Siapa yang tidak menginginkan perubahan? Organisasi yang sudah mulai ‘tua’ dengan kebiasaan buruk dan kuno, pastinya haus perubahan. Kampanye dari caleg dan parpol pun hampir semuanya ‘mejual’ perubahan agar Negara dan daerahnya tidak jalan di tempat. Banyak inisiatif-inisiatif yang kemudian dikumandangkan dengan menggunakan kata-kata kunci, ‘baru’, ‘lebih baik’, yang disertai dengan program-program perubahan. Namun, bukankah seringkalli sosialisasi yang sudah dibuat begitu menggaung, tetap sering tindak lanjutnya mengambang dan tidak membawa hasil yang diharapkan? Bukankah banyak program perubahan yang kemudian ditanggapi secara sinis oleh anggota-anggota tim, karena melempem, dan tidak berhasil?
Bukan hanya program yang terkait perubahan perilaku dan budaya, misalnya budaya meeting efektif, budaya respek, yang sangat ditentukan oleh manusianya. Keberhasilan perubahan, meskipun yang terkait teknologi dan system sekalipun, jelas akan ditentukan kesiapan manusianya. Itu sebabnya, peran panutan atau role model menjadi sangat kritikal dalam perubahan, karena kita perlu menggelitik ‘hati’ anggota tim untuk aktif menerima dan terlibat dalam perubahan. Seorang teman yang adalah pimpinan perusahaan, merasa sangat ‘tidak penting’ untuk bekerja dengan komputer. Bahkan, bila pesan singkat di telponnya terlalu panjang, ia akan minta sekretarisnya untuk mencetak pesan tersebut. Bisakah kita bayangkan dampak sikap beliau ini terhadap perusahaan yang dipimpinnya? Walaupun sudah mengeluarkan biaya besar untuk perangkat keras dan lunak sekalipun, terasa bahwa nafas perusahaan tersebut bukanlah nafas teknologi. Apa yang ditampilkan oleh seorang pimpinan sebagai panutan, tanpa ragu akan diadaptasi oleh orang-orang disekitarnya. Investasi, arahan dan perintah yang diberikan untuk mendorong perubahan perilaku yang lebih berteknologi, menjadi tidak ada ‘power’-nya.
Pimpinan atau atasan jelas tidak bisa berkelit akan perannya sebagai role model. Namun, orang yang menjadi panutan sebetulnya tidak selalu harus atasan. Kita pun, dalam peran sebagai anggota tim, bisa menjadi role model selama kita kredibel, bisa dipercaya, dan inspiratif. Meski kita hidup di masyarakat yang memilih untuk tidak menonjol, namun tokoh panutan memang harus ‘kelihatan’, harus terdengar suaranya. Pertanyaannya: mungkinkah kita mengembangkan kemampuan kita, agar kelak bisa dianggap sebagai panutan? Bisakah ‘role modeling’ dipelajari?
Komunikasi vs ‘Emotional Bound’
Kita kerap mengeluhkan, pejabat yang ‘katanya’ ingin membawa perubahan tetapi malah memberi contoh jelek. Banyak yang merasa bahwa pemimpin tidak ‘walk the talk’, atau bahkan ‘change agents’ sekedar petantang-petenteng mengumandangkan program, tanpa mengerti apa yang harus digelitik pada individu-individu anggota kelompok untuk mengubah perilaku dan kebiasaannya. Tak jarang, ‘critical behaviour’ yang akan diubah pun, tidak dikenali secara ‘clear’. Rumitnya, ketika panutan tidak konsisten dengan perilakunya, komentar negatif, baik yang disengaja atau tidak, mudah sekali tersebar. Hal ini sudah pasti akan menghambat perubahan yang diharapkan.
Kita senantiasa menitikberatkan role model dalam kehidupan atau organisasi sebagai contoh yang bisa ditiru. Namun demikian, sesungguhnya individu baru akan memulai kegiatan meniru itu bila sudah ada ‘emotional bound’ dengan tokoh role model-nya. Jadi pembentukan tingkah laku baru manusia berbeda dengan proses ‘imprinting’ binatang, yang sekedar mem-’bebek’ saja. Bisa dikatakan bahwa seorang role model, bukan memamerkan tingkah lakunya saja, tetapi juga mengkomunikasikannya. Bahkan seorang role model, ketika mengkomunikasikan bahasa tubuh, tingkah laku, dan kebiasaannya, juga menyampaikan harapan agar orang di sekitarnya pun berubah sesuai dengan apa yang ia aspirasikan.
Selesaikan dulu dengan diri sendiri
Teman saya yang dianggap panutan yang hebat oleh bawahannya, mengaku bahwa ia sebenarnya tidak banyak berbuat, kecuali menyemangati teman-teman di sekitarnya untuk, misalnya, berkomit ke pada lingkungan , dan anak buah. Hal yang menyebabkan ia inspiratif adalah karena ia setiap saat menampilkan ‘passion’ nya terhadap apa yang dikerjakannya. Tidak salah bila disebutkan: “Role models show passion for their work and have the capacity to infect others with their passion”. Orang yang passionate ini biasanya sudah ‘selfless’. Ia sudah tidak bersibuk diri dengan dirinya sendiri. Sebaliknya, orientasinya ke luar, ke anak buah, ke lingkungan atau komunitas.
Hal yang pertama harus dikerjakan seorang role model adalah pemahaman tentang diri sendiri. Apa yang saya anggap penting, aspek kepribadian yang mana yang akan saya tonjolkan dihadapan anak buah saya. Kita pun perlu secara jujur mengetahui kekurangan kita dan secara aktif berusaha menanggulangi dan mengurangi perilaku tersebut. Tentunya, nobody’s perfect. Kita pasti pernah membuat kesalahan dan juga mempunyai ‘bad habits’ yang tak bisa dihindari, misalnya membuat perubahan mendadak, pulang malam, ataupun menunda-nunda keputusan. Untuk meyakinkan bahwa ‘bad habits’ ini perlu dihentikan, kita memang perlu menyelesaikan ‘isu’ kita dengan diri sendiri. Siapa yang paling menderita karena kebiasaan seperti ini? Sejauh mana hal ini mengganggu dan membuat anak buah kita tidak respek? Pilihan kita tentang solusi dan pilihan kita, tidak selamanya benar. Para bawahan ingin sekali menyaksikan bagaimana pilihan yang salah kemudian bisa dibalik menjadi yang benar dan produktif.
(Dimuat di Kompas, 1 Maret 2014)