudut jalan, sulit rasanya para caleg dan calon pemimpin ini bisa mendapatkan simpati, bila ia tidak berusaha menyampaikan ‘isi’ pikirannya tentang apa yang akan ia lakukan bila ‘terpilih’.

Menentukan pilihan menjadi semakin rumit, karena kita semakin banyak menyaksikan, individu yang bukan professional di bidangnya, bahkan berusia sangat belia, bisa terpilih menjadi calon wakil rakyat. Kita tentu bertanya-tanya, sejauh mana ‘magic’ yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah menyentuh suatu masalah untuk bisa memberi  pertimbangan profesional yang baik? Di sisi lain, kita pun melihat para artis berlomba-lomba pula mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Lagi-lagi, kita akan mempertanyakan, sejauh mana sosok-sosok ini memiliki kompetensi untuk melakukan analisis mendalam terhadap kondisi Negara dengan risiko besar bernilai triliunan? Apakah ada pertimbangan lain dalam memajukan calon, selain popularitas “sosok selebriti”-nya untuk bisa mendongkrak perolehan suara? Apakah kita percaya bahwa kharisma para selebriti ini masih akan bersifat seduktif  ke masyarakat yang semakin cerdas ini? Ini sesungguhnya adalah pemikiran ‘common sense’ yang ada pada benak banyak orang. Kita kadang menyaksikan, pemimpin yang karismanya besar sekalipun, sulit untuk bisa meninggalkan pengaruh dan “warisan” yang kuat, bila ia hanya mengandalkan kekuatan pribadinya saja. Pesta demokrasi seperti sekarang ini, semestinya kita manfaatkan juga untuk memikirkan pengembangan kualitas diri kita sebagai professional, sebagai pemimpin. Kita jelas tidak bisa hanya sibuk memoles “tongkrongan”, memikirkan popularitas yang semu, namun perlu memperjelas dan mempertajam “misi” kita, memikirkan apa yang bisa kita “wariskan” saat kita lengser, sehingga kita bisa memperoleh kepercayaan, baik di dalam tim, organisasi maupun di lingkungan masyarakat. 

Karisma saja tidak cukup

Kita memang tidak bisa mengabaikan kekuatan orasi, karisma dan penampilan menarik, untuk mengugah persepsi para pemilih, simpatisan, atau rakyatnya. Namun, jelas sekali pengikut tidak hanya puas sampai di situ saja. Seorang pemimpin perlu bisa mempresentasikan bagaimana ia ‘membangun’ korporasi, bagian, daerah atau negerinya. Sebagaimana layaknya seorang arsitek, ia pun perlu mampu melihat detil sumber daya, menyambung satu elemen dengan yang lainnya, sehingga bisa menghasilkan perubahan atau kemajuan riil yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh orang di sekitarnya. Dengan semakin kritis dan cerdasnya individu, pemimpin tidak bisa lagi mengedepankan sikap egosentrik. Tidak bisa lagi, ‘arahan’ datang dari satu pemimpin. Sebaliknya, ia harus bisa banyak bergaul, merangkul, sehingga bisa menjadi penterjemah dari visi dan sasaran, ke tindakan-tindakan strategik yang “membumi. 

Di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih dan berkembang cepat, tantangan pemimpin adalah menjaga kelangsungan kinerja organisasi dan merangsang seluruh organisasi atau negara untuk berkembang, dan maju. Ini hanya bisa dilakukan bila pemimpin bisa menumbuhkan ‘sense of purpose’ yang menyebar di tiap individu yang ada dalam organisasinya. Pada era sekarang, pemimpin memang harus kreatif. Ia perlu tajam memperhitungkan waktu dan skala, mengalokasikan anggaran, mengukur kemampuan, menentukan prioritas agar tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting. Pemimpin perlu standard dan tolok ukur, agar bisa dengan tegas menyampaikan berapa persen kemajuan yang sudah diraih. Dalam setiap situasi kepemimpinan, bila tolok ukur kinerja dihayati pengikutnya, ia tidak perlu repot-repot menghimpun simpati pengikutnya. 

Idealisme yang Realistis

Kita mendengar adanya pemimpin baru yang melakukan tindakan-tindakan pragmatis, turun langsung ke lapangan, kemudian dicemooh dan dianggap tidak mempunya misi yang jauh ke depan, bahkan dipertanyakan idealismenya. Ini tidak sepenuhnya salah, karena idealisme dan prinsip  yang kuat memang harus ditegakkan. Kita melihat berbagai bukti bahwa pemimpin dengan idealisme yang kuat, akan mampu terus menginspirasi dan menghidupkan idealisme yang ia pegang, meskipun ia ‘mati’ di penjara. Ya, pemimpin memang perlu mempunyai ‘big picture’, yaitu visualisasi akan dibawa ke mana ‘kapal’ yang ia nakhodai. Namun, kompleksitas dinamika masyarakat sekarang menunjukkan betapa visi saja tidak cukup. Janji, misalnya untuk membawa Indonesia agar ‘lebih baik’, harus dibarengi dengan ‘bagaimana’ cara yang perlu dilakukan, apa yang ia fokuskan, dan apa kira-kira hambatannya, bagaimana pemimpin melibatkan pengikut dan merancang  infrastruktur yang ada untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi, selain mempunyai idealisme, pemimpin perlu berlatih untuk menjadi pemimpin yang pragmatis.

Kita juga harus ingat bahwa kepemimpinan bukan sekedar peran. Kita tidak boleh terjebak pada paradigma, di mana individu dianggap sebagai pemimpin begitu ia menerima pengangkatan sebagai “direktur”, menteri, ataupun anggota legislatif. Kita mengharapkan pemimpin, apalagi pemimpin bangsa, yang memiliki “nafas” kepemimpinan. Kepemimpinan perlu lebih dipandang sebagai mindset dari individu, sehingga ia tampak sebagai sikap yang akan dibawa ke mana-mana. Pemimpin harus senantiasa menjadi sumber inspirasi pengikutnya, baik dari idealisme maupun dari ‘kerja’nya. 

(Dimuat di KOMPAS, 5 Maret 2014)

 

For further information, please contact marketing@experd.com