was successfully added to your cart.

Hubungan Baik : Tanggung jawab siapa?

Apakah pekerjaan Anda lebih banyak menuntut Anda bekerja tim, atau bekerja sendirian? Bila kita memiliki profesi yang lebih ‘soliter’, katakanlah artis, pelukis, peneliti, programmer komputer, betulkah kita tidak membutuhkan orang lain untuk mengembangkan karir kita? Mari kita berpikir, apapun pekerjaan kita, mungkinkan kita bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain? Bisa kita lihat betapa tidak ada pekerjaan yang di mana kita tidak butuh orang lain. Hakekat kita sebagai manusia adalah bahwa kita mahluk sosial. Kita akan lebih efektif bisa berada dan bekerjasama dengan orang lain, berkeluarga, berkelompok, berorganisasi, ataupun berbisnis bersama. Betapa ruginya bila kita tidak mengasah dan memprioritaskan untuk bisa berhubungan baik dengan orang lain.

Berhubungan dengan orang lain, sering tampak mudah tetapi sebetulnya hubungan interpersonal sering menyebabkan kegagalan. Berapa banyak kita mendengar anak buah mengeluh mengenai atasannya, begitu juga para atasan mengeluh tentang bawahannya. Bukankah banyak kita menyaksikan orang yang sebenarnya cemerlang, tetapi tidak bisa menyesuaikan diri dengan organisasi,  sehingga  terus-menerus gagal. Bukankan pemimpin juga selalu dipersoalkan hubungannya dengan anak buah, atasan dan teman sejawatnya? Sebelum kita menuding orang lain yang ‘bermasalah’ dalam membangun hubungan baik, kita jelas harus ingat bahwa sebagai orang dewasa kita harus bertanggung jawab terhadap hubungan yang kita bina. Semakin bertanggung jawab, semakin dewasalah kita, dan semakin terlatihlah kita untuk ‘dealing’ dengan individu lain.

Setiap Manusia Unik

Bertanggung jawab dalam berhubungan bisa juga kita artikan dalam tanggung jawab berkomunikasi. Kita, yang sadar akan perlunya hubungan dengan orang lain, perlu selalu menanamkan keyakinan bahwa kitalah yang berkewajiban membuka dan menutup komunikasi. Atasan atau rekan kerja kita, tidak bisa dilihat semata dari jabatan, status ataupun fungsi. Mereka semua manusia unik yang punya gaya kerja, gaya komunikasi yang khas. Setelah kita memahami kekhasan gaya interpersonal kita, kita memang perlu juga mempelajari kekhasan mitra kerja kita dan menyesuaikan sehingga ‘channel’ komunikasi jadi terbuka dan lancar. Jadi rahasia untuk menjadi efektif adalah tetap mengingat bahwa manusia unik, dan berusaha keras memahami setiap individu.

Self knowledge, yang kita tahu penting, jelas kita butuhkan untuk kita memahami bagaimana ‘gaya’ dan kekuatan kita dalam berhubungan dengan orang lain. Jenderal George Patton, yang memimpin pendaratan di Normandia, sebetulnya pernah dianggap sebagai komandan yang lebih jago dalam  following daripada berada di depan. Kita harus mengenal cara kita bekerja dan juga bekerjasama dengan orang lain. Apakah kita lebih senang berfungsi sebagai penasehat  atau justeru meng’enjoy’ pengambilan keputusan berisiko. Apakah kita dalam mengambil keputusan terbiasa Mandiri atau harus bertanya kepada beberapa pihak terlebih dahulu. Ini adalah gaya kita berhubungan, di mana kita bisa memanfaatkan hubungan dengan orang lain untuk menjalankan pekerjaan kita.

Mempraktekkan “caring manner”

Organisasi, tidak ada lagi yang dibangun dengan kekerasan, seperti jaman perbudakan. Organisasi masa modern di bangun atas dasar: trust, rasa percaya. Selanjutnya rasa percaya itu perlu dikembangkan, tidak statis. Orang yang percaya pada orang lain, tidak selalu suka satu sama lain, apalagi memahami satu sama lain. Sekarang ini, orang berorganisasi secara multifungsi. Begitu banyak profesi dan fungsi berkumpul dan membentuk organisasi. Kita jelas perlu trampil membangun komunikasi yang dilandasi kepercayaan dan hubungan baik yang kuat, karena setiap profesi biasanya memiliki ‘bahasa’-nya masing-masing. Para engineer berbicara dengan bahasa teknis, dan karena berfungsi di produksi juga berbicara berbahasa produksi. Di sisi lain, barisan sales, terbiasa berbicara dengan bahasa pasar saat mengajukan permintaan modifikasi produk. Perbedaan persepsi, bahasa, dan pemahaman jelas tidak terhindari. Salah siapakah ini? Kitalah yang berkewajiban untuk membuat lawan bicara atau mitra kita ‘paham’ tentang apa yang ada dibenak kita

Bersikap ramah, baik, tidak kasar, mudah diakses dan diajak bicara adalah sikap yang sangat efektif dalam pengembangan diri dan karir. Bila anak buah ngeyel dan perlu dikoreksi, bukankah kita masih bisa mengkonfrontasi dengan cara yang ‘manis’ dan tidak menyerang? Cara yang menegur yang ‘merangkul’ malah berulang kali teruji lebih ‘kena’, lebih diingat dan menghujam bagi lawan bicara kita. Bila kita tidak terbiasa memelihara ‘caring manner, sebetulnya bahayanya bukan saja berdampak pada emosi kita, tetapi juga pada keadaan fisik. Bukankah banyak orang menderita ‘stroke’ akibat konflik dan ketegangan hubungan interpersonal yang tak bisa diatasi?

Tidak populernya sikap ‘caring’ ini sebetulnya dilatarbelakangi tidak adanya pendidikan formal yang mengajarkan sikap ini. Padahal, individu perlu sekali bisa membedakan situasi di mana ia bertenaga, berkuasa, atau sebaliknya ‘powerless’, merasa ‘intim ‘ atau tidak ‘intim’ dengan orang lain. Kemampuan merabarasakan situasi ini sebetulnya adalah dasar untuk mengembangkan ‘trust’ antara kita dengan orang lain. Dalam hubungan interpersonal, kita perlu memberi waktu untuk mawas diri, kemudian memperbaiki, lalu mawas diri kembali, dan seterusnya. Banyak hal yang sebenarnya diajarkan sejak kita masih balita seperti ‘sharing’ , bersikap fair, membuat evaluasi yang obyektif, merelakan , atau mengalah. Bila setelah dewasa tiba-tiba kita tidak memelihara sikap kita, bisa jadi karena kita mungkin menganggap hal ini tidak penting dan menomorduakannya sepanjang pengembangan hidup kita. Padahal, bisakah kita bayangkan berada di tengah orang yang tidak nyaman dan tidak percaya pada kita, dan terus berada di situ bertahun tahun? Bisa jadi, ini juga menjadi penyebab kita tidak terlalu sukses.

(Dimuat di Kompas, 1 Februari 2014)

For further information, please contact marketing@experd.com