Sungguh seru menyaksikan debat para caleg yang semuanya menjanjikan perubahan dan kemajuan. Meski begitu, banyak kita yang langsung menyangsikan kesungguhan dan kemampuan mereka dalam membawa kemajuan, karena terasa betul hanya sedikit caleg yang mau masuk ke permasalahan di masyarakat. Kita tentu seketika merasa kecut bila merasa kentalnya “lip service” dari para caleg ataupun calon pemimpin bangsa tersebut. Dalam ukuran mikro, di organisasi pun kita kerap menemukan hal yang sama. Kita akan merasa kecut pula bila menyaksikan organisasi atau perusahaan kita tidak bergerak maju, mengalami kemunduran, atau hanya jalan di tempat. Kita bisa melihat betapa kemajuan, baik dalam skala luas ataupun skala organisasi, bisa tidak terjadi karena berbagai hal, mulai dari perebutan kekuasaan, politik yang tak sehat, tim yang tidak rukun dan saling tuding, kebijakan yang kurang bermutu, atau lemahnya fokus untuk memajukan Negara atau lembaganya karena masing-masing orang memiliki “vested interests”, sekedar memperjuangkan kepentingan pribadi.
Kita semua sebetulnya sadar bahwa bila kita ingin maju, maka kita perlu komit terhadap gerakan yang sama, yaitu bergerak ke depan, alias ke luar, seperti berorientasi memenangkan kompetisi atau memenuhi kebutuhan pelanggan. Berorientasi ‘ke dalam’, misalnya sibuk mencari kesalahan satu sama lain, tak akan membawa kita ke mana-mana. Kita memang perlu mempertimbangkan unsur-unsur internal perekat kelompok, seperti memperkuat rasa percaya satu sama lain, memperjuangkan kerjasama. Namun, upaya tersebut perlu dilakukan dalam kerangka bergerak ‘ke depan’ dan ‘ke luar’. Bila kita semata berfokus menyelesaikan perselisihan internal, maka enerji yang kita keluarkan sudah terkuras duluan, sehingga kita tidak lagi punya kekuatan besar untuk menghadapi persaingan baik dengan Negara lain ataupun pihak eksternal. Negara tetangga, yang 40 tahun lalu jauh tertinggal dari kitapun, bisa-bisa sudah menyusul kita dalam bidang pendidikan maupun teknologi. Ini disebabkan karena kita sibuk beradu argumentasi dan menjual konsep, keyakinan dan program ke dalam saja, tanpa menyadari tantangan di luar diri kita, betapa Negara lain sudah jauh di atas kita.
Kita tidak boleh lupa bahwa kemajuan tidak sekedar mencari solusi dari permasalahan yang ada. Globalisasi dan persaingan, menuntut kita selalu dalam kondisi ‘siap’ untuk berbagai kemungkinan, seperti halnya tentara yang harus selalu menjaga kondisi fisik dan mental prima meskipun tidak dalam situasi perang. Kita perlu terbiasa mengevaluasi: Apakah ada kondisi yang sudah usang dan kuno yang perlu pembaharuan segera? Apakah pertumbuhan kita “menanjak” maju atau mulai merosot turun? Bagaimana kemampuan dan daya saing sumber daya manusia kita? Apakah kita cukup ‘in’ dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan tidak terkontrol kemajuannya? Apakah kita sudah memikirkan kelanggengan sumberdaya dan mencari alternatif lain, agar negara, atau lembaga bisa bertahan hidup dan dipandang di jajaran depan? Bagaimana kita bisa memikirkan hal-hal di atas, bila kita sibuk berkutat dan menghabiskan enerji untuk berperang dingin antar departemen?
Penyebaran Kepemimpinan
Dunia sudah digerakkan oleh persaingan inovasi, kecepatan dan servis ke pelanggan. Masalah sudah demikian kompleksnya, sehingga sudah tidak mungkin kita mengandalkan kemajuan pada seorang pemimpin bertangan besi yang berkuasa dan memegang semua wewenang penting. Pergerakan tidak bisa lagi sekedar dikendalikan oleh level tertentu saja, namun perlu tersebar di seputar organisasi, bisa di level bawah, maupun atas. Ini saatnya kita mempraktekkan “distributed leadership” atau penyebaran kepemimpinan, di mana setiap orang harus menjadi ‘mata’ alias pengamat dari perubahan lingkungan. Tiap individu perlu sadar perannya sebagai penyemangat yang menguatkan komitmen dan spirit tim dalam menjalankan tugas. Ekspertise harus tersebar di seluruh jajaran, di mana para ahli-ahli ini tidak lagi sekedar menyetor hasil pemikirannya, namun juga perlu bergerak mempersiapkan solusi yang tajam. Kita jelas dituntut untuk bekerja dengan cara baru, di mana kita tidak lagi menunggu hirarki informasi ataupun visi yang akan membawa kelompok ke ‘alam’ yang baru.
Kita menghadapi masa di di mana sebanyak-banyaknya orang dalam kelompok perlu mengambil peran untuk memimpin, berinovasi, menuntaskan tugasnya, juga senantiasa berpikir dua sisi: internal dan eksternal. Bila pemimpin, baik pemimpin Negara ataupun pimpinan perusahaan, tidak mempunyai konsep penyebaran kepemimpinan ini, maka bisa jadi kita kembali menghadapi situasi di mana tanggung jawab untuk maju hanya pada pimpinan puncaknya. Bila kita mempertahankan sikap saling tuding dan sikap sulit bertanggung jawab, tidak menekankan kolaborasi dan sinergi lintas tim, maka gaya manajemen yang dilakukan akan tetap kuno dan statis. Hanya dengan kerjasama multi disipliner dan konsep dan gerakan yang searahlah kita bisa bergerak maju, menghadapi persaingan dan memerangi keadaan yang tidak menguntungkan.
Generasi Internet
Kita kerap mendengar suara miring mengenai “Gen Y” yang “berbeda” cara kerjanya, sulit diatur, sibuk sendiri dengan dunia virtual. Namun, terbukti bahwa para “Netgeners”, generasi muda penggila internet ini sudah membuat hidup berubah. Kita tidak bisa menjadikan “netgeners” ini sebagai alasan sulitnya mengelola tim. Sebaliknya, kita perlu beradaptasi dengan kecanggihan teknologi, perlu melek internet dan memanfaatkannya secara optimal. Kita perlu meyakini bahwa kekuatan internet ini bukan ‘mainan’ anak muda lagi. Bagaimana mungkin Pak Ahok, wakil gubernur Jakarta, bisa mendapatkan fakta tajam mengenai proses-proses di lingkungan DKI, bila tidak menggunakan teknologi informasi. Bagaimana mungkin Pak Jonan, Dirut KAI, bisa menggerakkan seluruh jajaran karyawan untuk berfokus pada pelanggan, tanpa dukungan IT yang kuat? Namun, meski didukung kecanggihan system, tetap kita manusianya yang harus canggih mengelola fakta dan mesin yang ada. Manusianyalah yang tetap mengambil keputusan untuk mengamati, meniru dan memodifikasi. Kitalah yang menentukan kemajuan dengan adanya spirit, kreativitas dan emosi untuk mengolah informasi. Teknologi menyebabkan kita bisa berekspansi lebih cepat dengan memanfaatkan fakta dan peluang yang “real-time”. Dengan ini semua, kita yakin bahwa kita bisa memanfaatkan sumber daya di sekitar kita, untuk mengubah orang ‘biasa’ berprestasi ‘luar biasa’.
(Dimuat di KOMPAS, 22 Maret 2014)