Maraknya social media menjadikan kita dengan mudah bisa mengamati diri orang lain. Kita kadang terheran-heran, bahkan tergeli-geli melihat beberapa teman yang senang mengumbar segala aktivitas dirinya kepada publik, tidak sungkan menunjukkan perhatiannya yang hanya tertuju pada dirinya sendiri. Ada orang yang kita lihat begitu mudah mengeluh: ya macet, ya banyak pekerjaan, atau tidak akur dengan teman atau pasangannya. Ada juga orang yang ekspresi emosinya kerap diledakkan ke media sosial, saat marah, kesal atau kecewa. Kita bisa melihat betapa kontrol diri terkadang tidak kita sadari. Pertanyaannya, apakah kita sendiri pun tahu bagaimana pandangan orang tetang diri kita? Apakah kita sendiri cukup trampil mengontrol diri? Tahukah kita kapan harus bicara, kapan bisa mengeluh, kapan harus berkomentar dan kapan harus berhenti komentar? Bila kita melihat ada orang yang seolah tidak belajar untuk mengontrol dirinya, apakah kita sendiri pun sudah berkembang?
Meski kita semua tahu pentingnya pengembangan diri, namun begitu banyak faktor dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan rutin yang sering membuat kita lupa mengembangkan diri. Seberapa sering kita meluangkan waktu untuk berhenti sejenak memikirkan apa yang perlu “digarap” dari diri kita? Bukankah tak jarang hasil coaching, laporan “360 feedback” yang “dimodali” perusahaan pun hanya sekedar lewat, kemudian masuk laci? Itulah sebabnya kita, mungkin saja, ‘berjarak’ dengan diri kita sendiri. Di jaman di mana kita sering bekerja online dan remote, jelas kita tidak bisa sekedar mengharapkan lembaga tempat kita bekerja yang memikirkan pengembangan diri kita.. Kitalah yang harusnya menjadi CEO (Chief Executive Officer) bagi diri kita sendiri dan secara serius memprogramkan pengembangan diri. Jangan sampai, ketika kita sudah hampir pensiun kita baru menyadari bahwa selama ini kita tidak mengembangkan diri secara optimal, menyia-nyiakan waktu yang sebetulnya bisa kita manfaatkan untuk berkembang, karena kita tidak tahu, jalan terbaiknya.
Kekuatan ‘Self Knowledge’
Banyak orang yang merasa tahu dengan kekuatan dirinya, namun ternyata salah kaprah dalam keyakinan ini. Penelitian mengatakan bahwa individu lebih mengenal kelemahannya daripada kekuatannya. Padahal, individu bisa lebih berkembang di atas kekuatannya, dibandingkan dengan meniadakan kelemahannya menjadi positif. Bila kita tidak mengetahui apa yang menjadi kekuatan kita, kita tidak bisa bergerak. Selain mengamati dan menilai bagaimana respon, keberhasilan dan pengalaman kita dalam mengerjakan suatu tugas, jalan terbaik untuk mengetahui kekuatan kita adalah memperoleh umpan balik yang jujur dan tulus dari orang di seputar kita. Sistim analisa umpan balik ini jelas sama sekali bukan hal baru. Dari jaman Nabi Adam pun analisa feedback sudah ada. Tetapi kita sering agak “alergi’ mendapatkan umpan balik, terutama karena takut ‘sakit hati’, ataupun takut kalau kalau penilaian terhadap diri kita bernada sentimen.
Kita juga perlu sadar hakekat bahwa manusia tidak bisa belajar secara otomatis. Orang yang terlahir kuat matematik, tetap harus belajar untuk menguasai, misalnya trigonometri. Orang yang berbakat bahasa, tidak mungkin menguasai berbagai bahasa, kalau tidak pernah ada akses ke gramatika dan cara menulis bahasa tertentu. Orang dewasa seperti kita, juga belajar dari kesalahan dan keberhasilan. Itu sebabnya kita perlu menelaah sukses dan kegagalan diri karena banyak pelajaran yang sangat diperlukan bagi individu dewasa. Ada orang yang sukses karena banyak bertanya, ada yang karena banyak berkolaborasi. Ada juga orang yang belajar karena mendapatkan kesempatan untuk bekerja mandiri dalam porsi besar, karena ia memang memerlukan fokus. Ada orang yang belajar dengan mendengar ceritera-ceritera yang diungkapkan atasan maupun bawahannya, sementara ada orang yang harus membaca, atau juga ada yang harus menulis dulu, mencatat , baru mencerap. Cara belajar juga berbeda beda, ada yang perlu mentor tetapi ada juga yang bisa belajar bila terjun langsung. Demikian pula ada yang memerlukan pendidikan formal dan bisa memanfaatkannya dengan baik, sementara ada juga yang sepulang dari pendidikan formal tidak berubah sama sekali. Kalau kita tidak mengenal faktor penyebab kesuksesan dan kegagalan kita ini, maka hidup kita seolah berjalan dalam keadaan yang abu-abu, selalu trial and error lagi, dan tidak menempuh jalur yang mantap. Inilah yang sering disebut para ahli dengan:”self knowledge” yang dibutuhkan untuk membuat strategi karir, strategi belajar bahkan strategi kehidupan pribadi.
Arogansi yang menjadi Bumerang
Hal lain yang sering menghambat seorang individu adalah “intellectual arrogance” , di mana ia merasa ‘kuat’, tetapi kemudian kekuatan ini menjadi kelemahan karena ia tidak mau membuka pikiran terhadap masukan baru, atau juga mempelajari hal baru. Akibatnya, kekuatan bisa menjadi bumerang, dan kita tidak bisa memajukan kekuatan tersebut lagi. Ekspresi seperti,”Anda tahu apa mengenai pekerjaan saya?”, atau “Saya yang di lapangan yang menyaksikan realitasnya. Yang tahu kejadian sebenarnya, kan saya.”, adalah contoh nyata betapa kita sendirilah yang sering membuat tembok yang membahayakan perkembangan diri. Kita jadi mempunyai kebiasaan untuk tidak ber-mindset “gelas setengah terisi”. Kita merasa bagaikan gelas yang sudah penuh, dan tidak ada ruang lagi untuk menerima informasi. Selain itu, kita juga bisa terlalu yakin dengan strategi dan rencana kita, dan tidak berkesempatan mendapat umpan balik dan dukungan dari sekitar kita. Kondisi ini antara lain merupakan contoh arogansi yang membunuh perkembangan. Konsekuensi lain dari sikap ini adalah terbuangnya energi karena konflik, emosi yang menegang dan juga lebih panjangnya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan karena dukungan yang tidak optimal.
Kita hidup di dunia dan ekonomi dengan kesempatan yang tidak terbatas, artinya kita sudah bisa berkiprah secara global. Bisnis bisa kita jalankan dalam satu ‘pencetan’ di komputer. Bila kita cerdik dan berambisi kita bisa meraih sukses sesuai cita cita kita, terlepas dari titik start yang tidak selamanya sama. Self Knowledge-lah yang akan menjadi kunci kita untuk lebih unggul dibanding yang lain. “Great achievers” seperti Napoleon, Leonardo da Vinci , komponis Mozart juga terkenal dengan kemampuan mengatur diri sendirinya. Ini membuktikan bahwa kemampuan untuk menjaga kewaspadaan diri adalah modal bagi kita untuk berkembang. Kewaspadaan ini tidak tergantung usia. Orang yang sudah sangat senior bisa lalai, dan anak muda, para milenial pun, bisa sangat waspada, atau sebalikya.
(Dimuat di Kompas, 25 Januari 2014)