Tahukah Anda apa kata yang paling sering digunakan oleh pencari kerja untuk menggambarkan kekuatan diri mereka? Linked-in, situs pencari kerja paling populer, menyebutkan bahwa “integritas” adalah kata paling sering disebut-sebut oleh para professional dalam CV-nya. Ya, integritas memang sangat menarik dan powerful. Tidak hanya individu, namun banyak sekali perusahaan yang juga mencantumkan integritas dalam visi, misi dan taglines mereka, misalnya: “Kami menggabungkan ‘excellence’ dan ‘integrity’” atau “Kami melakukan semua hal berlandaskan integritas.”. Hal ini bukan hanya populer di Negara kita saja, tetapi di mana-mana di seluruh dunia. Berbagai statement ini jelas dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran moralitas.
Bila kita pikir-pikir, integritas jelas adalah dasar dalam menjalankan bisnis. Bayangkan, siapa yang mau bekerja sama dengan perusahaan yang integritasnya rendah, misalnya berbohong mengenai kualitas produknya, tidak menghasilkan output sebagaimana yang dijanjikan, tidak mau bertanggung jawab bila pelanggan mengalami kerugian? Siapa orang yang mau bekerja di perusahaan seperti itu? Sebaliknya, perusahaan mana yang mau merekrut calon karyawan yang diragukan kejujurannya? Berarti, sebetulnya integritas bukanlah kekhasan suatu institusi atau industri. Integritas memang selalu harus ada dan bekerja tanpa perlu digembar-gemborkan, apalagi dianggap sebagai kelebihan dan keunikan perusahaan. Seperti yang dikatakan seorang eksekutif perusahaan sukses, “Integrity is a threshold characteristic for our people — if they don’t have it, they aren’t here.” Jadi, integritas ini sebetulnya mutlak.
Kita tentu bertanya-tanya, mengapa sekarang integritas kerap dilihat sebagai benda yang licin, susah dipegang? Di beberapa situasi, integritas bahkan dilihat seperti barang langka. Semua orang melanggar, semua orang korupsi, semua orang menyembunyikan ‘rahasia-rahasia’ kecil. Sampai-sampai, koruptor juga tidak lagi menampakkan rasa malu, apalagi bersalah. Di beberapa institusi, kita lihat integritas menjadi fokus dari manuver perubahan. PT. KAI, misalnya, bisa dengan cepat mencetak laba dan memperbaiki nasib karyawannya, setelah serius menumpas ‘permainan-permainan’ yang beredar. Di sini, integritas yang dimaksud lebih kepada permainan uang, korupsi atau juga penegakkan kejujuran. Pertanyaannya, apakah kualitas manusia yang sering disebut dengan integritas ini hanya sebatas kejujuran saja? Bukankah tidak konsistennya kita dalam bersikap juga adalah bagian dari integritas? Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita selalu dihadapkan pada pilihan tindakan, antara yang benar dan tidak benar, walapun konsekuensi dan risiko yang berbeda-beda. Tanggung jawab terhadap pilihan tindakan ini pun adalah bentuk integritas juga, bukan? Kalau integritas merupakan kualitas yang begitu penting, mengapa kita seolah begitu sulit mengembangkannya?
Prinsip & Alasan Tindakan
Sejak kecil kita pastinya sudah diperkenalkan dengan ‘do’s dan don’ts, termasuk di antaranya larangan untuk berbohong, mengambil hak orang lain, melanggar peraturan, dan lain lain. Ada orang tua atau pendidik ada yang dengan tekun mengajarkan ‘alasan’ larangan. Individu yang sejak kecil dilatih untuk memahami alasan tindakannya, mengapa ia boleh berbuat dan tidak berbuat, bisa lebih kokoh dengan prinsip dan dalam memilih tindakannya. Di sisi lain, ada juga individu yang dibesarkan dengan berbagai larangan tanpa adanya dialog sama sekali, bahkan semata memahami ancaman atau hukuman sebagai konsekuensi negatif dari tindakannya. Individu yang terbiasa sekedar menghindari hukuman, cenderung mudah goyah saat dihadapkan pada situasi dilematis di mana ia harus memiliki sikap dan tindakan yang ‘benar’.
Dalam perkembangannya, setiap individu memang mempunyai kapasitas membuat alasan. Mahasiswa yang ‘nyontek’ bisa beralasan bahwa semua temannya juga melakukan hal yang sama atau mengatakan bahwa itu adalah hal yang terlalu kecil untuk dibicarakan. Ini adalah pangkal tolak hilangnya rasa bersalah. Saat melanggar aturan, misalnya korupsi, bisa jadi ia mencari alasan, seperti gajinya terlalu kecil, uang korupsi disetorkan kepada pihak lain, atau alasan lain yang ‘masuk akal’. “Reasoning” yang dicari-cari tentunya bisa dikemukakan bila kita memang memilih untuk tidak berintegritas. Selain itu, individu pun bisa berlindung dengan membuat definisi integritas yang bermacam-macam. Apakah melebihkan honor tambahan ke penghulu, dari honor 9 ribu rupiah disebut gratifikasi atau sekedar uang penghargaan? Pendefinisian yang berbeda-beda inilah yang menyebabkan setiap inividu bisa goyah atau tidak secara kontinyu memelihara integritasnya.
Integritas: kualitas manusia
Bila seorang pemimpin berhasil meningkatkan kadar integritas di sebuah perusahaan, maka sebenarnya ia sudah memperbaiki kualitas hidup dari manusia di dalamnya. Tentunya siapapun akan menikmati menjadi orang yang lebih ‘fair’ dan penuh respek, bernegosiasi secara win-win, menepati janji, dan tegas. Untuk itu, di samping memerangi korupsi, kita juga perlu menegakkan panduan hidup berkualitas, seperti, “bersikap berani kalau benar, selalu menuntaskan pekerjaan, menepati janji, sedikit bicara banyak bekerja, tidak bisa ‘dibeli’, dan selalu menyadari batas-batas aturan sosial yang berlaku.
Tantangannya adalah, kita perlu menyadari bahwa pengembangan integritas bersifat sangat individual. Jadi, walaupun kita menggarap budaya perusahaan agar lebih berintegritas, yang perlu kita sentuh adalah pribadi masing-masing, pilihannya dan rasionalisasinya. Dalam organisasi, kita menemui orang orang yang sudah dewasa yang sudah punya ‘reasoning’-nya sendiri-sendiri, dan masing-masing sudah punya definisi dari integritasnya. Untuk itu kita perlu menembus penalarannya dan definisi yang telah tertanam dalam diri individu, kemudian merangsang mereka merombak sistem nilai di dalam dirinya dengan iming iming kualitas kehidupan yang benar. Seperti yang tercantum di buku Harry Potter : “ you will not be known by your abilities, you will be known the choices you make.”
(Dimuat di Kompas, 11 Januari 2014)