Pernahkah mengamati, berapa banyak foto diri yang kita unggah di social media? Demi mendapatkan satu foto diri yang keren untuk diletakkan di soc-med, tak jarang kita melakukan beberapa kali jepretan sampai mendapatkan hasil ‘image’ diri yang kita ingin tampilkan, bukan? Kita jelas tahu betapa dalam hal ini kita tidak sendirian. Bila kita mengecek kode #selfie di instagram, maka tidak kurang dari 31 juta foto ada di databasenya. Ditambah lagi, berjuta foto dengan hashtag #me. Tidak mengherankan bila Oxford University Press menyebutkan “selfie” sebagai “word of the year” di tahun 2013 lalu. Penggunaan kata ini meningkat 17.000% dalam periode 10 tahun! Bukan saja orang biasa yang ingin populer, melakukannya, karena Rihanna dan Justine Bibier, juga terkenal hobi memuat selfie mereka di media masa. Gejala apakah ini? Kita bisa melihat, betapa saat sekarang kita secara instan bisa mengendalikan bagaimana kita ingin dipandang orang secara fisik.
Self portrait ini, jaman dulu dilakukan dengan rumit. Kadang menggunakan cermin atau lukis diri, atau gambaran kartun tentang diri sendiri. Saat sekarang, ponsel yang paling murah pun sudah mempunyai fasilitas potret diri, yang praktis. Bahkan, alat seharga 250 ribu untuk memotret diri sendiri, yang disebut “tongsis” atau ‘tongkat narsis’, menjadi demikian populernya, karena bisa membangkitkan keceriaan bersama. Di saat yang sama, kita sebetulnya menyadari bahwa “selfie” tidak selalu mengundang tawa atau keceriaan. Bahkan, Ibu negara Amerika, sampai-sampai pernah dikabarkan runyam rumah tangganya, ketika suami melakukan ‘selfie’ dengan ‘orang lain’. Beberapa ahli psikologi yang melakukan studi mengenai gejala baru yang kita kenal tidak lebih dari 10 tahun terakhir ini, berpendapat bahwa gejala mem’posting’ potret diri ini bukan trend, tetapi akan tetap ada. Namun, bisakah kita membayangkan bila kita melakukannya secara dominan setiap hari? Pernahkah kita memikirkan ‘reputasi’ kita di mata orang lain, bila kita terpaku pada image diri sampai terlihat tidak memikirkan kegiatan lainnya, tidak memiliki minat lainnya, atau bahkan tidak terasa memiliki minat pada orang lain? Pertanyaannya, apakah kita bisa memanfaatkan promosi diri ini menjadi hal yang positif?
Potret Diri yang Bermakna
Kegiatan memotret diri dan mempublikasikannya ini memang kegiatan unik. Bila kita pada masa kecil sering diingatkan orang tua untuk bersikap rendah hati dan tidak menonjolkan diri, maka tindakan selfie ini bisa merupakan sesuatu yang baru dan asing, meski tidak dipungkiri bisa kita nikmati juga. Kegiatan ‘selfie’ ini kadang memberi kesempatan pada kita untuk melihat dan menampilkan diri kita dari lebih banyak sisi: sisi lucu, sisi artistik, sisi glamor atau yang lain. Kita, maupun orang lain, seolah-olah bisa menemukan ‘the new me’ melalui selfie. Bisa jadi, inilah saatnya, individu bisa ‘menjual’ dirinya, tanpa banyak bicara melalui narasi ataupun bukti bukti. Tentunya, kita perlu mengingat bahwa ini hanya langkah awal dari identifikasi diri. Karena sesudahnya kita dituntut oleh lingkungan sekitar kita, dan dipertanyakan ‘so what’ atau ‘now what’-nya.
Seorang teman yang hobi membaca dan mengikuti instagram atau facebook teman-temannya, pernah mengatakan: “Ada instagram yang bisa membuat mata relaks, karena variasi, dan karena ‘soties’ yang terkandung di dalamnya’. Sebaliknya, foto diri bisa menjadi sangat hambar, bila tidak disertai keterangan-keterangan yang menyertai gambar-gambar tersebut. Ini berarti wajah, kita bisa menjadi pembuka ceritera yang lebih panjang dan berbobot. Foto diri yang kita pajang adalah sebatas ‘cover’-nya. Isinya harus kita sediakan, apakah melalui foto-foto lain, yang akan menuntut otak bagian kanan untuk mengamatinya. Inilah gunanya memberi konteks pada gambar wajah kita. Sedang di mana kita, apa concern kita, bagaimana kita melihat dunia, dan bagaimana dunia melihat kita. Tentunya bila ekspresi diri ini dibuat ‘berceritera’, ia sungguh akan menjadi tontonan yang menarik bagi yang mengikuti. Kita yang awam sekalipun bisa membedakan rangkaian foto yang itu-itu lagi dan ‘basi’, monoton atau ‘tidak berceritera”, dengan rangkaian foto yang mencerminkan minat yang luas, intelektualitas dalam mencermati situasi sosial, bahkan kebanggaan pada profesi yang menyentuh. Bukankan ini jauh lebih luas daripada sekedar promosi diri?
Eksplorasi Diri
Kita ini memang mahluk sosial yang membutuhkan validasi sosial. Kita ingin dihargai, diapresiasi, dimasukkan dalam kelompok yang kita inginkan. Citra sosial, belakangan ini sudah dianggap oleh kebanyakan orang sesuatu yang penting. Bahkan Robert Hogan, ahli psikologi kawakan, sudah menganggap bahwa kita bisa menganggap bahwa citra sosial itu adalah bentuk kepribadian yang sah. Kita tidak terlalu perlu mendalami masa kecil kita dan menggambarkan kepribadian kita berdasar histori kita. Hal yang penting saat sekarang adalah kesadaran atau self-awareness kita terkait bagaimana kita melihat diri kita, bagaimana ‘bright side’ atau reputasi kita di mata orang lain, dan apakah potret diri yang kita tampilkan sekaligus bisa meningkatkan kesadaran kita akan hal-hal yang bisa menghambat efektivitas kita dalam menjalin hubungan, berelasi atau berkinerja efektif.
Mengamati foto diri kita sebetulnya juga bisa memancing kita untuk mengeksplorasi apa nilai-nilai yang kita miliki, bagaimana nilai-nilai kita bisa membantu kita menemukan kegiatan yang produktif. Kita juga perlu belajar melihat bagaimana reaksi-reaksi kita bila ‘under pressure’ yang kadang tidak sama dengan apabila kita menghadapi situasi yang biasa. Mengenal potret diri kita yang sesungguhnya ini, sama seperti membuat selfie, namun bisa memberi impact positif karena memberi kesempatan bagi kita untuk menyesuaiakan reaksi-reaksi kita sehingga positif dan bisa pas dengan berbagai situasi sosial maupun interpersonal yang kita hadapi.
(Dimuat di Kompas, 22 Februari 2014)