Penjualan aplikasi WhatsApp dengan nilai triliunan rupiah, kepada Facebook, tentu membuat kita geleng-geleng kepala. Pihak-pihak yang pernah menolak Jan Koum, empunya WhatsApp, tentunya merasa sangat menyesal karena melepas aset yang demikian berharganya. Facebook sendiri pun perusahaan yang tadinya tidak kita anggap ‘serius’, namun kemudian membuktikan betapa perusahaan dengan knowledge-intensive, berbasis servis dan berorientasi pada modal manusia, bisa memiliki ‘nilai’ yang jauh lebih tinggi daripada perusahaan yang ‘di atas kertas’ kaya dengan berbagai aset berwujud, seperti peralatan dan bangunan. Inilah contoh nyata betapa kita harus meyakini bahwa nilai perusahaan sangat berbeda dengan nilai buku yang ada di catatan akunting. Betapa ketinggalan jaman bila kita masih melulu berorientasi pada nilai buku, dan kemudian melupakan aspek ‘intangible’ yang tidak ternilai, yaitu ‘manusia’-nya.
Sekarang ini kita berada dalam ‘knowledge era’. Semua orang perlu menyadari betapa informasi adalah aset perusahaan yang maha penting, bahkan bisa jadi lebih berharga daripada aset berwujud yang dimiliki organisasi. Kita perlu ingat bahwa prinsip akunting yang kita gunakan saat ini dibangun pada jaman revolusi industri, dan sangat berbasis industri, sehingga tidak dapat menggambarkan ‘nilai’ dan ‘kekayaan’ perusahaan yang sebenarnya. Meskipun analisis finansial dan akuntansi tetap penting, namun kita jelas perlu memahami bahwa aset intangible seperti manusia, jelas sangat keliru bila masih dianggap sebagai biaya atau ‘cost’. Manusia jelas bukan lagi beban, bukan sekedar nomor, juga tidak bisa diwakili dengan kertas CV-nya, atau portofolionya. Manusia yang dinamis-lah yang justru punya pemahaman terhadap informasi dan bisa mengolahnya menjadi produk atau servis yang bisa diciptakan dalam model bisnis yang baru. Manajemen manusia saat sekarang jelas bukan main-main.
Brian Bissaker, seorang CEO perusahaan finansial di australia mengatakan bahwa 70% kegiatannya difokuskan pada ‘people management’. Ini tentunya tidak diyakini oleh shareholder dengan mudah, karena baik upaya dan hasilnya sangat tidak teraga. Padahal, hanya perusahaan dengan manusia-manusia yang dinamis, kompak dan berpikiran majulah yang bisa berperan sebagai ‘thought leader’ dalam dunia bisnisnya. Perusahaan yang misalnya percaya pada komunikasi intranet, media sosial, dan mempertimbangkan gaung baik ke luar maupun ke dalam , tentunya mempunyai dampak yang tidak kecil ke karyawan. Banyak orang luar yang ingin bekerja di perusahaan yang ‘friendly’, baik ke luar maupun ke dalam. Ini saja sudah mempermudah rekrutmen, bila perusahaan memerlukan telenta tambahan. “Word of mouth’ oleh karyawan, referal karyawan intern dalam rekrutmen, bukti bahwa karyawan sangat mampu dan lancar belajar, adalah harta perusahaan model baru. Tantangan kita di jaman modern ini jelas-jelas membuat manusia dalam organisasi mampu mendongkrak ‘value’ perusahaan.
Talent Proficiency
Sebuah bank terkemuka di Indonesia sudah lama lantang mengatakan pentingnya manusia sebagai aset. Namun, tetap saja terasa bahwa manusianya sendiri tidak merasa sebagai aset yang berharga. Pekerjaan dianggap sebaagai keharusan, kreativitas tidak tumbuh subur dan ujungnya, hubungan manusianya dengan perusahaan adalah hubungan finansial, seperti layaknya yang ada di laporan keuangan saja. Di sisi lain, ada sebuah grup perusahaan yang bisnisnya lebih banyak didominasi kegiatan lapangan, sepintas lalu kelihatan tidak mementingkan manusianya, namun dalam kelas pelatihan menunjukkan betapa bersemangatnya mereka dalam belajar. Para manager lapangan membuat ‘surprise’ karena menunjukkan sikap kritis, kegiatan mencatat semua yang dianggap penting, bahkan aktif ber’main’ ketika ‘roleplay’. Dengan mudah kita bisa membayangkan bahwa perusahaan yang bergengsi , dengan manusia yang statis, tak akan mampu berlari dan menari menghadapi situasi yang berganti, dibanding dengan perusahaan yang berisi manusia yang yang gampang di ‘isi’ dan selalu ‘in the ready’ begini. Betapa ketinggalan jaman jika kita tidak pandai membuat analisis ‘human capital’, dan mengabaikan program untuk mengisi, memperkuat, meng-engage manusi di organisasi kita. O Donnell seorang ahli manajemen SDM juga mengatakan juga :”it is the human capital analysis of a business that really gets to the heart of an organisation's ability to execute on its strategy”.
Kekuatan Talenta, Kekuatan Emosi
Kata ‘cinta’ dalam sebuah kegiatan bisnis bisa kedengaran ‘lebai’. Namun, sebetulnya kita kita bisa mengambil inti dari ‘emosi’ hubungan interpersonal ini dalam upaya pengembangan ‘people power’. Kita tahu cinta akan menumbuhkan emosi yang dapat menghasilkan ‘power’. Dalam organisasi, bukankah kita juga butuh ‘power’, bahkan ‘superpower’ untuk berprestasi, belajar, berkreasi? Power ini ada dalam interaksi sosial, bagaimana relasi kita satu sama lain, bagaimana orang berusaha di dengar dan mendengar, bagaimana menentukan prioritas bersama, atau mengeroyok pekerjaan bila diperlukan. Bukankah bisa dikatakan bahwa hal ini seperti bekerja penuh cinta? Hubungan kerja yang romantis di mana individu saling mengerti dan saling ‘suka’ satu sama lain adalah hubungan tim produktif yang ideal sekarang ini.
Keintiman ini hanya bisa dilakukan bila tiap anggota tim perlu berbagi. Bila terbangun keintiman tingkat tinggi, akan tercapailah ‘shared power’. Ini bukan jaman di mana ‘power’ disamakan dengan pemaksaan dan penekanan. ‘Power’ justru didapat dari kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, kekuatan untuk merangsang teman sekelompok untuk mengejar sasaran yang jauh ke depan. Unsur-unsur atensi, respek, jati diri, fairness , pembenahan hubungan dan empati terhadap kesejahteraan bersama menjadi harta perusahaan yang sakti dan memungkinkan perusahaan menyambut tantangan sesulit apapun. Sekaranglah waktunya kita betul-betul memanfaatkan akal budi manusia, disamping sumber daya lain di sekitar kita.Penjualan aplikasi WhatsApp dengan nilai triliunan rupiah, kepada Facebook, tentu membuat kita geleng-geleng kepala. Pihak-pihak yang pernah menolak Jan Koum, empunya WhatsApp, tentunya merasa sangat menyesal karena melepas aset yang demikian berharganya. Facebook sendiri pun perusahaan yang tadinya tidak kita anggap ‘serius’, namun kemudian membuktikan betapa perusahaan dengan knowledge-intensive, berbasis servis dan berorientasi pada modal manusia, bisa memiliki ‘nilai’ yang jauh lebih tinggi daripada perusahaan yang ‘di atas kertas’ kaya dengan berbagai aset berwujud, seperti peralatan dan bangunan. Inilah contoh nyata betapa kita harus meyakini bahwa nilai perusahaan sangat berbeda dengan nilai buku yang ada di catatan akunting. Betapa ketinggalan jaman bila kita masih melulu berorientasi pada nilai buku, dan kemudian melupakan aspek ‘intangible’ yang tidak ternilai, yaitu ‘manusia’-nya.
Sekarang ini kita berada dalam ‘knowledge era’. Semua orang perlu menyadari betapa informasi adalah aset perusahaan yang maha penting, bahkan bisa jadi lebih berharga daripada aset berwujud yang dimiliki organisasi. Kita perlu ingat bahwa prinsip akunting yang kita gunakan saat ini dibangun pada jaman revolusi industri, dan sangat berbasis industri, sehingga tidak dapat menggambarkan ‘nilai’ dan ‘kekayaan’ perusahaan yang sebenarnya. Meskipun analisis finansial dan akuntansi tetap penting, namun kita jelas perlu memahami bahwa aset intangible seperti manusia, jelas sangat keliru bila masih dianggap sebagai biaya atau ‘cost’. Manusia jelas bukan lagi beban, bukan sekedar nomor, juga tidak bisa diwakili dengan kertas CV-nya, atau portofolionya. Manusia yang dinamis-lah yang justru punya pemahaman terhadap informasi dan bisa mengolahnya menjadi produk atau servis yang bisa diciptakan dalam model bisnis yang baru. Manajemen manusia saat sekarang jelas bukan main-main.
Brian Bissaker, seorang CEO perusahaan finansial di australia mengatakan bahwa 70% kegiatannya difokuskan pada ‘people management’. Ini tentunya tidak diyakini oleh shareholder dengan mudah, karena baik upaya dan hasilnya sangat tidak teraga. Padahal, hanya perusahaan dengan manusia-manusia yang dinamis, kompak dan berpikiran majulah yang bisa berperan sebagai ‘thought leader’ dalam dunia bisnisnya. Perusahaan yang misalnya percaya pada komunikasi intranet, media sosial, dan mempertimbangkan gaung baik ke luar maupun ke dalam , tentunya mempunyai dampak yang tidak kecil ke karyawan. Banyak orang luar yang ingin bekerja di perusahaan yang ‘friendly’, baik ke luar maupun ke dalam. Ini saja sudah mempermudah rekrutmen, bila perusahaan memerlukan telenta tambahan. “Word of mouth’ oleh karyawan, referal karyawan intern dalam rekrutmen, bukti bahwa karyawan sangat mampu dan lancar belajar, adalah harta perusahaan model baru. Tantangan kita di jaman modern ini jelas-jelas membuat manusia dalam organisasi mampu mendongkrak ‘value’ perusahaan.
Talent Proficiency
Sebuah bank terkemuka di Indonesia sudah lama lantang mengatakan pentingnya manusia sebagai aset. Namun, tetap saja terasa bahwa manusianya sendiri tidak merasa sebagai aset yang berharga. Pekerjaan dianggap sebaagai keharusan, kreativitas tidak tumbuh subur dan ujungnya, hubungan manusianya dengan perusahaan adalah hubungan finansial, seperti layaknya yang ada di laporan keuangan saja. Di sisi lain, ada sebuah grup perusahaan yang bisnisnya lebih banyak didominasi kegiatan lapangan, sepintas lalu kelihatan tidak mementingkan manusianya, namun dalam kelas pelatihan menunjukkan betapa bersemangatnya mereka dalam belajar. Para manager lapangan membuat ‘surprise’ karena menunjukkan sikap kritis, kegiatan mencatat semua yang dianggap penting, bahkan aktif ber’main’ ketika ‘roleplay’. Dengan mudah kita bisa membayangkan bahwa perusahaan yang bergengsi , dengan manusia yang statis, tak akan mampu berlari dan menari menghadapi situasi yang berganti, dibanding dengan perusahaan yang berisi manusia yang yang gampang di ‘isi’ dan selalu ‘in the ready’ begini. Betapa ketinggalan jaman jika kita tidak pandai membuat analisis ‘human capital’, dan mengabaikan program untuk mengisi, memperkuat, meng-engage manusi di organisasi kita. O Donnell seorang ahli manajemen SDM juga mengatakan juga :”it is the human capital analysis of a business that really gets to the heart of an organisation's ability to execute on its strategy”.
Kekuatan Talenta, Kekuatan Emosi
Kata ‘cinta’ dalam sebuah kegiatan bisnis bisa kedengaran ‘lebai’. Namun, sebetulnya kita kita bisa mengambil inti dari ‘emosi’ hubungan interpersonal ini dalam upaya pengembangan ‘people power’. Kita tahu cinta akan menumbuhkan emosi yang dapat menghasilkan ‘power’. Dalam organisasi, bukankah kita juga butuh ‘power’, bahkan ‘superpower’ untuk berprestasi, belajar, berkreasi? Power ini ada dalam interaksi sosial, bagaimana relasi kita satu sama lain, bagaimana orang berusaha di dengar dan mendengar, bagaimana menentukan prioritas bersama, atau mengeroyok pekerjaan bila diperlukan. Bukankah bisa dikatakan bahwa hal ini seperti bekerja penuh cinta? Hubungan kerja yang romantis di mana individu saling mengerti dan saling ‘suka’ satu sama lain adalah hubungan tim produktif yang ideal sekarang ini.
Keintiman ini hanya bisa dilakukan bila tiap anggota tim perlu berbagi. Bila terbangun keintiman tingkat tinggi, akan tercapailah ‘shared power’. Ini bukan jaman di mana ‘power’ disamakan dengan pemaksaan dan penekanan. ‘Power’ justru didapat dari kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, kekuatan untuk merangsang teman sekelompok untuk mengejar sasaran yang jauh ke depan. Unsur-unsur atensi, respek, jati diri, fairness , pembenahan hubungan dan empati terhadap kesejahteraan bersama menjadi harta perusahaan yang sakti dan memungkinkan perusahaan menyambut tantangan sesulit apapun. Sekaranglah waktunya kita betul-betul memanfaatkan akal budi manusia, disamping sumber daya lain di sekitar kita.
(Dimuat di KOMPAS, 8 Maret 2014)